Pakaian adalah salah satu penanda yang paling benderang dari sekian banyak penanda penampilan luar. Dengan apa orang bisa membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu?
Jawabnya singkat, dengan pakaian. Tapi, apakah pakaian sebagai penanda dan pembeda, berlaku sepanjang waktu?
Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan lanjutan itu dengan membatasi waktu, yakni pakaian islami di masa kolonial.
Lewat dominasi kolonial Belanda dalam waktu yang lama dan pengaruh penduduk yang mayoritas Muslim, maka fungsi pakaian di Indonesia lebih dari sekadar menandai perbedaan dan kesamaan di dalam masyarakat pribumi.
Pakaian juga telah memberikan media untuk mengekspresikan sikap tertentu terhadap pelbagai pengaruh kebudayaan dan politik asing. Sebagai catatan, pada 1658, misalnya, suatu ordonansi dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang isinya melarang orang Jawa di Batavia untuk berbaur dengan “bangsa-bangsa” Indonesia lainnya. Mereka juga melarang orang pribumi memakai kostum Belanda dan Eropa.
Menurut sejarawan Kees van Dijk, bangsa Belanda dan Eropa lainnya yang tiba di Hindia menghadapkan bangsa Indonesia yang telah berkelana ke pusat-pusat spiritual Islam dan orang-orang Muslim dari tanah kelahiran Islam; Saudi Arabia, Persia, Mesir, dan India, memperkenalkan, memperkuat, dan memodifikasi ide-ide regilius dan simbol-simbol yang ditautkan dengan prilaku yang benar bagi seorang Muslim dalam masyarakat, termasuk kaidah-kaidah berpakaian.
Dus, langkah itu telah meningkat tajam dan derajat persinggungannya semakin kuat, namun konfrontasi antara ketiga pengaruh utama tentang pemikiran, sikap, dan berpakaian–sudah terjadi sejak dahulu, semenjak kontak-kontak pertama antara dunia Eropa dan Muslim–bukan merupakan hal ihwal yang baru.
Kontak-kontak bangsa Indonesia dengan bagian-bagian dunia Muslim lebih tua tinimbang dengan daratan Eropa; orang Muslim telah menorehkan tanda sebelum Belanda dan bangsa Eropa lainnya tiba. Oleh sebab itu, pilihan antara memakai pakaian berdasarkan dunia Muslim maupun dunia pribumi sangatlah arkaik.
Catatan Ibnu Batutah
Perihal ini digambarkan dalam salah satu deskripsi Barat tertua tentang Indonesia. Pada pertengahan abad keempat belas, dalam perjalanan dari India ke Cina, penjelajah asal Maroko, Ibnu Batutah berlayar melalui Selat Malaka dan mengunjungi salah satu kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai di timur laut Sumatera. Ibnu Batutah tinggal di sana sekitar dua setengah bulan.
Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Batutah mendeskripsikan bagaimana dia diterima dalam suatu pertemuan dengan sultan. Ia diundang ke masjid untuk bertemu dengan sultan.
Ketika ia tiba di sana, sultan sedang memimpin pertemuan untuk mendiskusikan persoalan-persoalan agama. Pertimbangan mendalam terus berlangsung hingga saat sembahyang magrib.
Setelah pertemuan ini selesai, sang sultan memasuki suatu kamar ganti dan melepas pakaian yang dikenakannya, yaitu jubah seorang ahli hukum. Karena hari itu Jumat, maka pada siang tadi sultan pergi ke masjid dengan mengendarai gajah. Ia mengenakan pakaian kerajaan, yaitu tunik dari sutra dan katun.
Dalam deskripsi awal bangsa Eropa tentang kostum-kostum di pulau Jawa, sering didapati bahwa para lelaki berdada terbuka. Akan tetapi, tak semua orang Jawa selalu membiarkan dada mereka telanjang.
Dalam puisi lama Jawa Siwaratrikalpa (abad kelima belas) terdapat suatu gambaran perihal seorang pemburu yang berangkat berburu, mengenakan jas pemburu berwarna biru tua.
Namun, kaum bangsawan setidaknya membiarkan sebagian dari dada mereka terbuka. Terbukti dalam Wangbang Wideya, terdapat tata cara berpakaian di istana biasanya seorang pangeran mengenakan dua macam benda dalam berpakaian, yaitu wastra (istilah liyan yang digunakan adalah kampuh dan dodot) dan sebuah sabuk.
Wastra dililitkan di sekeliling bagian bawah tubuh, sementara sabuk adalah sebuah selempang yang dikenakan di sekeliling pinggang. Dalam lingkungan kerajaan, tradisi tidak menutup dada bagi laki-laki memiliki fungsi spesifik. Dalam sejumlah acara, Kidung Sunda memperlihatkan orang-orang yang membiarkan dada mereka terbuka. Perihal ini merupakan cara untuk memperlihatkan penghormatan dan kepatuhan.
Dada yang terbuka bukanlah fenomena umum di antara masyarakat di Nusantara. Ada perbedaan-perbedaan regional dan sosial.
Dalam sebuah ilustrasi yang menggambarkan pakaian umum seoarang Makassar terdiri atas sebuah kemeja dan pakaian panjang yang menutupi tubuh dari bahu hingga kaki. Orang-orang Muslim asing, bangsa Moor–dalam bahasa Eropa modern–mengenakan jubah. Pakaian mereka ini mungkin memengaruhi pelbagai kebiasaan berpakaian elite setempat.
Di Aceh sebagian besar warga, terutama rakyat biasa, bepergian ke luar negeri dengan bagian atas tubuh mereka telanjang dan hanya memakai secarik kain menutupi tubuh; tanpa sepatu maupun kaus kaki, baik lelaki maupun perempuan. Orang-orang kaya dan penting memakai baju tipis yang terbuat dari sutera dan katun, meniru gaya bangsa Moor.
Dalam deskripsi yang lain, jas juga disinggung sebagai elemen pembeda kelas. Para pelaut pertama Belanda yang mencapai Jawa mengamati bahwa ketika orang-orang terkemuka mengunjungi istana Banten, mereka memakai jas.
Pakaian Orang Jawa
Elias Hesse pada 1680-an menyaksikan bahwa orang Jawa biasanya berpakaian dengan tubuh bagian atas dibiarkan dalam keadaan telanjang dan hanya menutupi bagian yang diinginkan oleh alam agar tetap tersembunyi. Menariknya, dia melanjutkan pengamatannya dengan menunjukkan bahwa para pria, yang ingin memperlihatkan perbedaan mereka dengan cara mengenakan kain Persia yang meriah. Vermeulen menandaskan hal ini: orang paling terkemuka di antara mereka, dan semua bangsawan memakai pakaian dengan lengan yang dihiasi pita-pita atau renda-renda indah.
Baik Hesse maupun Vermeulen mungkin merujuk pada Kesultanan Banten atau Jawa Barat. Ketelanjangan dada merupakan bagian dari etiket istana Jawa. Di luar istana, masih di bawah pengaruh gabungan Belanda dan Muslim, tubuh atas mulai ditutupi, menjadikan kain-kain dada sebagai tanda pembeda bagi kaum elite.
Islam juga memainkan peran dalam memutuskan tentang apa yang akan dipakai dan benda-benda apa yang ditolak. Pemakaian “pakaian Muslim” dapat menunjukkan pelbagai hal. Sebagaimana yang dijelaskan dalam uraian ihwal perjalanan awal Ibnu Batutah, pakaian gaya Muslim digunakan untuk peristiwa-peristiwa keagamaan khusus, misalnya ketika sang penguasa ingin menekankan posisinya sebagai seorang pemimpin agama.
Rakyat juga menggunakan pakaian gaya Muslim mereka untuk pertemuan-pertemuan keagamaan, sebagaimana pada masa sekarang banyak Muslim Indonesia pergi ke masjid memakai sarung, peci hitam atau kopiah putih, jas, dan para perempuan membawa mukena berwarna putih.
Muslim-muslim taat dapat memilih alternatif lain dengan meniru gaya pakaian Arab. Memilih pakaian Muslim dapat berfungsi sebagai semacam pakaian tempur dalam perlawanan terhadap suatu lingkungan non-Muslim atau masyarakat Muslim setengah hati.
Sikap berpakaian secara Islami ini, terutama jika mengambil bentuk pakaian gaya Arab, sering ditafsirkan oleh orang-orang luar: yaitu orang Belanda yang tinggal di Hindia Timur, Eropa Baru, atau orang-orang Amerika, sebagai salah satu dari banyak “kebangkitan Islam”. Untuk alasan ini, pemerintahan di masa Orde Baru mencemaskan meningkatnya gejala yang mereka gambarkan sebagai partikularistis–yakni sentimen-sentimen keislaman.
Kadang-kadang pakaian Muslim berfungsi sebagai pakaian perang. Inilah yang mewarnai persepsi para pengamat luar.
Selama berabad-abad, dalam berbagai pemberontakan dan peperangan besar maupun kecil di Nusantara, Belanda dihadapkan pada masyarakat yang berpakaian Muslim, kadang-kadang Arab. Kaum Muslim yang menantang penguasa Belanda memakai jubah panjang putih dengan turban di kepala.
Tidak hanya itu, untuk mendekatkan masyarakat pada ajaran-ajaran Islam yang lebih keras, mereka mempropagandakan cara hidup yang lebih puritan, melarang perjudian, minuman beralkohol, mengisap opium dan tembakau, dan semacamnya. Misalnya, dalam propaganda anti-Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1670-an di Banten, banyak orang yang meninggalkan pakaian Jawa dan memilih pakaian Arab.
Pakaian Diponegoro
Pangeran Diponegoro, pemimpin pemberontakan dalam Perang Jawa antara 1825-1830, kadang-kadang memakai jubah dan turban. Gaya ini merupakan salah satu cara ia berpakaian perang.
Dalam kesempatan-kesempatan lain, menurut laporan-laporan kolonial, ia terlihat seperti seorang pendeta dengan jas kain warna hitam dan turban hitam atau hijau. Dalam Babad Dipanegara, dilukiskan bagaimana Pangeran Diponegoro menekankan sifat Muslimnya dengan mengenakan pakaian untuk Perang Suci; celana, jubah, dan penutup kepala yang dikenakannya semua berwarna putih.
Demikian pula di Sumatera, selama perang pada awal abad kesembilan belas, Belanda harus melawan kaum Padri yang mencoba untuk memaksakan aturan-aturan berpakaian islami yang ketat dan mendandani diri mereka dengan pakaian gaya Arab serba putih.
Dalam memoarnya, Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, mengisahkan keadaan di Sumatera Barat–diperkirakan sekitar 1910, ketika semakin banyak kamitua Indonesia mencari pendidikan Belanda bagi putera-puteranya–setiap pagi beberapa siswa Indonesia berjalan kaki sekitar satu jam untuk mencapai Bukittinggi. Ketika memasuki kota, mereka mengganti pakaian, memakai sepatu lalu berangkat ke sekolah.
Berpakaian gaya Eropa, atau Belanda, merupakan tanda emansipasi dan tentangan terhadap pemerintah kolonial beserta aturan-aturan berpakaian yang ingin mereka paksakan. Tidak semua orang setuju dengan kecenderungan baru untuk mengadopsi pakaian modern, bahkan tidak dalam gerakan nasionalis, karena ini berarti menyerahkan identitas diri sendiri kepada bangsa lain; meniru gaya hidup para tuan tanah asing.
Di dalam komunitas Muslim yang puritan, kaum Muslim menjadi cemas ihwal pemakaian celana, dasi, dan gaya-gaya rambut baru. Keraguan juga muncul mengenai celana pendek yang dipakai oleh pramuka, yang memperlihatkan lutut, seperti yang dikeluhkan oleh ulama Persatuan Islam, Ahmad Hassan.
Dalam majalah berkala Islam yang lebih radikal seperti Islam Bergerak, yang dikaitkan dengan gerakan Islam berhaluan komunis Haji Misbach–ia sendiri berpakaian gaya Barat serba putih yang mengingatkan masyarakat pada pria Belanda–pakaian modern tentu saja tidak ditolak, bahkan disokong. Tekanan diletakkan pada kenyataan bahwa Islam tidak melarang pemakaian jas ataupun dasi, tidak pula melarang pengguntingan rambut menurut gaya Barat.
Para ulama yang tak terlalu radikal dapat memaafkan pakaian-pakaian baru, meski masih tetap menekankan agar masyarakat tidak perlu malu untuk memperlihatkan bahwa mereka adalah seorang Muslim melalui cara berpakaian mereka. Tokoh-tokoh Islam yang lain dengan keras menolak.
Akibatnya, komunitas Muslim menjadi demikian bercabang dalam soal cara berpakaian. Mereka tidak satu pandangan dalam urusan pakaian, bukan saja pada batas-batas aurat, tapi terkait degan penerimaan atau penolakan ide-ide religius baru.
Mengidentifikasi Sesama Muslim
Pakaian menjadi salah satu jalan untuk mengidentifikasi orang-orang Muslim yang berbagi ide-ide keagamaan tertentu. Jika seorang Muslim berpakaian secara berbeda, maka ia juga dianggap mengakui pandangan-pandangan keagamaan yang menyimpang sehingga ia harus diasingkan.
Kaum Muslim dari aliran yang berbeda saling menghindari pertemuan, termasuk pertemuan ritual dan upacara yang menandai tingkatan-tingkatan penting dalam lingkaran kehidupan, seperti pernikahan dan kematian.
Selain itu, permusuhan sesama Muslim terjadi kala ada kelompok yang mengikuti aturan berpakaian Islam.
Di wilayah Bandung, misalnya, rumah-rumah perempuan Muslimah yang memakai kerudung dilempari batu. Beberapa orang menuduh bupati Bandung yang memancing insiden itu. Sebelumnya, kepada para penduduk desa sang bupati bertanya, “Apakah kerudung yang hanya berharga lima sen dapat menjadi paspor untuk masuk surga?”
Bupati itu mengaku telah mengeluarkan pernyataan itu. Tapi hanya sebagai reaksi terhadap suatu wejangan di mana dikatakan bahwa para Muslimah yang tidak menutupi kepalanya akan masuk neraka.
Insiden yang terjadi pada 1930-an ini menunjukkan bahwa bukan hanya pakaian laki-laki yang mendatangkan masalah, pemakaian kerudung pun memicu dukungan dan penolakan tersendiri.
Arkian, cara kita memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan, sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang berbagi sekumpulan ideal tertentu.