80 tahun Indonesia merdeka, usianya tak lagi muda. Keteladanan para pendahulunya dalam mempertahankan kemerdekaan negara ini tak boleh sirna untuk dipetik oleh generasi berikutnya. Maka untuk merefleksikan kembali perjuangan mereka, penulis akan mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah perjuangan Kiai Halim Siddiq Jember di masa Revolusi Indonesia berdasarkan catatan harian (diary) beliau yang ditulis secara detail dan periodik mulai tanggal 24 Juli 1947-12 November 1947. Ditulis menggunakan campuran bahasa Indonesia–Jawa–Madura dalam aksara Aran Pegon.
Pada Februari 2025, Komunitas Ngenger sebagai pegiat sejarah dan kebudayaan di Jember menyalin ulang naskah ini ke dalam aksara latin agar lebih mudah diakses oleh publik. Namun sebelum itu, kita akan menengok profil ringkas beliau terlebih dahulu.
Kiai Abdul Halim Siddiq merupakan putra ketiga dari pasangan K.H. Muhammad Siddiq dengan Ny. Hj. Zulaikho bin K.H. Yusuf yang merupakan istri hasil perkawinan Kiai Siddiq ketiga kalinya. Abdul Halim dilahirkan di Jember pada hari Kamis Kliwon, tanggal 04 Jumadil Akhir 1331 H / 20 Mei 1920 M.
Pasca kelahirannya, ia diakikahi oleh abahnya di hari ketujuh dengan menyembelih satu ekor sapi. Sedari kecil beliau menimba ilmu kepada abahnya yang merupakan pendiri dan pengasuh Pesantren Talangsari (Ash-Shiddiq). Namun, entah di tahun berapa dan di usia berapa tiba-tiba ia hendak dinikahkan oleh abahnya.
Abdul Halim menolak, maka secara diam-diam ia kabur dari rumah, pergi mengembara menuju tanah suci Mekkah. Sesampainya di Mekkah, Abdul Halim pun melayangkan surat kepada Abahnya bahwa ia berada di Makkah. Meski diliputi rasa sedih atas kepergian putranya secara tiba-tiba ke Mekkah.
Selama di Mekkah, Abdul Halim (yang kala itu diperkirakan berusia 18 tahun) menimba ilmu kepada beberapa ulama’ yang ada di sana, seperti Syaikh Abdul Hamid Sedayu dan ayahnya Syekh Mukhtar Sedayu. Meskipun tidak dikirimi bekal oleh Kiai Shiddiq, Abdul Halim dalam mencukupi kebutuhan hariannya di Mekkah berprofesi sebagai penyedia jasa persewaan unta dan berbagai wirausaha lainnya.
Sepulang dari Mekkah, ia akhirnya berkenan untuk dinikahkan dengan Ny. Siti Hayat Muzayyanah binti K.H. Abdurrahman asal Desa Rowotamtu, Rambipuji, Jember. Kemudian pada tahun 1943, Kiai Halim menikah untuk kedua kalinya dengan Ny. Nurotul Laili binti K.H. Muhammad Aly asal Bangsalsari, Jember.
Catatan beliau ini panjang sekali, maka penulis akan mengambil ringkasan beberapa hari dari catatan aslinya dan diambil pula poin-poin yang menarik dengan penyederhanaan bahasa. Dimana peristiwa tersebut terjadi menjelang peringatan 3 tahun kemerdekaan Indonesia dan suasananya berada di bulan suci Ramadhan 1366 H.
Jum’at Wage Malam Sabtu (28 Ramadhan 1366 / 15 Agustus 1947)
Terjadi gempuran yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap rumah Kiai Munir Curahmalang. Sebanyak 5 vrachtauto datang dari arah Balung dan 1 vrachtauto datang dari arah Rambipuji guna mengintrogasi Kiai Munir untuk mencari informasi tentang keberadaan pejuang yang tergabung dalam Laskar Hizbullah.
Namun Kiai Munir enggan menjawab dan akhirnya serdadu tersebut marah serta membabi buta dengan membakar 5 rumah penduduk, membunuh satu pengemis, dan kawan Kiai Halim yang bernama Suwito bersama carik desa setempat ditawan.
Ketika bersembunyi di Curahlele, Kiai Halim menuliskan penyesalannya bahwa ia sudah 4 kali meninggalkan shalat Jum’at dikarenakan kondisi darurat. Tak lupa beliau mendata barang bawaan beliau yang ada di Curahlele, jika keadaan mulai mencekam dan diharuskan hijrah kembali.
Ahad Legi (30 Ramadhan 1366 / 17 Agustus 1947)
Di malam penghabisan bulan Ramadhan, Kiai Halim Siddiq telah menyelesaikan shalat tarawih genap 23 rakaat beserta witirnya yang mana sebelumnya beliau hanya shalat tarawih 11 rakaat. Walaupun suasana sedang genting, beliau menuliskan bahwa selama bulan Ramadhan Kiai Halim Siddiq telah menyelesaikan puasa Ramadhan secara sempurna tanpa mokel serta dapat mengkhatamkan Al-Qur’an pada tanggal 26 Ramadhan di kediaman Bu Muzammil asal Gumelar. Meski berada di situasi keadaan ekonomi serba kekurangan, beliau bersyukur dapat menunaikan zakat fitrah sebanyak 12 jiwa yang terdiri atas beliau pribadi dan keluarganya.
Selasa Pon (02 Syawwal 1366 / 19 Agustus 1947)
Siang hari di jam 12, Kiai Halim beserta saudaranya yang lain melakukan perundingan mengenai pembentukan PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat) dalam hal ini Kiai Dzofir, sepupu beliau yang memakai nama samaran Pak Nur ditunjuk sebagai Pemimpin Umum PPPR, sementara untuk Pimpinan Majelis Tahkim dijabat oleh Kiai Halim Shiddiq yang memiliki nama samara Abu Said Ad-Daroini, untuk Pimpinan Kelasykaran / Ketentaraan dalam hal ini dijabat oleh Pak Jimun atau Kiai Abdullah Shiddiq, dan Pemimpin Penghubung dijabat oleh Pak Dul Salam dan Pak Dullah. Uniknya, dalam hal surat menyurat ada beberapa tanda atau kop surat yang juga ditetapkan pada tanggal ini. Surat dari atasan kebawah memakai kop kaf ha ya ain shad (كهيعص), sementara untuk surat yang berasal dari bawah ke pusat memakai kop ha mim ‘ain siin qaf (حمعسق).
Pada periode tanggal 20 – 24 Agustus 1947 dilakukan sosialisasi dan juknis mekanisme penyuratan, seperti jika perannya sebagai penghubung, maka kop surat ditambahkan مس . Kemudian diterangkan pula dalam surat maklumat yang tertanggal 20 – 21 Agustus 1947 mengenai tugas para staf yang telah ditunjuk dan pada tanggal 25 Agustus 1947 ditetapkan sebagai tanggal dideklarasikannya PPPR, sebagai komando perjuangan rakyat di karisidenan Besuki selama masa Revolusi.
Dari sekelumit kisah perjuangan revolusi para ulama’ kita, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam perang sekalipun mereka tidak pernah meninggalkan ibadah wajibnya. Berbeda dengan kita yang terkadang masih mencari keringanan jika menemukan sedikit hal yang dianggap darurat, tapi tidak terlalu genting. Oleh karena itu, dalam memaknai HUT RI ke 80 tahun ini marilah kita teladani bersama semangat ibadah para ulama’ kita yang dahulu berjuang mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa kenal lelah. Wallahu a’lam.