Jika Anda berkunjung ke sebuah kota di Jawa, atau Indonesia, yang menjadi ancer-ancer (patokan) utama pastilah alun-alun. Alun-alun memang jadi ciri khas tata kota di Indonesia. Sejarah mencatat, keberadaan alun-alun tidak bisa dipisahkan dengan masjid, terintegrasi dengan keraton dan pasar, tidak terkecuali kota Semarang.
Jika Anda mampir atau berkunjung ke Semarang, kebanyakan orang mengira bahwa alun-alun kota ini adalah area Simpang Lima yang dikelilingi mall hotel dan masjid Baiturrahman. Mungkin juga anda lebih mengenal area Kota Lama sebagai pusat kota Semarang zaman dulu dengan Gereja Blenduk sebagai ikonnya.
Jika memang demikian, coba lah sesekali bertandang ke masjid Agung Semarang, atau masjid Kauman
Masjid Agung Semarang tidak punya nama yang ke-Arab-araban. Ya masjid Agung Semarang begitu saja, sesuai dengan yang tertera di bagian depan masjid memakai huruf Arab Pegon. Namun masjid ini lebih dikenal dengan nama masjid Kauman. Masjid di Jawa sendiri umumnya ada di sebelah barat alun-alun, dikelilingi oleh perkampungan para pemuka agama dan mereka yang dituakan secara spiritual. Kampung ini disebut Kauman, karena para pemuka agama tersebut akrab dengan sebutan ‘Kaum’.
[gallery type="single-slider" link="file" size="medium" columns="1" ids="205332,205333"]
Sebagaimana tata kota zaman dulu, masjid merupakan bagian tidak terpisahkan dari alun-alun sebagai pusat kota. Alun-alun dikelilingi bangunan penting yakni keraton sebagai pusat pemerintahan, pasar sebagai pusat ekonomi dan masjid sebagai pusat ibadah dan keagamaan. Tata letak ini sebagai simbolisasi padunya ekonomi masyarakat, pemerintah dan agama.
Masjid Kauman ini konon lebih tua dari kota Semarang sendiri. Menurut penelitian Achmad Siddiq, masjid ini sudah ada sejak abad ke-16 Masehi oleh Ki Ageng Pandanaran yang juga dipercaya sebagai pendiri Semarang. Sejarah Kauman sendiri konon berawal dari perkampungan para santri Ki Ageng Pandanaran. Namun jika memperhatikan beberapa prasasti yang terlihat di area masjid, tertulis beberapa penanda tahun yang berbeda menunjukkan bahwa masjid ini mengalami renovasi berkali-kali.
[caption id="attachment_205326" align="aligncenter" width="768"]
Gerbang masuk masjid Agung Kauman Semarang (Foto: Rifqi Fairuz)[/caption]
Pada bagian atas gerbang utama masjid, tertera penanda tahun 1904 tanpa disertai keterangan. Namun letaknya cukup mencolok di bagian depan-atas gerbang sehingga bisa dilihat oleh siapa saja yang berlalu-lalang. Prasasti lain menempel di tiang serambi, tertera tanggal renovasi di tahun 1986, yang ditandatangani oleh Menteri Agama Munawwir Sjadzali.
Prasasti lain terdapat di bagian dalam gerbang masjid. Ada empat prasasti berbeda di sela-sela pintu gerbang yang ditulis dengan bahasa dan aksara berbeda: 1. Bahasa Jawa dengan Arab Pegon 2. Bahasa Belanda 3. Bahasa Indonesia ejaan lama yang ditulis latin dan 4. Bahasa dan aksara Jawa (hanacaraka).
Ada perbedaan pada inskripsi berbahasa Belanda dan Bahasa Indonesia. Pada inskripsi belanda, tertulis tahun 1750 yang ditengarai sebagai peresmian pembangunan masjid. Tahun ini yang populer digunakan sebagai patokan berdirinya masjid Kauman. Disebutkan bahwa masjid ini dibangun pada masa gubernur Kolonial Belanda Nicolaas Hartingh. Gubernur Nicolaas Hartingh ini sepertinya berpengaruh dalam peta perpolitikan antara Kolonial Belanda dan kerajaan Islam saat itu. Nama gubernur ini juga tercatat ikut campur tangan dalam Perjanjian Giyanti, menimbulkan pecahnya Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
[gallery size="large" link="file" type="grid" ids="205324,205323,205322"]
Adapun di inskripsi berbahasa Indonesia masih bisa terbaca dengan jelas, meski ada perbedaan ejaan dan istilah dengan bahasa Indonesia mutakhir. Di prasasti tersebut tertulis bahwa masjid Kauman ini pernah terbakar pada hari “Djemahat” (Jumat), tanggal 11 April 1885 pada jam setengah sembilan malam akibat tersambar petir. Kemudian “dibikin betul” pada 23 April 1889 atas bantuan Asisten Residen Semarang GJ. Blumme dan Bupati Semarang Raden Tumenggung Tjokrodipoero.
Masjid Kauman menunjukkan saling silang pengaruh antar peradaban. Unsur Eropa, Jawa dan Persia bisa ditemukan dan saling selaras. Silang pengaruh ini bisa dilihat dari unsur-unsur yang memengaruhi konstruksi bangunan, gaya asitektur dan ornamen hiasan masjid.
Dari segi pondasi dan penopang, masjid Kauman mengadopsi teknologi tektonik Eropa, yakni dengan mengandalkan pilar berukuran besar dan kolom-kolom dari bata yang menjadi penopang kayu di atasnya. Konsep ini menggantikan konsep ‘soko guru’ atau tiang-tiang utama penyangga atap di bangunan tradisional Jawa. Besar kemungkinan pergantian konsep bangunan ini diterapkan setelah masjid mengalami kebakaran pada tahun 1885. Berdasar inskripsi pada prasasti tahun 1889. Pembangunan masjid ini diarsiteki oleh “Ingenieur” Belanda bernama G.E. Gambier.
Pengaruh Persia terlihat pada ornamen-ornamen sulur dan dedaunan yang ada pada bagian atas pintu masjid. Ornamen sulur dan dedaunan ini sulit ditemukan pada arsitektur Arab, karena kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk jadi referensi. Sementara bagian atap masjid masih menggunakan ciri khas arsitektur Jawa, dengan menggunakan atap limasan tiga susun. Sama seperti atap pada masjid Agung Demak dan masjid lain di Jawa yang menyimbolkan tiga tahapan Islam, Iman dan Ihsan. Adopsi dan silang pengaruh ini membuktikan bahwa bangunan masjid di Nusantara pada sejarahnya cukup kosmopolit dan terbuka.
Kurang lengkap rasanya membaca masjid Agung Kauman tanpa membincangkan perubahan tata kota Semarang. Bangunan ikonik seperti gereja Blenduk, Lawang Sewu dan wilayah Kota Lama membuat Semarang identik dengan wilayah Kota Lama sebagai cikal bakalnya. Padahal Masjid dan daerah Kauman merupakan awal mula kota Semarang yang justru umurnya lebih tua dari Kota Lama.
[caption id="attachment_205334" align="alignleft" width="465"]
Masjid Kauman Semarang tempo lama (Foto: masjidagungsemarang.weebly.com)[/caption]
Sejak Semarang jatuh ke tangan kolonial Belanda pada 1678, Belanda membangun tata kota sendiri yang sekarang dikenal dengan nama Kota Lama.
Kota Lama dibangun sesuai dengan tata kota ala Eropa dengan gereja Blenduk sebagai pusatnya. Dijelaskan oleh Purwanto, bahwa Kota Lama ini sebenarnya lebih berupa konsep ‘burg’, atau kota dalam benteng yang bertujuan memisahkan aktivitas Kolonial dari perkampungan sekitar, sekaligus jadi pelindung terhadap ancaman pemberontakan.
Tujuan ini sengaja menciptakan segregasi antara pemerintahan Belanda dan permukiman berbasis etnis yang ada di sekitarnya yaitu kampung Melayu, Kauman dan daerah Pecinan. Segregasi ini didukung oleh Sungai Mberok yang memisahkan Kota Lama dengan sekitarnya. Terdapat pula jembatan Mberok yang jadi satu-satunya pintu keluar-masuk Kota Lama saat itu. Nama Mberok sendiri berasal dari lidah orang Jawa yang kesulitan mengucapkan istilah ‘Burg’ atau banteng Kota Lama.
Perkembangan Semarang modern pada akhirnya membuat tata kota Semarang lama yang berpusat di Kauman makin pudar. Narasi sejarah populer juga seolah melupakan peran Kauman sebagai awal mula babat alas Semarang dan lebih berpusat pada Kota Lama sebagai embrio Semarang. Alun-alun lama di muka masjid Kauman saat ini sudah kehilangan fungsinya sama sekali. Sulit rasanya membayangkan alun-alun lama dan jejak Ki Ageng Pandanaran, ketika yang bisa ditemui saat ini hanya lahan parkir berbau menyengat di tengah hiruk-pikuk kendaraan di sekitar pasar Johar dan deretan toko-toko milik orang Arab Kauman.
Selain masjid Kauman, Semarang modern punya dua "masjid Agung" lain yang ironisnya, dianggap lebih ikonik dan familiar dibanding pendahulunya. Kedua masjid itu yakni masjid Agung Jawa Tengah dan masjid Baiturrahman yang ada di area Simpang Lima. Kalau menyebut nama masjid Agung', generasi hari ini barangkali lebih akrab dengan dua masjid tersebut. Pasalnya Masjid Baiturrahman terletak di tengah Simpang Lima, ‘alun-alun’ Semarang modern, yang dikelilingi sejumlah mall sebagai ‘jujugan’ tongkrongan di tengah kota. Sementara Masjid Agung Jawa Tengah adalah proyek besar pemerintah provinsi Jawa Tengah pada tahun 2000an yang jadi ikon Semarang sekaligus tujuan wisata baru dan lokasi swafoto terkini. Biasanya, masjid yang dikelola tingkat provinsi bernama masjid Raya. Sementara masjid Agung, adalah nama masjid yang dikola pemerintah kabupaten/kota.
Arus modernisasi ini rupanya membuat masjid Kauman kian hanyut bersama ingatan tentang perkembangan Islam dan Semarang lama. Makin tenggelam di tengah tuntutan kota yang selalu bergerak dan memutakhirkan diri.