Kitab ini mengandung banyak jebakan. Siapa yang membacanya tanpa memperhatikan kata demi kata yang berbaris di dalamnya dengan jeli, akan keliru memahaminya. Kadang-kadang dalam satu rangkaian kalimat, maudhu (subjek) dan mahmul (predikat) tidak berada di satu halaman yang sama.
Bayangkan ada kalimat yang subjeknya berupa kata Budi dan predikatnya berupa kata bermain bola. Seharusnya dengan menulis Budi bermain bola, semua orang akan gampang memahaminya. Tapi bagaimana jika kata Budi ada di halaman 4, sedangkan kata bermain bola jauh di halaman 6. Satu halaman yang menghalang-halangi kedua kata itu bertemu secara langsung, berisi informasi-informasi tambahan, seperti sifat, alamat, tanggal lahir, hingga daftar mantan yang dimiliki Budi.
Bukankah bikin pusing tujuh keliling? Bahkan besar kemungkinan orang yang membacanya tidak berhasil menangkap maksud utama dari kalimat itu yang sebetulnya sangat simpel, yakni mengabarkan bahwa pekerjaan bermain bola dilakukan oleh Budi.
Setidaknya, itu cara saya menggambarkan kerumitan kitab Fathul Muin. Tidak ada insan pondok pesantren yang tidak mengenal kitab ini, kecuali dia santri honoris causa. Kitab Fathul Muin masuk dalam fan (mata pelajaran) fikih. Dia diperuntukkan untuk santri tingkat menengah, biasanya setelah khatam Fathul Qorib.
Bila Fathul Qorib hanya berisi fasal (pembahasan pokok), maka di Fathun Muin selain ada fasal, juga dilengkapi far’un, mas’alah, tanbih, khatimah, dan tatimmah. Itu artinya, Fathul Muin menjelaskan fikih secara panjang kali lebar, lebih dari sekadar konsep-konsep dasar.
Kerumitan-kerumitan dalam memahami Fathul Muin biasanya akan terurai udengan membaca hasyiyahnya. Di antara hasyiyahnya yang paling terkenal adalah I’anatu ath-Thalibin karya as-Sayyid al-Bakri. Bahkan di pesantren ada ungkapan, “Membaca Fathul Muin tanpa membaca I’anatu ath-Tholibin, niscaya akan kesasar.”
Saya ngaji Fathul Muin di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, selama tiga tahun, sejak kelas satu hingga tiga tingkatan aliyah di sana. Guru yang membacakannya di kelas saya ada tiga orang, yakni Pak Halimi asal Nganjuk, Pak Ihsan asal Kediri, dan Pak Andre asal Kediri. Kenapa tiga orang? Karena angkatan saya dibagi menjadi enam bagian. Masing-masing bagian terdiri dari tiga kelas dan tiga guru. Jadi, tiga guru mengajar di tiga kelas dalam satu bagian secara bergilir.
Di Lirboyo, santri bebas memilih kitab yang digunakannya mengaji berasal dari penerbit yang mana. Namun, satu syarat harus dipenuhi, yakni huruf-huruf di lembaran kitab tersebut tidak boleh ada yang menyandang harokat, atau ringkasnya harus menggunakan kitab gundul. Santri Lirboyo haram menggunakan kitab berharokat. Ini merupakan upaya meningkatkan kualitas santri. Kitab gundul akan memaksa santri mengaplikasikan ilmu nahwu dan shorof. Kata salah satu guru saya, “Ben awakmu gak manja”.
Fathul Muin termasuk kitab yang dicetak banyak penerbit. Saya memilih Fathul Muin yang diterbitkan Assalam, sebuah toko kitab di Lirboyo yang saat ini berkembang menjadi penerbit kitab. Selain karena tidak berharokat, saya memilihnya sebab huruf-hurufnya sudah diketik menggunakan komputer dengan font yang (menurut saya) paling nyaman dibaca. (Sekadar informasi, kitab-kitab kuning di pesantren masih banyak yang ditulis menggunakan tangan.) Alasan berikutnya adalah karena kertasnya berwarna kuning. Di zaman sekarang, apa yang disebut kitab kuning tidak selalu yang kertasnya berwarna kuning. Dan saya berada di golongan yang merasa kurang afdal menggunakan kitab kuning yang kertasnya tidak berwarna kuning.
Kitab saya dari awal hingga akhir penuh dengan goresan makna khas pesantren. Maklum, bila ada satu baris saja yang kosong, saya tidak bisa naik kelas. Jadi, bukan karena saya lebih rajin dari yang lainnya. Di Lirboyo, baik santri yang rajin atau yang malas, makna kitabnya penuh semua, kecuali segelintir orang yang pada akhirnya harus mutsbat (tinggal kelas).
Fathul Muin adalah kitab syarah (komentar) atas kitab Qurrotul ‘Ain. Uniknya, pengarang kedua kitab itu adalah satu orang yang sama. Jadi, di sini ada seorang pengarang menulis kitab komentar untuk kitab yang ditulisnya sendiri. Sang pengarang itu bernama Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali al-Ma’bari al-Malibari al-Fanani al-Syafi’i. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai tahun kelahiran dan kewafatan beliau. Tetapi, beliau menulis di bagian akhir Fathul Muin tanggal kitab tersebut selesai ditulis, yakni 24 Ramadhan 982 H. Jadi, yang dapat kita pastikan adalah beliau ulama yang hidup di abad ke-10 hijriah.
Beliau berasal dari keluarga ulama. Kakeknya, Zainuddin bin Ali, merupakan tokoh penting keturunan Arab yang menyiarkan ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab di India pada abad ke-9 H. Di daerah tempat tinggalnya, yakni Malibar, sekarang masuk dalam wilayah Kerala, salah satu negara bagian di India, masyarakat di sana menjulukinya dengan al-Makhdum. Kelak sang cucu diberi julukan yang sama. Untuk membedakan antara kakek dan cucu yang sama-sama bernama Zainuddin dan sama-sama dijuluki al-Makhdum, akhirnya Zainuddin bin Ali, dijuluki Zainuddin al-Awwal atau al-Makhdum al-Awwal, sedangkan Zainuddin bin Abdul Aziz, pengarang Fathul Muin, dijuluki Zainuddin ats-Tsani atau al-Makhdum ats-Tsani.
Zainuddin ats-Tsani adalah murid dari Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.) Jadi, bila kita sedang membaca Fathul Muin dan mendapati kata ‘syaikhuna’ (guru saya), itu berarti yang dimaksud adalah Ibnu Hajar al-Haitami. Selain itu beliau juga berguru pada Ibnu Ziyad (w. 975 H.), az-Zamzami (w. 976 H.), dan banyak ulama lainnya.
Banyak sekali keunggulan yang dimiliki oleh kitab yang hingga sekarang, setelah melewati beberapa abad, masih dikaji di banyak pesantren di Indonesia ini. Saya telah menjumpai sejumlah tulisan yang membahas itu dan saya tidak ingin menulisnya lagi di sini. Saya hanya ingin menyampaikan satu hal yang barangkali belum sempat ditulis. Yakni, bahwa contoh-contoh permasalah fikih yang ditampilkan di dalam Fathul Muin banyak sekali yang masih relevan dengan yang terjadi di Indonesia saat ini, atau dalam bahasa orang pesantren disebut waqi’iyyah.
Contohnya dalam permasalahan amplop kondangan. Ketika dalam sebuah acara walimatul khitan misalnya, amplop yang berasal dari tamu undangan, itu menjadi hak milik bocah yang disunat atau menjadi hak milik wali yang mengadakan acara tersebut. Fathul Muin akan memberikan jawabannya secara eksplisit. Dan bukankah permasalahan amplop kondangan itu sangat khas +62 sekali? Itu baru satu contoh, masih banyak contoh lain yang akan kita jumpai saat ngaji Fathul Muin.
Dan ngomong-ngomong soal Fathul Muin, pada tahun 2017, saya sekeluarga sowan kepada KH. Dimyati Rois, Kaliwungu, Kendal. Pada kesempatan itu beliau dawuh, “Fathul Qorib bisa menyelesaikan sepertiga permasalahan di dunia, Fathul Muin bisa menyelesaikan setengahnya, dan Fathul Wahab bisa menyelesaikan keseluruhannya.” Tapi sayang pada kesempatan itu, beliau hanya menceritakan keampuhan Fathul Qorib ketika Bung Karno minta solusi kepada KH. Wahab Hasbullah dalam menyelesaikan konflik Belanda yang tidak mau pergi dari Irian Barat saat Indonesia sudah merdeka (cerita ini sudah ada yang menulisnya), sedangkan beliau tidak menceritakan keampuhan Fathul Muin dan Fathul Wahab dalam menyelesaikan setengah dan seluruh permasalahan di dunia.
Bila benar demikian, kira-kira bisa tidak santri sekarang menyelesaikan permasalahan yang sedang menimpa kita semua saat ini, yakni epidemi covid-19, menggunakan Fathul Qorib, Fathul Muin, atau Fathul Wahab? (RM)