Merajut Kebersamaan dan Menghidupkan Toleransi Melalui Tradisi Bakar Batu

Bakar Batu

Pengantar: Komunitas Generasi Literat yang didirikan oleh aktivis perempuan Milastri Muzakkar menginisiasi kegiatan #MerayakanMerdekaDariRumah. Proyek ini mengajak anak muda dari berbagai daerah untuk menggali kembali dan menuliskan nilai-nilai persatuan dalam kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia, yang sangat penting untuk dipraktekkan di masa pandemi.  Karena itu,  mereka disebut “Guide (virtual) Indonesia”, yang mengajak para pembaca untuk berwisata ke berbagai daerah. Generasi Literat memilih cara ini untuk merayakan merdeka dari rumah sebab kegiatan ini memiliki dua kekuatan: anak muda dan kearifan lokal. Keduanya adalah modal besar yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan maju. Untuk itu, mulai Minggu, 16 Agustus 2020 hingga sepuluh hari ke depan, alif.id akan memuat karya para Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat. Dirgahayu Republik Indonesia. Salam literasi.

Kira-kira apa yang terlintas dalam benak sobat literat saat mendengar kata Papua atau istilah bakar batu? Apakah orang Papua suka membakar batu? Kalau iya, batu apakah itu? Apakah batu bisa dibakar? Nah, apakah hal itu membuat sobat literat menganga atau sekadar mengernyitkan dahi? Tentu saja, bakar batu 

Bercerita tentang Papua  memang tidak akan pernah membuat kita bosan, setidaknya saya pribadi. Papua akan selalu menarik untuk diulas karena begitu banyaknya hal-hal yang unik dan berkesan di sana. Ya, kan, sahabat? Apalagi jika sudah pernah berkunjung, tingga,l dan melihat atau merasakan langsung atmosfir serta kebudayaan orang-orang di Papua. Wah, pasti bakal bikin hati kita tertinggal di sana. Kalau orang Papua bilang “Hati su tatinggal”. Lets imagine!

Saya bersyukur pernah hidup dan tinggal bersama warga asli Papua selama 13 purnama lamanya (kalau saya pribadi sih itu waktu yang teramat singkat, sungguh masih ingin lama-lama), hal itu menjadikan saya belajar banyak tentang makna toleransi dan saling menghargai satu sama lain ketika menjadi muslim di tengah-tengah mereka.

Baca juga:  Pesantren Cemoro, Naskah, dan Sebuah Titik Temu

Lantas bagaimana menjalani hari-hari disana? Padahal saya menjadi kaum minoritas di tengah mereka. Tidurnya bagaimana? Makannya bagaimana? Salatnya bagaimana? Penasaran?

Baiklah, sehubungan dengan sedikit pengalaman hidup setahun lebih berada di tanah Papua, saya akan bercerita sedikit tentang salah satu kebudayaan masyarakat Papua yang sangat unik dan teramat dijunjung tinggi. Bakar batu, seperti saya  sebut di atas.

Bakar batu adalah tradisi yang dilakukan oleh warga masyarakat asli Papua berupa ritual memasak sayuran dan daging babi atau daging ayam yang dicampur di dalam lubang tanah yang telah berisi batu panas. Disebut “bakar batu” karena benar adanya batu dibakar di api besar yang membara lalu kemudian di atas batu itu dimasukkan sayuran dan daging babi.

Konon katanya, ritual “bakar batu” ini pada awalnya hanya sekadar pesta makan babi yang proses masaknya menggunakan batu panas, namun seiring berjalannya waktu, “bakar batu” bisa pula berupa daging ayam karena bisa saja ada orang-orang yang tidak bisa makan babi. Ini menandakan bahwa masyarakat asli Papua memiliki sikap dan jiwa toleransi yang tinggi.

Adapun tujuan dari ritual “bakar batu” dilaksanakan yaitu sebagai ungkapan rasa syukur, pesta silaturahmi, pesta menyambut tamu atau sanak keluarga yang telah lama bepergian, pesta perkawinan, perayaan hari Natal atau hari ibadah lainnya, acara ulang tahun, pesta kelahiran, penobatan kepala suku, rangkaian doa kematian, perayaan kenaikan kelas/penamatan sekolah atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang.

Baca juga:  Yazd, Kota dengan 2 Agama Berdampingan: Islam dan Zoroaster

Tradisi “bakar batu” ini pada umumnya dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang bersuku di pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Wamena, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Dekai, dan Yahukimo.

Tradisi ini juga merupakan simbol kesederhanaan masyarakat Papua. Karena memberi makna akan persamaan hak, keadilan, kebersamaan, kekompakan, ketulusan, dan perdamaian.

Bagaimana sahabat-sahabat? Menarik, bukan? Lantas bagaimana jika ada kaum muslim yang mengikuti tradisi tersebut? Oke, saya akan menceritakan lagi pengalaman pribadi saya.

Jadi untuk kamu yang mungkin tidak bisa atau tidak biasa makan babi, don’t worry! Masyarakat akan sangat terbuka dengan sikap toleransi mereka, mereka akan memberikan  daging ayam yang sudah dibakar di galian atau tempat bakar yang berbeda atau bakal dikasih daging ayam mentah lengkap dengan plastiknya. Jadi sangat amat aman sentosa disentuh lidah kita. Wow, terbayang keseruannya.

Desember 2018 adalah momen pertama kalinya saya melihat langsung dan turut bersama masyarakat dalam melaksanakan tradisi “bakar batu” sebagai bentuk rangkaian perayaan ibadah Natal. Saat itu, saya terlibat membantu mama-mama (sebutan khas kaum perempuan yang sudah memiliki suami dan anak) untuk memasak, mengolah sayuran dan meracik bumbu.

Sementara itu, proses persiapan alat dan bahan pembakaran serta pemotongan babi dilakukan oleh kaum bapak-bapak atau kaum pemuda laki-laki. Sikap toleransi masyarakat yang muncul pada saat itu antara lain enggannya masyarakat menyentuh atau sekadar menyalami kita (ciri khas saat bertemu) karena menganggap tangan mereka telah terkena darah babi. Mereka akan sangat menghargai, menolak bersalaman.

Baca juga:  Keajaiban Banten (VII): Misteri Debus, Seni Teatrikal Sufi Nusantara

Hingga saat proses membakar batu pun, masyarakat akan meminta maaf karena ada bau asap pembakaran babi dan ketika sudah masak, mereka akan menyediakan makanan halal seperti ubi atau ayam mentah untuk diberikan kepada kami sebagai kaum Muslim.  Betapa indahnya perbedaan.

Semoga sedikit cerita pengalaman di atas semakin membuat sahabat-sahabat sekalian ingin melampaui batas diri dengan mencicipi hawa baru di bagian timur Indonesia, agar bisa memetik pembelajaran dan pengalaman yang beragam. Bukan hanya di Papua, tapi di mana pun kaki berpijak.

Oh ya, saya sendiri saaaaaangat bangga menjadi warga Indonesia, karena keberagamannya menjadikan kita tahu banyak hal yang unik dan berbeda. Sungguh adanya perbedaan itu menjadikan semuanya indah dan bermakna.

Dengan adanya program #MerayakanMerdekaDariRumah ini, semoga bisa memberikan esensi makna dari praktek Pancasila itu sendiri, pembelajaran yang dapat kita petik dari tulisan ini yaitu bahwa melalui pengetahuan budaya kearifan lokal, kita sudah bisa mengamalkan dasar atau sila kandungan dasar negara kita, Ketuhanan yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia.

Bukan begitu? Atau sahabat memiliki persepsi berbeda? Yang pasti, banyak hikmah yang dapat kita petik dari cerita tradisi di Papua itu, juga beragam tradisi di seluruh Nusantara.

Yuk, sama-sama mempertahankan esensi makna sebuah perbedaan sebagai upaya menjaga sikap toleransi beragama dan bermasyarakat melalui melestarikan budaya kearifan lokal bangsa kita. Karena itulah yang menjadi ciri khas dari ibu pertiwi kita tercinta ini.

Salam budaya dan salam literasi.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top