Kemarin, saat haul ke-67 Kiai Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) secara daring, di akhir pertemuan ada kisah tentang beliau yang memilihi monogami. Kenapa Kiai Abdul Wahid Hasyim tidak poligami?
Pertanyaan itu dilontarkan Mahbub Djunaidi kepada Gus Dur. “Dur, kenapa bapakmu tidak poligami, padahal ganteng, pinter, penampilan modern, putranya Kiai Hasyim Asy’ari, terpandang?” Dur itu panggilan kepada Gus Dur, maklum, Mahbub lebih senior sembilan tahun. Kiai-kiai sepuh seperti Kiai Ali Maksum juga memanggil dengan Durahman kepada Gus Dur.
“Dan Kiai Wahid itu kalau pergi dari Jombang, menjauh dari istri, paling cepet dua minggu. Bapakmu keliling Jawa di zaman revolusi bisa dua bulan. Dan saat jadi menteri makin sibuk,” tambah Mahbub (1933-1995).
Mahbub seperti menyesalkan Kiai Wahid memilih monogami. Itu sama seperti “menyiksa” diri, begitu mungkin yang tersirat dari pertanyaan Mahbub. Karena Mahbub sendiri memang poligami, meski akhirnya menceraikan istri keduanya.
“Kira-kira kenapa Kak? Saya masih kecil ditinggal abah. Jadi tidak tahu,” Gus Dur bertanya balik kepada Mahbub yang dipanggil kak itu.
“Yaa, saya tanya kok ditanya balik,” Mahbub menyergah.
Akhirnya Gus Dur menjawab sekenanya, “Mungkin takut mertuanya…”
Meskipun sekenanya, jawaban Gus Dur ini sepertinya tepat, karena Kiai Bisri Syansuri (1887-1980) sering dinilai kereng. Lebih substansial lagi, Kiai Bisri memang tidak poligami. Jadi kira-kira, Kiai Abdul Wahid Hasyim, si menantu, atau bapaknya Gus Dur ini, ingin meniru jejak sang mertua.