Kasus MBG adalah contoh nyata bahwa program gizi bisa gagal kalau tidak dikelola dengan baik. Ada 9000 lebih anak yang keracunan. FAO pun mengingatkan Indonesia terkait ketahanan pangan.
Indonesia, melalui kerja sama dengan jutaan petani skala kecilnya, telah mencatat peningkatan produksi bahan pokok, seperti beras, dan penurunan prevalensi kerawanan pangan sedang atau berat. (FAO)
Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober tahun ini mengusung tema global “Bergandengan Tangan untuk Pangan dan Masa Depan yang Lebih Baik”. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kerja sama dengan jutaan petani skala kecil di Indonesia telah mencatat peningkatan produksi bahan pokok seperti beras, serta penurunan prevalensi kerawanan pangan sedang atau berat, dari 5,12% pada tahun 2020 menjadi 4,02% pada tahun 2024.
Namun, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan masih berfluktuasi. BPS mencatat angkanya meningkat menjadi 10,21% pada tahun 2022 dan menurun menjadi 8,27% pada tahun 2024. Ketidakcukupan konsumsi pangan mengacu pada kurangnya asupan energi. Ironisnya, angka ini masih di atas target 5% pada tahun 2024, sebagaimana ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia.
Rajendra Aryal, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste.
“Komitmen kuat Indonesia terhadap ketahanan pangan menawarkan momentum yang luar biasa bagi kolaborasi lintas sektor di seluruh sistem agripangan. Akan tetapi, memastikan bahwa setiap orang Indonesia memiliki akses rutin terhadap pangan berkualitas tinggi yang cukup untuk menjalani hidup aktif dan sehat juga sama pentingnya,” ungkap Rajendra Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor-Leste di Jakarta, Kamis (16/10).
Laporan FAO bertajuk “The State of Food Security and Nutrition in the World 2025” memperkirakan bahwa pola makan sehat di Indonesia membutuhkan biaya USD 4,75 per kapita per hari. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata di negara-negara berpenghasilan tinggi yang hanya sebesar USD 4,22. Hal ini membuat pola makan sehat tidak terjangkau bagi sekitar 43,5%, atau 123 juta penduduk Indonesia.
“Pola makan sehat adalah pola makan yang cukup, beragam, seimbang, dan moderat, yang memastikan setiap orang menerima nutrisi yang dibutuhkan sekaligus menghindari kelebihan yang berbahaya. Transformasi cara kita memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi makanan dapat memperluas akses terhadap pola makan tersebut, dan hal ini mustahil dilakukan tanpa meningkatkan investasi dan menjalin kemitraan lintas batas, pemerintahan, generasi, dan komunitas," ujar Rajendra.
Dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia 2025 dan 8 dekade kolaborasi FAO dengan Indonesia, FAO menyelenggarakan pameran foto di Perpustakaan Jakarta di Cikini. Pameran ini menampilkan foto-foto yang menunjukkan dukungan FAO sejak awal kemerdekaan Indonesia, pemulihan Aceh pascatsunami 2004, hingga saat ini. Pameran ini terbuka untuk umum secara gratis mulai 11 hingga 19 Oktober 2025. (FAO/Harriansyah)
Ironi MBG di Hari Pangan Sedunia
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat hingga 6 Oktober 2025 tercatat 9.413 anak sekolah menjadi korban keracunan makanan yang diduga berasal dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Angka ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap efektivitas dan keamanan pelaksanaan program MBG. Padahal, program mulia ini bertujuan meningkatkan gizi anak, mencegah stunting, dan mengentaskan kemiskinan. Namun, informasi dasar mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program masih terbatas dan sulit diakses publik.
“Program MBG rusak dari segala lini. Mulai dari kualitas makanan, masalah penyaluran hingga indikasi korupsi dan keracunan. Program ini sebenarnya tidak gratis karena memanfaatkan uang pajak rakyat dan menggeser anggaran bantuan sosial lainnya. Keterlibatan pelaku usaha kecil pun sangat terbatas karena rantai pasok dikuasai pemain besar,” ungkap Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS.
CELIOS menyoroti sejumlah persoalan mendasar, seperti cakupan penerima manfaat tidak prioritas, kualitas makanan sering tidak sesuai standar gizi seimbang, dan koordinasi antarlembaga dijalankan tanpa satu sistem pengawasan terpadu.
Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.