Di esai pertama berjudul Curhat untuk Girlband Hijab Syar’i, kita
akan dibuat terkekeh oleh cara penulisan Kalis Mardiasih. Tulisan memang pernah
dimuat di mojok.co pada Desember
2015. Kalis cukup dramatis menanggapi sekaligus melawan arus berjilbab syar’i
dan tidak syar’i yang sebenarnya lebih pada perayaan kapitalisme berbusana. Lantas,
hal ini dihubungkan dengan perilaku berhijrah dadakan oleh jamaah bertanda
syar’i untuk menghukum orang-orang yang bahkan tidak dikenal karena dirasa
tidak serius berjilbab.
Di esai kedua dan ketiga, jilbab
masih menjadi pokok. Nada Kalis masih menampakkan kesinisan pada optimisme ZOYA
merilis jilbab halal bersertifikat MUI yang jelas-jelas sangat mengecewakan
kaum berjilbab “paris sepuluh ribuan”. Kalis sangat sanksi pada bisnis busana
muslimah diiklankan ustaz seleb dadakan yang dengan angkuh menciptakan pakem bahwa
cantik dan salihah itu berjilbab. Atas kasus hujatan menimoa Rina Nose yang
dihukum warganet karena melepas jilbab, Kalis pun turut bersimpati dan ingin
dengan sekeras-kerasnya menyerukan judul esainya, Jilbabku Bukan Simbol Kesalihan.
Tulisan-tulisan Kalis dihimpun
dalam Muslimah yang Diperdebatkan
(2019) memang lebih lahir dari isu mutakhir dan keterlibatan di media sosial. Selingan
kecil di tengah penampilan menjadi pembicara di forum-forum publik. Di kalam
pembuka, tulisan-tulisan diakuinya telah diakuinya sebagai, “narasi kontra yang
sering kali bernada sinis terhadap semuanya.” Suara Kalis hadir sebagai bentuk
ketidakterimaan pada tren hijrah ala seleb, pakem halal-haram jilbab, jalan
pintas ke surga dengan poligami, seminar pranikah, sampai pada hal-hal lebih
serius berkaitan dengan memanusiakan perempuan. Kalis kesal dengan siar-siar
agamis yang memberikan berlimpahan nasihat, tapi tulisan-tulisannya pun tidak
bisa menghindar dari gaya menasihati. Sinisme hadir tidak sekadar sebagai
lemparan kekesalan. Bagi Kalis, tulisan harus “berupaya memberikan dukungan
kepada suara perempuan yang sering kali gagal didengar sebab halal-haram selalu
dijatuhkan lebih awal dibanding aspirasi dan pengalaman perempuan.”
Daripada buku dari para pemikir
keislaman, Kalis lebih banyak terbantu oleh otobiografi berislam di masa kecil
yang amat kerakyatan dan egaliter. Begitu memasuki dunia beragama yang dewasa,
terutama saat menyadang status mahasiswa di kampus negeri di Solo dan menjadi
warga masyarakat muslimah, Kalis banyak
merasakan kelewahan beragama. Dia merasa perlu dipertentangkan kelewahan nan
salih ini dengan beragama di masa kecil yang sumringah, tanpa pamrih, tidak ngoyo, dan toleran tanpa sesumbar
bertoleransi. Hal ini sekaligus secara bertahap mendorong Kalis terlibat dalam
isu-isu keragaman dan toleransi nasional, dikuatkan dengan kesertaan aktif di
Jaringan Nasional Gusdurian.
Keragaman
Kita cerap esai berjudul Islam di Mata Orang Asing. Esai tampak
mentereng karena dibingkai program (pertemuan) bersifat ragawi bernama EYES for
Embracing Diversity bersama Japan Foundation di Jakarta yang mendatangkan para
peserta nonmuslim dari Jepang, India, Filipina, Thailand, dan Peru. Kalis
semacam diuji oleh pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang asing yang ingin tahu
tentang Islam, dari persoalan ibadah sampai peci. Justru diacara semacam ini di
antara orang asing, Kalis lebih sadar menjadi berbeda di tengah dunia yang
beragam.
Tidak mengejutkan jika acara bertema
keragaman tiba-tiba membuat Kalis tiba-tiba sangat kalem dalam kontemplasi,
“Aku tak boleh berhenti belajar. Kehidupan antarmanusia sebagai warga dunia
dipersatukan lewat ilmu pengetahuan. Perbedaan membutuhkan jembatan yang sama
sekali bukan dalam bentuk peperangan.” Di antara manusia yang berbeda,
pengajaran keragaman lebih terasa efeknya. Sangat berbeda kesan antara Kalis
menghadapi orang berbeda agama yang ingin belajar dan tidak sok tahu dengan menghadapi
orang yang sama-sama Islam, tapi sok tahu dan gemar mengingatkan dengan
hujatan. Di antara kaumnya sendiri, Kalis justru mengambil posisi sebagai musuh
dan harus lekas berperan meluruskan.
Tidak jauh berbeda antara mendengarkan Kalis berorasi di jalan dalam kerumunan massa dengan membaca tulisan-tulisan dihimpun dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan. Daya tanggap pada isu-isu yang dilejitkan oleh media sosial dan komersial terjadi sangat cepat. Kalis begitu keras dan vokal mengadvokasi isu-isu keberagamaan dan keperempuanan. Segera saat itu juga menanggapi dan berlari begitu kencang untuk meluruskan. Aksi dan tulisan yang bakal menentukan siapa Kalis bagi Indonesia beberapa tahun mendatang, apakah seorang muslimah intelektual pemikir atau masih kuat sebagai muslimah aktivis yang reaksioner pada hal-hal mengisari kehidupan perempuan.
Judul : Muslimah yang Diperdebatkan
Penulis : Kalis Mardiasih
Penerbit : Buku Mojok
Cetak : Pertama, April 2019
Tebal : xii+202 halaman
ISBN : 978-602-1318-93-5