November menjadi salah satu bulan bersejarah bagi bangsa Palestina. Dua peristiwa penting yang diperingati adalah wafatnya ikon perjuangan Palestina, Yasser Arafat atau yang dikenal dengan Abu Ammar, serta deklarasi kemerdekaan Negara Palestina, yang berlangsung di Aljir, Aljazair, pada 15 November 1988.
Proklamasi Negara Palestina dinyatakan dalam sidang ke-19 Dewan Nasional Palestina (PNC), badan legislatif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Deklarasinya dibacakan oleh pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, yang kelak menjadi Presiden pertama Negara Palestina.
Deklarasi kemerdekaan ini merupakan langkah politik besar selama Intifada Pertama (1987-1993), ketika PLO secara eksplisit menerima resolusi PBB nomor 242 dan 338. Kedua resolusi ini secara implisit mengakui hak keberadaan Israel, sekaligus menandakan pergeseran menuju solusi dua negara dan penyelesaian damai.
Aljazair menjadi negara pertama yang secara resmi mengakui Negara Palestina baru segera setelah deklarasi. Hingga akhir 1988, sebanyak 78 negara telah mengakui Palestina. Majelis Umum PBB kemudian mengakui deklarasi tersebut dan mulai menggunakan istilah “Palestina” untuk menggantikan “PLO” dalam sistem PBB.
Dukungan Tak Putus dan Persaudaraan Tak Berjarak RI-Palestina
Dalam perayaan hari kemerdekaan Palestina di Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, Jumat (21/11), Duta Besar (Dubes) Palestina untuk Indonesia, Dr. Zuhair Saleh Muhammad Alshun, menyatakan kemerdekaan Palestina tidak dapat dilepaskan dari dukungan rakyat dan pemimpin Indonesia. Dukungan dan persahabatan yang tak berjarak itu ditunjukkan dalam berbagai forum internasional.
“Saya, atas nama rakyat dan pemimpin Palestina mengucapkan rasa syukur yang sangat dalam kepada Indonesia; baik rakyat dan pemerintahnya, parlemen, dan seluruh organisasi kemanusiaannya dalam memberikan dukungan yang tiada henti kepada Palestina. Indonesia ikut berjuang bersama rakyat Palestina di mana pun, di tingkat diplomasi manapun, dan di forum-forum internasional manapun,” ungkap Dubes Alshun.
Ia menepis tudingan bahwa faksi-faksi di Palestina menghambat jalan menuju kemerdekaan, terutama perbedaan pandangan dari dua faksi politik terbesar yakni Fatah dan Hamas. Fatah yang berkedudukan di Tepi Barat ditunjuk sebagai pemimpin otoritas Palestina, dan berhubungan erat dengan para pemimpin Barat. Sementara Hamas menguasai Gaza sejak 2006, menjadi faksi yang tidak diakui dunia internasional, termasuk Indonesia.
“Kami bersatu untuk melawan dan berjuang mempertahankan tanah air kami demi kemerdekaan yang dicita-citakan dan karena kami saat ini sedang dalam pendudukan, dalam penjajahan sejak peristiwa Nakba tahun 1948. Padahal tanah Palestina merupakan tanah suci, tanah yang diberkati, dan tanah para Nabi seperti yang disebutkan dalam surat Al-Isra yang tadi dibacakan,” lanjut Alshun.
Puluhan mahasiswa Palestina yang sedang menempuh studi di Indonesia ikut hadir dalam peringatan penting ini. Mereka tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Palestina Indonesia (PMPI) dan menuntut ilmu di Universitas Pertahanan serta di sejumlah universitas lain, diantaranya Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Yarsi di Jakarta.
Perjuangan Tanpa ‘Abu Ammar’, Apa Kata Pemuda Palestina?
Abu Ammar merupakan panggilan kehormatan bagi Yasser Arafat. Nama lengkapnya saat dilahirkan pada 24 Agustus 1929 adalah Mohammed Abdel Rahman Abdel Raouf Arafat al-Qudwa. Selama masa perjuangan gerilya, Arafat mulai menggunakan "Abu Ammar" sebagai nom de guerre (nama perang). Nama panggilan ini dipilih untuk menghormati Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, yang dikenal karena perjuangan dan kesyahidannya dalam sejarah Islam.
Arafat meninggal dunia pada 11 November 2004 di Clamart, Prancis, akibat perdarahan hebat pada pembuluh darah otak (serebrovaskular). Jenazahnya dimakamkan di Muqata'a, kompleks kepresidenan Palestina di Ramallah, Tepi Barat.
Ketua Umum PMPI, Shaker Abu Shukor, menilai perjuangan Arafat memang tak tergantikan. Namun, tantangan yang dihadapi Arafat ia katakan berbeda dengan pemimpin Palestina saat ini, Mahmoud Abbas atau Abu Mazen.
“Abu Mazen lebih banyak melakukan perjuangan diplomatik jika dibandingkan dengan Abu Ammar. Perlawanannya berbeda karena perkembangan situasi dan kondisi di Palestina sekarang,” ujar Shaker kepada Alif.id.
Saat ditanyakan mengenai Resolusi DK PBB mengenai rencana penempatan pasukan internasional di Gaza, ia menjawab tegas bahwa apa pun proposal yang diajukan akan diterima rakyat Palestina, sepanjang itu bisa menghentikan perang.
“Apa pun solusi yang penting perang dapat berhenti. Setiap hari minimal puluhan orang menjadi mujahid, meninggal dalam perjuangan. Apa pun, yang penting bisa menghentikan pertumpahan darah di Gaza,” tambah Shaker yang berasal dari Hebron, Tepi Barat. Kedua orang tuanya kini masih tinggal di wilayah tersebut. Ada harapan dari Shaker agar pemerintah Indonesia bersedia untuk menambah kuota penerima beasiswa dari Palestina.
“Saat ini ada 90 mahasiswa Palestina di Indonesia. Jika dibandingkan dengan mahasiswa asal Yaman, jumlah mereka (yang studi di Indonesia) ada 300 orang. Kami ingin jumlah beasiswa untuk mahasiswa Palestina ditambah. Agak sulit untuk melanjutkan studi di Palestina, bahkan untuk mencari beasiswa agar bisa keluar dari Palestina,” kata Shaker yang sedang menempuh studi doktoral di bidang teknik elektro di ITB.
Setelah pendidikannya selesai, Shaker berencana untuk menghabiskan satu tahun di Indonesia untuk menerapkan ilmunya, lalu kembali ke Tepi Barat. Ia yakin Palestina akan membutuhkan banyak insinyur untuk membangun negeri.