Sudah saya susuri jalan-jalan dari Rafah (Jalur Gaza Selatan, yang jadi pintu gerbang masuk dari Mesir) hingga Beit Lahia dan Beit Hanoun (kota di bagian utara, Jalur Gaza dekat garis gencatan senjata 1949 dengan Israel). Beit Lahia dan Beit Hanoun, berada dekat dengan pintu gerbang Erez Crossing untuk masuk ke wilayah Israel.
Saya saksikan, ketika itu, rumah-rumah penduduk, kantor-kantor pemerintah, gedung-gedung sekolah yang hancur dihajar bom-bom yang dijatuhkan pesawat tempur Israel. Saya lihat juga hamparan perkebunan jeruk dan juga zaitun rusak parah dilindas tank-tank dan kendaraan lapis baja Israel. Saya lihat pula, anak-anak dan perempuan korban perang di Rumah Sakit Al Shifa, di Gaza City, yang tergeletak tak berdaya.
Itu semua akibat Perang Israel – Hamas, Desember 2008 – Januari 2009. Perang berakhir 18 Januari 2009, ketika secara sepihak Israel menghentikan pemboman dan diikuti Hamas. Tentu, di bawah tekanan internasional.
Karena perang itu, 1.440 orang (menurut beberapa organisasi kemanusiaan separohnya adalah penduduk sipil) Palestina tewas; sementara Israel kehilangan 13 orang (empat di antaranya penduduk sipil).
II
Bulan Desember 2008 hingga Januari 2009, saya menjadi satu dari sekian banyak wartawan yang meliput perang itu. Maka, agak mudah bagi saya membayangkan apa yang terjadi di “penjara terbesar di dunia” itu, saat ini sejak menjadi sasaran bom Israel beberapa hari terakhir.
Saya juga bisa membayangkan seperti apa kota-kota yang menjadi sasaran roket Hamas, sejak 10 Mei lalu. Karena saya, sebagai wartawan, pernah mengunjungi kota-kota itu: misalnya, Ashdod, Sderot, Jerusalem, dan Tel Aviv.
Jalur Gaza, memang sering disebut sebagai “penjara terbesar di dunia”. Daerah seluas 362 kilometer persegi, panjang 40 km, lebar (terpendek) lima kilometer dan lebar (terpanjang) 13 km itu, dikunci Israel dari semua sisi.
Bagian barat menghadap Laut Mediterania (yang diblokade Israel), bagian timur berbatasan dengan Israel yang dijaga ketat, sebelah utara berbatasan dengan Israel, dan selatan dengan Mesir.
Nasib Gaza sejak semula seperti sudah ditentukan oleh letak geografisnya. Sejarah bercerita, sejak berabad-abad silam, wilayah itu sudah menjadi incaran para penguasa pada zamannya. Letaknya yang bagaikan “sandwich” terapit antara laut dan rute perdagangan utama Timur Tengah, Asia, Afrika, dan Eropa membuat wilayah itu strategis dan jadi rebutan.
Sajarah juga mengisahkan, dahulu Gaza pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pusat belajar agama bagi kaum Yahudi, Kristen, dan Muslim. Jalan-jalan di kota itu dahulu dijelajahi para peziarah yang akan menuju ke tanah suci, para penulis kisah perjalanan, serta orang-orang saleh dan saudagar dari Kairo ke Damaskus dan Baghdad. Itu dulu!
Zev Vilnay dalam bukunya Legends of Palestine mengisahkan nama Gaza berasal dari kata dalam bahasa Arab Gazza (yang asilnya dari bahasa Kanaan atau Hibrani) yang berarti “kuat”; dan dalam bahasa Inggris berarti “kubu” atau “benteng.” Kanaan adalah suku bangsa yang diperkirakan tinggal di wilayah yang sekarang disebut Palestina pada sekitar 3.000 tahun SM. Karena itu, wilayah itu sebelumnya disebut Tanah Kanaan.
Kota Gaza (Gaza City) sekarang ini, berdiri di atas reruntuhan kota kuno Tell al-Ajjul. Dari kota inilah, muncul kisah Samson dan Delilah. Yang menarik, Gaza pernah dikuasai Napoleon Bonaparte, pada tahun 1799, dalam ekspedisi militernya ke kawasan Timur Tengah. Napoleon juga menguasai kota Khan Yunis (Gaza Selatan), Ramla, dan Jaffa.
Tetapi, sejak tahun 1923, berdasarka Keputusan Liga Bangsa Bangsa, Gaza dan seluruh wilayah Palestina ditetapkan sebagai Mandat Inggris. Mandat itu baru berakhir pada 1948 dan diserahkan kepada PBB. Lalu pecah Perang 1948, antara Israel dan Arab. Akhir perang, Gaza ada di bawah kontrol Mesir. Tetapi, pada Perang 1967, direbut dan dikuasai Israel.
Sebelum pecah Perang 1948, diperkirakan penduduk Gaza sekitar 700.000 orang. Tetapi, setelah Perang 1948, bertambah 200.000 orang pengungsi. Dan, setelah Perang 1967 bertambah lagi pengungsi Arab-Palestina yang masuk Gaza. Kini, diperkirakan penduduk Gaza, dua juta jiwa.
III
Kini, perang kembali terjadi di Gaza. Orang selalu bertanya, mengapa pecah perang antara Israel dan Hamas (Palestina)?
Peperangan Israel-Palestina telah menjadi rutinitas. Mereka seperti mengikuti “naskah” yang disodorkan, yang sudah mereka akrabi. Sejak Hamas menguasai Jalur Gaza pada tahun 2007, telah terjadi tiga perang skala penuh dan banyak putaran pertempuran kecil-kecil.
Tetapi struktur dasar konflik—blokade Israel di Gaza dan pendudukan Tepi Barat, dan pemerintahan Palestina yang terbagi antara Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat, dan juga persoalan dasar yang menjadi penyebab konflik Arab dan Palestina: perbatasan, keamanan, pengungsi, air dan Jerusalem—tetap tahan lama, belum terselesaikan.
Tampaknya putaran kekerasan saat ini muncul dari serangkaian peristiwa yang kompleks di Yerusalem, terutama tindakan kekerasan oleh polisi Israel dan agresi oleh kaum nasionalis Yahudi sayap kanan. Namun kenyataannya, peristiwa-peristiwa tersebut hanyalah pemicu eskalasi yang nyaris tak terhindarkan dari cara pendekatan yang dipilih oleh partai-partai besar kedua belah pihak.
Sering saya bertanya, bisakah wilayah yang senantiasa dilanda kemelut dan pertumpahan darah menikmati kedamaian? Bisakah mereka yang tinggal di wilayah itu menghirup udara perdamaian, hidup dengan aman dan tenteram, memperoleh kebebasan, dan benar-benar menjadi manusia yang memiliki harkat dan martabat?
Dulu, pertengahan Januari 2009, ketika meninggalkan Gaza, saya berharap bahwa perdamaian akan menemukan rumahnya di sana. Harapan itu, hingga kini masih tetap hidup di hati, meski perang belum juga berlalu. (Artikel juga bisa dilihat di triaskun.id)