Anda mungkin pernah dengar dari para mubalig bahwa fenomena akhir zaman yaitu semakin ramainya acara konser dan hiburan serta semakin surutnya jamaah di langgar (musala) sekitar.
Pernyataan itu tanpa isapan jempol belaka karena memang faktanya demikian. Di tempat saya (Indramayu-Jabar) langgar atau musala biasa kami sebut tajug. Kata tajug telah berkembang lama era Sunan Gunung Jati bahkan hingga saat ini.
Tak heran jika tajug-tajug begitu nampak sepi. Jika kita lihat tajug-tajug di desa paling isinya hanya imam dan dua makmum, itu juga satunya adalah anak kecil yang belum balig (cukup umur). Paling populer yaitu imam dan makmumnya hanya seorang diri bahkan tak jarang kita jumpai semua dari mulai membersihkan tajug, azan iqamat, imam dan makmum semua dirangkap oleh satu orang.
Memang sangat miris keadaan seperti ini. Tajug sebagai tempat ibadah hanya dimonopoli oleh mbah-mbah sepuh yang bagi kaum muda sudah wayahnya menghadap kepada sang pencipta. Sehingga tak aneh jika yang banyak ibadah yaitu kalangan generasi old. Lalu ke mana generasi mudanya? tentu saya tidak tau, coba tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
Selama ada orang sepuh selama itu pula tajug masih dikatakan aman walaupun antara hidup dan mati. Setidaknya masih ada yang mengumandangkan azan. Selain azan salah satu yang tak hilang di tajug adalah puji-pujian khasnya. Biasanya pujian itu dilantunkan setelah selesai dikumandangkannya azan.
Pastinya pujian lawas itu hanya orang tua sepuh saja yang masih melantunkannya. Walau dengan suara seadanya mereka masih mendengungkan syiiran itu dengan penuh penghayatan. Berbeda dengan anak sekarang yang sudah gandrung dengan syiiran Arab kontemporer yang entah apakah paham artinya atau tidak. Tapi semua tak masalah, sebab intinya mengajak kepada kebaikan.
Di tajug tempat saya ngaji dan salat dulu bahkan hingga saat ini masih sering saya dapati puji-pujian khas menunggu imam dan jamaah lain datang. Pujian tersebut diberi judul "Oyode Shadat". Begini teks lengkapnya:
Oyode shadat, wit e iman godonge sholat
Woh e dzikir, kembange puji-pujian
ya Allah
Duh gusti, kula nyuwun pangampura
Sekatahe dosa kawula
Lan dosane tiyang sepuh kali kula
Lan dosane dulur Islam sedaya
Ayun-ayun badan, badan siji dadi susahe ati
Wong ing dunya sugih dosa, ning akherat dipun siksa
Laailaahaillah.. laailaahaillah.. laailaahaillah
Mukammadur Rasululloh
Kurang lebih artinya begini:
Akarnya shadat, pohonya iman daunya sholat
buahnya dzikir, bunganya puji-pujian
Ya Allah
Ya Allah, saya memohon pengampunan
Karena banyaknya dosa saya
Dan dosanya kedua orang tua saya
Dan dosanya saudara Islam semuanya
Menimang-nimang badan, badan yang satu jadi susahnya hati
Orang di dunia banyak dosa, di akhirat akan disiksa
Laailaahaillah.. laailaahaillah.. laailaahaillah
Mukammadur Rasululloh
Mendengar syiir pujian yang dilantunkan sebelum salat tersebut tentu mengingatkan kita akan makna yang terkandung di dalamnya. Pujian tersebut memiliki kearifan bahwa memuji Tuhan tidak melulu dengan bahasa Arab melainkan boleh dengan bahasa apapun. Karena Tuhan maha mengerti apa yang diucapkan hambanya sekalipun berada dalam hati.
Pujian itu juga menjelaskan tentang keimanan seseorang yang diilustrasikan lewat bagian pepohonan. Sejak awal sebagai penguat dasar agama bahwa orang Islam harus dilandasi dengan syahadat. Sebab syahadatlah kunci pembuka bahwa seseorang dinyatakan masuk Islam. Setelah Islam mereka lalu menuju ke tahap selanjutnya yaitu menumbuhkan iman, menegakkan salat, melahirkan zikir dan pujian (syukur).
Selanjutnya permohonan ampunan bahwa manusia tempatnya salah dan dosa. Memohonkan ampunan adalah hal yang mendasar bagi setiap mahluk baik disadari atau tidak. Kecenderungan memohon ampunan salah satu faktornya karena rasa takut bahwa di akhirat nanti manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Sifat khauf memang salah satu yang mendasari orang-orang giat dalam ibadah hal ini seperti tercermin pada era kezuhudan sebelum istilah tasawuf berkembang. Pada zaman ini orang menghamba kepada Tuhan karena rasa takut yang berlebihan. Menganggap bahwa Allah itu al Jalal (perkasa lagi menghukum) padahal sifat Allah yang lain adalah al Jamal (maha indah) dan al ghofur (maha pengampun). Maka dari itu seiring berjalannya waktu cara ketaatan seperti ini dikritik oleh banyak pihak seperti halnya dulu dengan kemunculan Rabi’ah Adawiyah yang memberi pengertian bahwa ibadah semata-mata karena rasa cinta, bukan karena pahala atau kavelingan surga.
Terakhir, dalam syiir pujian tersebut terdapat doa yang ditujukan kepada orang tua, guru dan saudara sesama muslim. Doa tersebut sengaja dialamatkan kepada mereka sebagai wujud syukur dan terima kasih atas apa yang telah diberikan selama ini. Akan tetapi secara eksklusif doa hanya diberikan kepada sesama muslim ini artinya bahwa doa hanya milik mereka yang memiliki kesamaan dalam keyakinan.
Mereka meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib disembah dan menciptakan. Sehingga sebagai sesama yang meyakini tentang keesaan Allah sebagai Tuhan yang absolut maka perlu adanya legitimasi doa tersebut. Berbeda lagi dengan orang di luar Islam karena perbedaan keyakinan itulah doa tersebut tidak diperuntukkan buat mereka.
Puji-pujian tersebut sesungguhnya telah didesain sebagai sebuah syiiran bahwa persatuan sesama muslim harus terus dipupuk dan dipertahankan. Sebab diakhir zaman ini masih banyak kelompok yang menaruh sinisme terhadap Islam. Mereka terus berupaya membenturkan Islam dengan segala hal. Maka dari itu persatuan sesama muslim walau berbeda tetap dirawat dengan baik. Karena bagaimanapun keadaannya sesama muslim adalah saudara kita sejak di dunia hingga kelak di akhirat.