Sosok Tan Malaka yang dikenal sebagai Bapak Republik bagi sebagian kawula muda kini mulai digandrungi pasca ketokohannya dibatasi di era Orde Baru. Bukunya yang berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) dan Aksi Massa menjadi pedoman kaum pergerakan yang ingin melakukan perubahan bagi Republik Indonesia menuju lebih baik.
Tidak seperti pemikir dan pengagum kiri lainnya yang cenderung menafikan agama. Justru Bung Tan dalam pemikiran logikanya memadukan agama dengan pemahaman kiri yang didapat dari hasil studinya di Moskow pada tahun 1922.
Betapa tidak, dalam rapat Komintern yang diadakan di Moskow pada bulan November 1922, ia tampil mewakili Indonesia (Hindia-Belanda) dan turut berorasi di depan khalayak publik guna menyampaikan pendapatnya mengenai kerjasama antara komunisme dan Pan-Islamisme, meskipun pendapat tersebut ditolak.
Setidaknya ia membawa wajah Islam di tengah golongan yang mayoritas menganut atheisme (anti-Tuhan). (Harry A. Poeze, 2008: xvii). Ajaran Islam Bung Tan bisa jadi diperoleh tatkala masih berada di kampung halamannya, Pandan Gadang, Minangkabau, Sumatera Barat pada dayah (semacam madrasah diniyah) yang ada di sekitar langgar atau kediamannya.
Pemikiran Bung Tan yang lain mengenai Islam dan Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam kami temukan pada sebuah e-book yang berjudul “Islam Dalam Tinjauan Madilog”. E-book ini bersumber dari versi cetaknya yang diterbitkan oleh Penerbit Widjaja-Jakarta pada tahun 1951.
Dalam pemikiran Bung Tan mengenai konsep Islam, ada beberapa poin menarik yang akan kami kemukakan tentang bagaimana Bung Tan menyifati pribadi Rasulullah dengan retorika yang bagus. Mengingat pada kali ini kita memasuki bulan Rabiulawal yang merupakan bulan kelahiran Rasulullah.
Dalam e-book ini Bung Tan menjelaskan sosok Nabi demikian: “Cantumkanlah di mata pembaca seorang pemuda pendiam (Nabi Muhammad), mata sering melayang tinggi tetapi cepat bisa menaksir barang dan uang di mukanya, kening lebar dan tinggi menandakan kecondongan pikiran pada filsafat, tetapi juga menyaring apa yang praktis bisa dijalankan”.
Paparan Bung Tan tersebut menunjukkan kepribadian Nabi Muhammad yang jujur tatkala beliau berdagang di usia muda, baik itu ketika menjalankan perdagangan bersama pamannya Abu Thalib ataupun ketika bersama Khadijah sebelum beliau meminangnya (Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, 2010 : 53).
Kemudian Bung Tan melanjutkan lagi pemaparannya tentang pribadi Rasulullah sebagai berikut, “Tetapi Muhammad dengan memaafkan yang dahulunya mau menewaskan jiwanya, mengubah musuhnya itu menjadi pengikut, hambanya dianggapnya saudara kandungnya”. Lagi-lagi pernyataan Bung Tan ini selaras dengan sebuah hadits yang menerangkan kepribadian Rasulullah sebagaimana berikut:
عن عمرو بن العاص قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم, يقبل بوجهه وحديثه على أشرِّ الْقومِ....
Dari Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah akan menyambut dengan wajah berseri kepada orang yang paling jahat sekalipun dari suatu kaum untuk meluluhkan hati mereka…” (Imam Tirmidzi, 2023 : 258).
Hal lain yang dicontohkan oleh Rasulullah sebagaimana dengan yang dipaparkan oleh Bung Tan serta hadits di atas adalah tatkala Beliau 'alaihis shalatu wassalam pasca melakukan ekspansi Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah) menerima keislaman Wahsyi yang dahulu telah membunuh pamannya, Hamzah bin Abdul Muthollib dalam perang Uhud (Shafiyyurrahman Al – Mubarakfuri, 2010 : 478).
Sebagai penutup, Bung Tan memberikan sebuah premis menarik mengenai ajaran Islam dalam perspektif Madilog-nya sebagai berikut, “Jadi menurut Madilog, Yang Maha Kuasa/Allah itulah bisa lebih kuasa dari undang-undang alam (maksudnya hukum alam)”.
Tentu dari pernyataan ini dapat kita garis bawahi bahwa Bung Tan tidak sekiri sebagaimana yang dinarasikan oleh kebanyakan orang. Malah Bung Tan sendiri bisa jadi juga mengidolakan sosok Nabi Muhammad yang ajarannya membela kaum lemah yang tertindas (mustad’afin) serta menyuarakan kesetaraan sosial pada dunia. Wallahu a’lam.