Di kediamannya, di bumi Ray, Persia [Iran sekarang], Al-Razi baru saja merampungkan tafsir surat Yunus. Sejak lima tahun terakhir, ia menyibukkan dirinya menulis kitab tafsir, setelah ia menarik diri dari panggung perdebatan teologis yang merebak di masa-masa itu. Karya monumentalnya di bidang tafsir Al-Quran yang kelak dikenal dengan Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir itu mulai ia tulis sejak 1199M/595H.
Maret telah melangkah separuh jalan, pada tahun 1205M bertepatan Rajab 601H, harusnya musim dingin telah reda. Tapi tidak bagi tokoh penting Asy’ariyah bergelar Fakhruddin [Kebanggan Agama] itu, musim dingin belum beranjak dari jiwanya yang sepuh. Ia masih diselimuti gumpalan salju duka. Pasalnya, putranya yang ia cintai, Muhammad, baru saja meninggal dunia.
Ada warna duka di ujung tulisannya, juga kepasrahan, pada tafsir ayat terakhir. Tak ada narasi panjang lebar atau pemetaan masalah yang luas sebagaimana gaya penafsirannya di ayat-ayat sebelumnya. Terlihat simple, tapi agak mencolok.
Barangkali ia merasa Tuhan sedang menghibur dirinya, meneguhkan hatinya, sehingga ia tak bisa berkata banyak. Kebetulan ayat terakhir itu berisi penghiburan Tuhan kepada Nabi Saw. di saat dakwah beliau menemui banyak rintangan sekaligus peringatan agar teguh bersabar menunggu putusan-Nya.
وَٱتَّبِعْ مَا يُوحَىٰٓ إِلَيْكَ وَٱصْبِرْ حَتَّىٰ يَحْكُمَ ٱللَّهُ ۚ وَهُوَ خَيْرُ ٱلْحَٰكِمِينَ
“Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Yunus [10]:109)
Al-Razi hanya memberi penjelasan singkat seputar konteks makna ayat, bahwa “Allah ta’ala memerintah Nabi Muhammad Saw. agar mengikuti petunjuk wahyu dan Al-Quran. Kendati dengan mengikuti petunjuk itu terasa kurang menyenangkan, maka hendaknya bersabar sehingga menerima keputusan Allah, sebaik-baik pemutus perkara.” Menyambung perihal sabar, Al-Razi lalu memberi penutup dengan mengutip syair berikut:
سَأَصْبِرُ حَتَّى يَعْجِزَ الصَّبْرُ عَنْ صَبْرِي … وَأَصْبِرُ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ فِي أَمْرِي
أَصْبِرُ حَتَّى يَعْلَمَ الصَّبْرُ أَنَّنِي … صَبَرْتُ عَلَى شَيْءٍ أَمُرَّ مِنَ الصَّبْرِ
Aku akan bersabar sampai ‘kesabaran’ menyerah kepada kesabaranku
Aku akan bersabar sampai Allah menjadi hakim bagi urusanku
Aku akan bersabar sampai ‘kesabaran’ tahu bahwa
Aku tetap bersabar atas apapun yang bahkan lebih pahit dari ‘kesabaran’ itu sendiri.
Al-Razi lalu menyertakan catatan akhir dengan menyatakan kesedihannya, sehingga siapa saja yang membaca kitabnya, termasuk kita hari ini tahu apa penyebabnya dan kapan itu terjadi. Barangkali ia menulisnya dengan rintikan air mata, atau tangan yang gemetar. Kita tidak tahu.
Ia dengan segenap jiwa mulianya mencatat: “Saya merampungkan tafsir surat Yunus ini pada hari Sabtu di bulan Allah yang tenang, bulan Rajab, tahun 601 hijriyah. Dalam kondisi saya yang tengah berduka dan penuh kesedihan sebab meninggalnya putra yang saleh, Muhammad. Semoga Allah melimpahkan ampunan dan rahmat atas ruh dan jasadnya. Saya memohon kepada siapapun yang membaca dan mendapatkan manfaat dari kitab ini di kalangan umat Islam untuk mendoakan serta memohonkan rahmat dan pengampunan bagi putra saya dan bagi saya sendiri. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas sebaik-baik makhluk-Nya, Nabi Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya seluruhnya.”
Sangat jarang sekali mufasir yang menyelipkan pengalaman pribadinya dan suasana batinnya dalam kitab tafsir Al-Quran. Hanya sebagian kecil, itupun biasanya tafsir bercorak sufi-isyari. Dari kisah duka Al-Razi yang membingkai proses rampungnya tafsir surat Yunus kita bisa melihat secara spiritual bagaimana Al-Quran berdialog dengan pecintanya. Selalu ada pengalaman unik antara mereka dengan sentuhan-sentuhan magis Al-Quran. Di tengah kedukaan yang dahsyat, Al-Quran hadir sebagai penguat bagi jiwa Al-Razi, mengingatkan dirinya untuk sabar.
Hal demikian kita dapat mendengarnya dari pengalaman para mufasir dan pengkaji Al-Quran, misalnya cerita M. Quraish Shihab kepada Ulil Abshar Abdalla dalam sebuah perbincangan di kanal NU Online ketika mengkaji tentang tafsir Al-Biqa’i, ia merasa ada momen di mana ia dituntun oleh kekuatan Al-Quran saat mengalami kebuntuan. Begitupun banyak sekali orang-orang awam yang biasa-biasa saja, di kala tertentu, saat begitu kuat kondisi emosionalnya, mereka merasa bercakap-cakap dengan ayat-ayat Al-Quran yang tengah ia baca.
Al-Razi wafat empat tahun kemudian, 1209M/606H. Ada riwayat yang bilang Al-Razi wafat karena diracun oleh lawan debatnya dulu, tapi riwayat lain menyebut bahwa tidak ada keterangan pasti soal itu, sebab memang ia mewasiatkan pada keluarga dan murid-muridnya untuk merahasiakan kondisinya menjelang ia wafat. Ia khawatir akan memicu fitnah, sebab ia tahu betul perkelahian teologis waktu itu semakin parah.
Al-Razi, yang semakin sepuh dan matang, memahami ketokohannya kerap dijadikan bahan kontroversi untuk membela atau menyerang kelompok tertentu. Untuk itu, ia sempat pindah ke provinsi Herat [Afghanistan sekarang] dan diketahui makamnya sekarang ada di Dasoguz, Turkmenistan. Sekitar satu tahun sebelum tutup usia, kitab tafsirnya selesai 30 juz Al-Quran. Hingga kini, sosoknya masih dikenang sebagai mufasir penting dalam khazanah intelektual Islam.
— Wallahua’lam
Referensi:
- Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981)
- Muhammad Shalih Al-Zarkan, Fakhruddin Al-Razi wa Arauhu al-Kalamiyah wa al-Falsafiyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1963)
- Muhammad ‘Ali Iyazi, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wuzarah al-Tsawqafah, 1967)