Sedang Membaca
Kala Raden Paku Ngaji Thariqah Naqsyabandiyah di Pesantren Ampel Denta

Santri, anggota Mahasiswa Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (MATAN) Komisariat UIN Sunan Kalijaga, yang hobi menulis dan menziarahi masa lalu. Alumni Prodi PAI UIN Yogyakarta ini tertarik pada topik pendidikan dan sejarah Islam, khususnya diskursus Islam Nusantara dan khazanah budayanya.

Kala Raden Paku Ngaji Thariqah Naqsyabandiyah di Pesantren Ampel Denta

Masjid Sunan Ampel dan fragmen manuskrip Babad Tanah Jawi versi Drajad (EAP061/2/54)

Bagi masyarakat muslim di Indonesia, khususnya mereka yang terdefinisikan sebagai muslim tradisionalis/ masyarakat pesantren, selama ini telah mafhum meyakini bahwa para walisongo merupakan sosok-sosok waliyullah.

Para sunan adalah sosok ulama dan pendakwah paripurna, dengan kompetensi keilmuan yang mendalam serta karamahnya yang beragam. Mereka tidak hanya seorang yang faqih tapi juga para pengamal tasawuf.

Kompetensi keilmuan para sunan yang tidak hanya terbatas pada tataran fiqhiyyah, membuat gerakan dakwah yang mereka kembangkan tidak terkesan “saklek”. Dengan nalar irfani-sufistik inilah, para guru sufi lokal ini dapat secara luwes membumikan ajaran-ajaran Islam secara arif dalam realita kehidupan masyarakat Nusantara.

Jika kita membaca ulang manuskrip-manuskrip yang disandarkan kepada para Sunan dan murid-muridnya, seperti Kitab Sunan Bonang (Het Boek van Bonang), Suluk Wujil, Serat Lokajaya dan lain sebagainya maka kita akan menemukan banyak sekali ajaran-ajaran tasawuf di dalamnya.

Manuskrip-manuskrip kitab tasawuf seperti al-Hikam Ibnu Athaillah dan Kitab Tuhfatul Mursalah Syekh Al-Burhanfuri yang ditulis dengan aksara-bahasa Nusantara juga kian menegaskan bahwa diskursus tasawuf memang secara sosio-historis telah lama dipelajari di Nusantara.

Bahkan besarnya pengaruh ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, pada akhirnya memunculkan suatu genre kasusastraan Jawa bernama “Suluk” yang kandungannya sarat akan ajaran-ajaran tasawuf.

Baca juga:  Karamah Rabiah al-Adawiyah

Terkait praktik tasawuf, dalam kitab Tanwirul Qulub, dijelaskan bahwa para ulama tasawuf bersepakat mengenai keharusan seorang murid belajar kepada seorang mursyid thariqah. Dengan mengambil bait thariqah, seorang murid akan mendapatkan bimbingan dari sang mursyid, dengan praktik amaliyah thariqah yang sanadnya dapat dipertanggungjawabkan (mu’tabar).

Lantas bagaimana dengan dinamika praktik tasawuf-thariqah para walisongo?

Sebenarnya riwayat mengenai status kemursyidan sejumlah sunan, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati selama ini telah lama diamini oleh para penganut thariqah di Nusantara. Beberapa riwayat tersebut terekam dalam catatan-catatan sanad thariqah, sedang lainnya bersumber dari sejarah lisan yang dituturkan dari masa ke masa dalam komunitas thariqah bersangkutan.

Dalam manuskrip Babad Tanah Jawa versi Drajad (EAP061/2/54), terdapat salah satu fragmen yang meriwayatkan bagaimana Raden Paku akhirnya mondok di pesantren Ampel Denta, asuhan Sunan Ampel.

Manuskrip milik Pesantren Tarbiyatut Thalabah Kranji Lamongan yang telah didigitalisasi oleh program Endangered Archives Programme (EAP) British Library ini diperkirakan berasal dari abad 18-20 M.

Dikisahkan, dengan diantar ibu angkatnya, Nyi Patih (Nyi Randha Samboja), R. Paku muda dipasrahkan kepada Sang Sunan agar mendapat pengajaran agama. Nyi Patih bahkan berpesan agar Raden Paku senantiasa taat lahir-batin selama belajar kepada gurunya.

Baca juga:  Manunggaling Kawula-Gusti dan Sufisme Gambang

Menariknya, dalam manuskrip asal Paciran Lamongan tersebut, diriwayatkan bagaimana Sunan Ampel tidak hanya mengajarkan ilmu syariat, tapi juga ilmu thariqah dan ilmu hakikat.

Pada halaman 129-130 (halaman slide) atau halaman 64r-64v , disebutkan:

“Raden Paku winulang ngaji ing (Kan)jeng Sunan Ampel Denta, putus ilmu sedayane, syariat lawan thariqat, (su)merta ilmu hakikat, timulyo winulang suluk, ing wiride naqsyabandiyah.”

Dalam kutipan di atas, disebutkkan Raden Paku juga mendapatkan ajaran wirid thariqah naqsyabandiyah. Kutipan ini sebelumya juga sudah disebutkkan dalam buku Atlas Wali Songo karya Almaghfurlah KH Agus Sunyoto, sekalipun tanpa menyertakan informasi rincian halaman yang dikutip.

Jika kita membaca tranliterasi Naskah Babad Demak Pesisiran (yang memiliki kemiripan isi dengan Babad Tanah Jawa versi Drajad) yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984), istilah Naqsyabandiyah justru keliru ditranlisterasi menjadi “Napsu Bandiyah.”

Informasi perihal pengajaran thariqah ini menjadi data sejarah tertulis yang penting, karena menegaskan afiliasi thariqah para Wali Songo, minimal melalui jalur Sunan Ampel dan murid-muridnya.

Lebih lanjut lagi kutipan di atas juga menegaskan bahwa bahwa Sunan Ampel memanglah seorang mursyid thariqah yang dibolehkan mengajarkan wirid thariqah dan mengambil baiat murid. Status kemursyidan inilah yang oleh Kiai Agus Sunyoto menjadi alasan Sunan Ampel diberi gelar Sunan/ Susuhunan, guru suci yang memiliki wewenang untuk mengambil diksha (baiat) kepada murid-murid rohaniahnya (baca: murid-murid thariqah)

Baca juga:  Pesan Ibnu Atha’illah untuk Menghindari Korupsi dan Nafsu Berkuasa

Dengan diajarkannya ilmu syariah, thariqah dan hakikat secara berkesinambungan, menjadi bukti bahwa para Sunan seperti Sunan Ampel memanglah ulama-ulama yang ruang lingkup khazanah keilmuannya tidak perlu diragukan lagi.

Tidak heran jika output dari pesantren Ampel Denta tidak kalah luar biasanya, seperti R. Paku yang nantinya diwisuda sebagai Sunan Giri. Sepeninggal gurunya, sosok yang dijuluki sebagai Paus van Java (Paus/ pemimpin agama Islam di tanah Jawa) ini, menjadi sebagai salah satu suksesor dakwah dewan Wali Songo, bersama Sunan Bonang.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top