Pada abad ke-3 masih sedikit ulama yang menuliskan karya-karyanya dalam bentuk literasi dan dibukukan. Namun Imam al-Muhasiby ternyata sudah menghasilkan beberapa karyanya terutama dalam bidang tasawuf.
Ulama kelahiran Basrah ini memiliki nama lengkap, Abdullah bin al-Harits bin Asad al-Muhasiby. Seiring berjalannya waktu, beliau tinggal di Bagdad dan wafat di sana.
Al-Muhasiby terkenal sebagai seorang Imam yang bijaksana, ahli logika, zuhud, ahli kalam. Konon, disebut “Al-Muhasiby” karena beliau dikenal sebagai orang yang banyak memuhasabah (introspeksi) dirinya sendiri.
Jika menilik kitab-kitab pada abad ke-3, maka akan kita temukan sistem yang unik, para ulama kebanyakan menggunakan metode periwayatan dalam menuliskan kitabnya, karena pada abad ini sistem riwayat dan sanad menjadi metode yang unggul dan eksistensinya masih tinggi dibanding abad-abad setelahnya.
Al-Muhasiby meriwayatkan hadis dari Yazid bin Harun dan lain-lain. Salah satu gurunya yang tak asing bagi kita adalah Imam asy-Sya’fi’i. Adapun murid-murid yang pernah meriwayatkan hadis darinya di antaranya Abu al-‘Abbas bin Masruq, Ahmad bin Hasan bin ‘Abdul Jabbar ash-Shufy, asy-Syaikh Imam al-Junaidy, Ismail bin Ishaq as-Sarraj, Abu ‘Ali al-Husaini bin Khairân, Ahmad bin al-Qasim bin Nashr, Ahmad bin Abdullah bin Maimun dan lain-lain.
Abu Fattah Abu Guddah, mendeskripsikan keistimewaan yang dimiliki Al-Muhasiby, “Al-Muhasiby adalah seorang hamba yang ahli ibadah, sufi yang zuhud, ahli fikih sekaligus ahli kalam, pemberi nasihat yang mudah meneteskan air matanya, periwayat hadis, dianugerahi kefasihan dalam berbicara, keterampilan dalam menjelaskan suatu perkara, sehingga apabila ia menjelaskan sesuatu, maka engkau akan merasakan seakan-akan sang Imam ada di hadapanmu, dan perkataannya tidak mengandung sesuatu kecuali kebaikan dan nasihat”.
Al-Muhasiby banyak menghabiskan waktunya dalam kebaikan, berdzikir menyebut asma Allah SWT, mengarang kitab, atau beribadah menyembah Sang Khalik, hingga tidak satu pun napas yang ia embuskan melainkan telah beliau maksimalkan dengan melaksanakan kebaikan, ketaatan yang dirinya harapkan pahalanya dari Allah SWT.
Imam Tajuddin as-Subki menukil dalam kitabnya “Thabaqatus Syafi’iyyatil Kubra” bahwa kitab yang dikarang Al-Muhasiby mencapai seratus karangan, dominannya dalam bidang tasawuf yang berupa zuhud, suluk. Namun banyak juga kitab yang membahas tentang ushuluddin atau pokok-pokok agama, penolakan terhadap Mu’tazilah, Rafidhah, Qadariyyah dan lain-lain. Sebagian kitabnya lagi bertema fikih dan hukum-hukum Islam. Dari banyaknya kitab yang dikarang oleh Al-Muhasiby, yang paling banyak dirasakan manfaatnya oleh banyak orang adalah kitab-kitabnya dalam ilmu tasawuf.
Imam Muhammad Zahid al-Kautasry berkata: “Pengaruh Al-Muhasiby kepada Imam al-Ghazali sangatlah besar, Al-Ghazali memasukan Ar-Ri’ayah (karangan Al-Muhasiby) dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumiddin.
Al-Muhasiby menyibukkan masa mudanya dalam menyucikan hati, dan sibuk denga aib dirinya sendiri. Waktu mudanya pada akhir abad kedua dan masuk abad ketiga Hijriyyah. Sebagaimana terkenalnya ulama pada zaman ini disibukkan dengan mencari riwayat dan sanad hadis yang bersambung kepada Nabi Muhammad Saw. Masing-masing dari mereka memiliki karakter tersendiri selain menjadi muhaddits, entah ahli fikih, ahli kalam maupun ahli dzikir.
Di antara nasihat-nasihat Imam al-Muhasiby yang dapat kita ambil termaktub dalam mukaddimah kitab Risalatul Mustarsyidin karya Imam al-Muhasiby yang dikomentari oleh ‘Abdul Fattah Abu Guddah. Yaitu:
- Setiap sesuatu memiliki intisari, dan intisari manusia adalah akalnya, sedang intisari akal itu sendiri adalah taufik.
- Orang-orang yang terpilih dari umat ini adalah mereka yang perkara akhiratnya tidak disibukkan dengan dunia, juga sebaliknya.
- Akhlak yang baik adalah menanggung beban, sedikit marah, wajah yang berseri-seri, dan perkataan yang baik
- Barang siapa yang tidak bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, maka ia telah menuntut hilangnya nikmat tersebut.
- Setiap kezuhudan yang seseorang lakukan tergantung pengetahuannya, dan pengetahuan seseorang tergantung akalnya, sedang akal seseorang tergantung pada kekuatan imannya.
- Seorang yang berbuat kezaliman itu menyesal meski manusia memujinya, orang yang terzalimi itu hakikatnya adalah orang yang selamat meski manusia mencaci makinya, orang yang qana’ah (merasa cukup) adalah orang kaya meski ia kelaparan, dan orang rakus itu miskin meski ia memiliki harta.
- Barang siapa yang memperbaiki batinnya dengan rasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabah) dan rasa ikhlas, maka Allah akan memperbagus zahirnya dengan Mujahadah dan mengikuti Sunnah.
Itulah beberapa mutiara kalam dari Imam al-Muhasiby. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa karangan yang dikarangnya pun lumayan banyak. Di antaranya adalah ar-Ri’ayah li Huquqillah, at-Tawahhum, Risalah al-Washaya, Adab an-Nufus, Syarah al-Ma’rifat, Bad’un man Anaballaha, al-Masail fî az-Zuhdi wa ghoirih, al-Ba’tsu wa an-Nusyur, Kitab fîd Dima’i, Kitab fît Tafakkur wal I’tibar, Risalah al-Mustarsyidin, Risalah al-Muraqabah dan masih banyak lagi.
Di detik-detik kewafatannya, Abu Bakar bin Harun al-Mujaddar mengatakan, “Aku mendengar Ja’far berkata, “Aku menghadiri detik-detik wafatnya al-Harits al-Muhasiby, beliau berkata “Apabila aku melihat perkara yang aku sukai, maka aku tersenyum kepada kalian, dan apabila aku melihat selain yang aku sukai, maka akan terlihat jelas di wajahku”. Kemudian Al-Muhasiby tersenyum dan mengembuskan napas terakhirnya di Bagdad pada 243 H.