Sebagai pengkaji filsafat sejak kuliah, saya cukup akrab dengan puspawarna pemikiran. Salah satu perjalanan saya menziarahi pelbagai pemikiran tersebut sempat terhenti cukup lama di Jerman dan Prancis. Tepatnya pada Pesimisme-nya Arthur Schopenhauer dan Absurditas-nya Albert Camus. Kedua orang pemikir tersebut membuat saya terbuai, bahkan lalai; bahwa hidup ini melulu pesimis dan absurd.
Bahkan saat membaca buku bertajuk “Adakah Kebahagian dalam Rencana Genetik Kita?: Emosi sebagai Rancangan Evolusioner” karya Afthonul Afif (Rua Aksara, 2025) ini saya sudah pesimis sejak awal. Dalam hati saya berujar, “Paling isinya itu-itu saja. Hanya kumpulan motivasi-motivasi agar manusia bisa bahagia.” Perasaan demikian juga diliputi keyakinan semu bahwa hidup ini akan tetap begini, sebagaimana Sisifus yang bertungkus lumus mendorong batu ke atas gunung, lalu jatuh lagi dan lagi.
Pada nyatanya, saya terlalu naif dan pongah. Saya terlanjur menampik kemungkinan-kemungkinan lain yang menyoal kebahagiaan. Saya terlalu pongah pada keyakinan, bahwa semakin kebahagiaan dibicarakan, maka semakin terjerembab jauh kita dari kebahagiaan itu sendiri. Bahkan saya pun sempat meyakini bahwa kata ‘kebahagiaan’ sengaja diciptakan dan disepakati oleh manusia di masa lampau sebab mereka terlanjur papa dan sengsara hidupnya. Akhirnya kata ‘bahagia’ mereka ciptakan sebagai opium yang membuat mereka bisa hidup dalam ilusi yang tak akan menjumpai muaranya.
Jalan Panjang Kebahagiaan
Kepesimisan saya di awal saat membaca tajuk buku ini dinafikan dengan telak oleh Afthonul Afif. Kendati buku ini berisi kumpulan tulisan, tapi semua memiliki jalin kelindan dengan kebahagiaan. Menariknya, kebahagiaan yang diulas di sini bukan melulu tips atau cara-cara meraih kebahagiaan ala stoikisme atau buku-buku berisi self improvement.
Afthonul Afif tak sekadar membahas kebahagiaan dan hal-hal yang melingkupinya dari sisi psikologis semata. Ia mengajak kita berjalan-jalan ke lembah evolusi, filsafat, hingga sosial. Singkatnya, membaca buku ini dengan cermat akan memaksa kita melakukan ritus intertekstualitas.
Misalnya saja saat membahas kebahagiaan. Dalam tulisannya yang berjudul Apakah Kebahagian adalah Rancangan Evolusioner yang Diwariskan? Afthonul Afif tidak berbusa-busa menjelaskan perihal apa itu kebahagiaan dan bagaimana kita bisa mendapatkannya. Afif coba menelisik jauh ke belakang dengan memahami proses evolusi manusia.
Kebahagiaan, dalam sejarah panjang evolusi manusia, bukan sekadar emosi menyenangkan. Kebahagiaan itu sendiri merupakan mekanisme yang berperan dalam kelangsungan hidup serta perkembangan dinamika sosial. Manusia bertahan tidak semata karena ia mampu berburu atau menghindari bahaya, tetapi juga karena kemampuan mereka dalam membangun komunitas, saling berbagi, serta saling melindungi.
Selain itu, kebahagiaan juga menjadi warisan evolusi yang diwariskan sebab kemampuan manusia berdamai dalam menghadapi dengan ketidakpastian. Sayup-sayup saya jadi teringat dengan Herakleitos yang mengatakan “panta rhei” (semuanya mengalir). Bukankah manusia di masa lampau teramat sering menghadapi ketidakpastian—binatang buas, cuaca, bencana alam, dll? Tanpa kemampuan berdamai tersebut, sudah tentu manusia akan punah karena dirundung ketakutan, kecemasan, dan depresi.
Jangan Sinis pada Kecemasan dan Gangguan Mental!
Tak hanya kebahagiaan yang menjadi mekanisme evolusi manusia di masa lalu. Ternyata musuh besar dari kebahagiaan dan kesejahteraan, yaitu kecemasan, penderitaan, dan depresi juga salah satu warisan evolusi yang kita warisi hari ini. Secara singkat dapat dikatakan bahwa persoalan kesehatan mental memiliki pengaruh pada proses evolusi manusia.
Sayangnya, kesehatan mental kerap direduksi hanya persoalan klinis. Padahal persoalan kesehatan mental ini perlu juga dipertimbangkan bagaimana faktor biologis dan sejarah evolusi turut membangun pengalaman mental manusia. Dalam buku ini Afif mencoba melihat kesehatan mental melalui sudut pandang antropologi biologis.
Melalui lensa antropologi biologis, kita diajak memahami bahwa gangguan mental bukan melulu ketidakseimbangan kimia di otak atau disfungsi neurologis. Emosi yang dirasakan manusia—seperti kecemasan dan depresi—berkembang menjadi mekanisme bertahan hidup dalam lingkungan yang tak menentu dan menuntut adaptasi terhadap segala perubahan.
Kecemasan pada sejatinya bukan hanya soal beban psikologis, melainkan sebagai alarm untuk mengantisipasi bahaya. Hal ini dapat kita ketahui bagaimana kecemasan dapat membuat seseorang menarik diri dari situasi yang riskan. Tak hanya itu, kecemasan dan depresi ini juga dapat mendorong seseorang untuk berikhtiar membangun sistem sosial yang baik.
Kendati demikian, perasaan cemas dan depresi yang tidak diregulasi mandiri secara baik akan menyebabkan seseorang terjatuh pada perasaan yang memuakkan. Bahkan tak jarang membuat seseorang terserang sakit mental. Oleh karenanya Afif menawarkan cara pandang menarik terkait hal ini. Afif mengajak kita untuk memahami depresi bukan sekadar persoalan personal, apalagi moral religius. Depresi perlu dipandang sebagai respon adaptif terhadap segala ketidakpastian. Depresi dan kecemasan juga perlu dipandang sebagai cara untuk menggali akar sosial, seperti ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat.
Melihat Kesedihan dengan Berbeda
Selama ini kesedihan acapkali dianggap sebagai singa liar yang siap menerkam siapa saja di hutan belantara. Kesedihan merupakan sesuatu yang menakutkan dan seakan-akan harus dijauhi dalam hidup yang pendek ini. Nyatanya, hampir tidak ada manusia yang terlewat dari sergapan perasaan sedih tersebut. Setiap manusia pasti akan mengalami kesedihan, entah sekali, dua kali, atau berkali-kali.
Melalui esainya yang berjudul Dalam Depresi, Dunia Terlihat Lebih Transparan, Afthonul Afif membawa kita pada rimba kesedihan yang dapat ditengok melalui hal-hal lain. Jika selama ini kita terlanjur menjaga jarak sejauh-jauhnya dengan kesedihan, maka Afif memberikan pandangan lain. Mengutip Joseph Forgas, Afif menuliskan bahwa kesedihan pada seorang manusia dapat meningkatkan pemikiran kritis dan memberi kemampuan untuk menilai sesuatu secara lebih hati-hati.
Saya pun jadi teringat dengan orang-orang yang waskita, yang kerap diceritakan sejak lampau. Kebanyakan orang yang waskita—luas pengetahuan, lapang dada, berjibun kebijaksanaan—kerap kali berkubang dalam dunia yang dekat dengan kesedihan dan penderitaan. Dengan pemikiran yang kritis dan sikap kehati-hatian itu, maka kebijaksanaan seseorang dapat terbentuk.
Pada akhirnya, buku Afthonul Afif ini memberi kita hal-hal lain mengenai kebahagiaan, penderitaan, kecemasan, dan ketidakmenentuan dalam hidup. Membaca buku ini tak bisa selesai dalam sekali duduk, sebab kita diajak untuk memikirkan ulang dan membongkar keyakinan kita selama ini yang telah kokoh berdiri. Tanpa mengesampingkan kedalaman isi buku ini, satu hal yang sedikit membuat saya bernapas berat yaitu banyaknya pengulangan-pengulangan pada bagian akhir tulisan. Afif seakan-akan tidak hendak membuat tulisannya segera klimaks. Sayangnya hal tersebut justru membuat tulisannya menjadi anti-klimaks.
Kendati demikian, dalam keadaan dunia hari ini yang makin berlari cepat dan ugal-ugalan ini, membaca buku ini menjadi sangat perlu. Melalui buku ini, berbagai perasaan emosi dalam hidup dapat kita regulasi secara mandiri secara baik. Tak semua persoalan dalam hidup adalah kesusahan. Adakalanya ia memang harus terjadi dalam hidup kita sebagai mekanisme kehidupan yang lebih baik. Sekian.