Pengkaji sastra Arab pasti sudah mafhum dengan kemasyhuran Abu Nawas di kalangan para penyair, baik mereka yang sezaman maupun sesudahnya. Pun ihwal kecerdikannya, Abu Nawas sangat diakui keluasan cakrawala pengetahuannya. Meskipun sebagian kecil di luar sana ada anggapan bahwa Abu Nawas hanya kisah badut belaka. Mungkin kisah yang sampai pada sebagian kecil itu hanya cerita lucu-lucunya saja.
Genre kepenyairan Abu Nawas yang begitu beragam membuatnya memiliki karya yang beragam pula, mulai dari syiir arak (khamriyat), cinta (ghazal), pujian (madah), hingga cacian (hija’).
Ada kisah menarik pada puisi atau syi’ir genre terakhir –cacian (hija’). Makna dalam kisah ini sangat dalam sekali, jauh dari stigma kisah badut belaka. Kisahnya begini;
Alkisah, suatu ketika Abu Nawas melontarkan kata-kata hinaan, dan cacian kepada Ismail bin Sahl. Penulis belum mendapati siapa sebenarnya Ismail bin Sahl ini, yang jelas saat itu ia menjadi objek hinaan Abu Nawas. Lantas dengan cara apa Abu Nawas melancarkan hinaannya kepada Ismail bin Sahl? Tentunya dengan puisi atau syi’ir.
Salah satu puisi yang dikutip dalam kitab Abu Nuwas fi nawadirihi wa ba’di qasaidihi, karya Salim Samsuddin adalah berisi tentang roti. Kira-kira begini puisinya;
خُبْزُ إسْمَاعِيْل كَالْوَشْ * يِ إذا مَا انْشَقَّ يَرْقَا
“Roti Ismail bin Sahl tak ubahnya sebuah tipu daya, ketika kau membelahnya roti itu tipis sekali”
Ini hanya salah satu puisi aneh yang Abu Nawas lancarkan kepada Ismail bin Sahl. Bagaimana tidak aneh? Urusan roti saja bisa semenyakitkan ini. Sebenarnya banyak sekali puisi Abu Nawas yang mengolok-olok Ismail bin Sahl, namun dalam kitab Abu Nuwas fi nawadirihi wa ba’di qasaidihi hanya dikutipkan satu baris puisi saja.
Singkat cerita, karena ada suatu urusan Abu Nawas mau tidak mau harus menemui Ismail bin Sahl. Ini seolah menjadi kesempatan emas Ismail bin Sahl untuk membalas olok-olokan dari Abu Nawas. Akhirnya bertemulah keduanya.
“Wahai Abu Nawas, berani sekali kau menemuiku,” ujar Ismail bin Sahl mengawali pembicaraan.
“Dengan wajah apa kau berani menghadapku?” sambung Ismail bin Sahl.
Abu Nawas yang sedari tadi diam saja tanpa berani mengawali pembicaraan lantas berkata:
يا إسمماعيل، جِئْتُكَ بِالْوَجْهِ اَلَّذِيْ أَلْقَى بِهِ رَبِّي، فَإنَّ ذُنُوْبِي إلَيْهِ أكْثَرُ مِنْ ذَنْبِي مَعَكَ
“Wahai Ismail bin Sahl, aku menghadapmu dengan wajah sebagaimana aku bertemu dengan Tuhan, dosaku kepada-Nya jauh lebih banyak, jika dibandingkan dosa yang kuperbuat kepadamu” ucap Abu Nawas dengan kalem dan rendah hati.”
Mendengar ucapan Abu Nawas yang begitu kalem dan rendah hati, Ismail bin Sahl lantas kagum. Niatnya yang ingin membalas olok-olokan Abu Nawas pun sirna. Pertemuan keduanya pun menjadi ajang berdamai dan saling bermaafan, dan mungkin belanjut menyantap roti yang tipis itu. (Disarikan dari kitab Abu Nuwas fi nawadirihi wa ba’di qasaidihi, karya Salim Samsuddin)