“Perlawanan kami terhadap pendudukan sah dan dijamin hukum internasional!”. -Hamas
Sumber: AP Photo
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi rancangan Amerika Serikat (AS) yang mendukung rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang Gaza, dan mengesahkan pasukan stabilisasi internasional di wilayah tersebut. Resolusi tersebut disahkan pada 17 November 2025 waktu setempat di markas besar PBB di New York, AS.
Hamas segera menolak resolusi tersebut karena dinilai tidak memenuhi hak dan tuntutan rakyat Palestina, dan berusaha untuk menerapkan kekuasaan perwalian internasional di wilayah Gaza yang ditentang oleh rakyat Palestina dan faksi-faksi perlawanan.
Sumber: AP Photo
“Menugaskan pasukan internasional dengan tugas dan peran di dalam Jalur Gaza, termasuk melucuti senjata perlawanan, menghilangkan netralitasnya, dan mengubahnya menjadi pihak dalam konflik yang mendukung pendudukan,” tambah kelompok tersebut seperti yang dikutip dari Reuters.
Hamas menambahkan, resolusi ini akan menjadi mekanisme untuk mencapai tujuan pendudukan yang gagal dicapai melalui perang pembasmian yang brutal. Selain itu, perlawanan terhadap pendudukan dijamin oleh hukum internasional.
“Resolusi ini memisahkan jalur Gaza dari sisa wilayah Palestina dan berusaha memberlakukan fakta-fakta baru yang jauh dari prinsip-prinsip dan hak-hak nasional yang sah dari rakyat kami. Perlawanan terhadap pendudukan dengan segala cara adalah hak sah yang dijamin oleh hukum dan perjanjian internasional, dan senjata perlawanan terkait dengan keberadaan pendudukan,” tambah Hamas.
Hamas, yang merupakan faksi utama Palestina yang menguasai wilayah Gaza sejak 2006, menegaskan bahwa pembahasan mengenai masalah senjata harus tetap menjadi urusan internal nasional Palestina, lantaran terkait dengan jalur politik dan memastikan berakhirnya pendudukan, pendirian negara, dan penentuan nasib sendiri.
Saat dikonfirmasi, pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyatakan Indonesia menyambut baik disahkannya Resolusi DK PBB mengenai Gaza pada 17 November 2025, yang bertujuan menjaga keberlangsungan gencatan senjata dan memastikan penyaluran bantuan kemanusiaan di Gaza, Palestina.
Resolusi juga mengedepankan penyelesaian konflik dan perdamaian berkelanjutan melalui penguatan kapasitas Otoritas Palestina, bantuan rekonstruksi, dan penjagaan perdamaian oleh pasukan stabilisasi internasional atas mandat PBB.
Vahd Nabyl Achmad Mulachela, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI.
“Indonesia menyerukan kepada seluruh pihak yang terlibat serta masyarakat internasional untuk mendukung proses perdamaian ini, atas nama kemanusiaan, untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan, memenuhi hak bangsa Palestina untuk merdeka sepenuhnya, dan menciptakan perdamaian yang langgeng di kawasan Timur Tengah,” ungkap Vahd Nabyl Achmad Mulachela, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, menilai resolusi yang dikeluarkan PBB tersebut menjadi jalan paling aman untuk TNI.
“Ada ahli internasional yang berpikir resolusi ini akan dirumuskan dalam koalisi sukarela. (Ada kondisi) TNI yang tidak mau jika kelompok Hamas tidak dilucuti (persenjataannya). Sedangkan Israel tidak mendukung suara kelompok Muslim moderat yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Sekarang Hamas tidak setuju dengan Resolusi PBB karena mendukung Program Trump. Sementara Cina serta Rusia abstain,” ungkap Suzie kepada Alif.id.
Dari segi bantuan kemanusiaan, apapun resolusi yang diupayakan DK PBB itu dinilai tidak akan menolong kelancaran suplai bantuan, selama militer Israel masih menutup pintu-pintu perbatasan.
“Bantuan kesehatan (ke Gaza) masih belum maksimal karena Israel masih menahan truk-truk bantuan makanan untuk masuk secara penuh. RS Indonesia kondisinya masih sama, buruk sekali kondisi fasilitas kesehatan dan infrastruktur lain,” kata dr. Sarbini Abdul Murad kepada Alif, Selasa malam (18/11). Dr Sarbini kini menjabat pembina MER-C, organisasi relawan kesehatan yang aktif melayani warga sipil di RS Indonesia di Beit Lahia, Gaza Utara.
“Tugas pasukan stabilisasi adalah melucuti senjata Hamas dan di sini letak masalahnya, karena pada fase kedua perjanjian perdamaian adalah pembentukan dewan pemerintahan, penempatan pasukan stabilisasi dan pelucutan senjata Hamas,” ujar Sarbini.
Sarbini menilai Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut tak berkaitan langsung dengan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan. Namun pelucutan senjata akan menuai masalah, terutama karena klausul tersebut ditolak Hamas. Penolakan dapat berujung pada pertempuran yang lebih besar hingga penahanan bantuan kemanusiaan yang lebih lama.
Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.