Sedang Membaca
Santri SMA Bumi Cendekia Menjadi Relawan Reforestasi Hutan di Tochigi, Jepang

Santri SMA Bumi Cendekia dan bergabung dalam Pers SMA dan pesantren Bumi cendekia. Bisa disapa di akun Instagram: @muhafzaalali

Santri SMA Bumi Cendekia Menjadi Relawan Reforestasi Hutan di Tochigi, Jepang

Santri bc

Saat mengikuti program pertukaran pelajar, kami, santri SMA Bumi Cendekia, berkesempatan untuk mengikuti kegiatan relawan reforestasi hutan di Tochigi, Jepang. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, hari pertama fokus pada pemotongan tanaman liar, sedangkan hari kedua, dan ketiga dikhususkan untuk menebang bambu hama yang menyerap dan menampung banyak udara sehingga pohon-pohon lain di hutan tidak mendapatkan asupan.

Beragam lapisan masyarakat Jepang juga ikut serta dalam kegiatan relawan tersebut tanpa mendapat bayaran dari pemerintah. Pada hari kedua, jumlah relawan semakin banyak, terdiri dari warga lokal, ibu rumah tangga, bapak-bapak pekerja pabrik manufaktur, pelajar dari kota Tokyo, bahkan anak-anak kecil. Lalu, apa yang memotivasi mereka datang untuk menjadi relawan yang tak dibayar?

Saat berbincang dengan mereka, kami mengetahui bahwa motivasi mereka menjadi relawan adalah untuk mengisi kekosongan hati dan mencari kebahagiaan. Dari Senin hingga Jumat, mereka sudah menjalani rutinitas yang teratur. Mereka sulit menemukan waktu untuk mencari kebahagiaan, dan salah satu cara mereka mencarinya adalah dengan menjaga hutan. Dengan hutan yang sehat, mereka yakin udara yang dihirup akan lebih bersih dan sehat.

Menariknya, saat melakukan reforestasi, terdapat tiga perbedaan sistem kerja antara Jepang dan Indonesia yang

Pertama, soal keamanan kerja. Saat dulu saya ngarit di Indonesia, tidak pernah terpikir untuk menggunakan alat pelindung. Ngarit ya ngarit saja, kalau luka ya sudah. Namun, di Jepang, masyarakat lokal sangat memperhatikan keselamatan diri. Misalnya, saat kami,  membantu ngariti rumput liar, sarung tangan menjadi alat pelindung yang penting. Begitu pula saat penebangan bambu hama, kami semua menggunakan alat pengaman seperti helm, sarung tangan, dan sepatu yang menjadi kewajiban saat

Baca juga:  Gus Mus akan Terima Yap Thiam Hien Award

Kedua, soal ketepatan waktu. Di Indonesia, sering kali kegiatan tidak berlangsung tepat waktu. Janjian jam 10, datang jam 11. Di Jepang, jika kita janjian jam 10, maka kita harus datang tepat waktu. Misalnya, ketika kami berjanji dengan warga lokal untuk reforestasi hutan pukul 9, maka  jam 9 semua sudah berkumpul.

Selain waktu yang tepat, mereka juga membagi waktu secara seimbang antara bekerja dan istirahat. Saat mulai menebang tanaman liar di hutan, kami terkejut dengan pola kerja mereka. Baru 10 menit kerja, sudah istirahat

“Gusy-gusy, istirahat-istirahat!” ujar salah seorang warga lokal.

Setelah itu, bekerja lagi 15 menit dan istirahat lagi. Dengan waktu yang seimbang tersebut, kami merasa sangat menikmati pekerjaan membantu memotong tanaman liar. Berbeda dengan di Indonesia yang biasanya bekerja berjam-jam tanpa istirahat hingga lelah, baru istirahat.

Ketiga, soal konsumsi minuman. Di Jepang, jarang sekali saya menemukan minuman berbergula, bahkan teh pun hambar tanpa rasa. Berbeda dengan di Indonesia, di mana setiap minuman kemasan hampir selalu mengandung gula. Saat melakukan reforestasi hutan, kami, Santri SMA Bumi Cendekia, mengikuti budaya Jepang untuk tidak mengonsumsi minuman berbergula. Setelah ditanya, ternyata minuman tanpa gula membuat tubuh tidak cepat lelah.

Baca juga:  Kantor PBNU Dicanangkan di Ibu Kota Negara Nusantara

Perbedaan budaya ini memberikan kesan indah bagi kam. Ada yang merasa ketagihan untuk bekerja lagi karena waktu istirahat dan kerja yang seimbang. Ada pula yang senang bisa meluapkan emosi saat menggunakan arit dan gergaji. Terlebih lagi, ada yang merasa bahwa jika bekerja di Jepang, seluruh tugas reforestasi akan selesai dalam seminggu.

“Aku kalau ditawari kerja di sini lagi sih mau banget, karena dikit-dikit istirahat, dikit-dikit istirahat, enak banget, capeknya nggak kerasa,” ujar salah seorang santri.

“Wah, rasanya enak sekali ngarit di Jepang, bisa untuk melampiaskan kemarahan. Daripada bacok-bacokin orang kayak klitih, mending bacokin tanaman liar di Jepang,” tambah yang lain/

“Wah, aku mau kalau kerja di sini, tinggal tebang bambu hama, dalam seminggu sudah bersih hutan ini dari bambu hama. Cuma tinggal belajar bahasa Jepang saja,” kata santri yang paling bersemangat.

Untungnya, dalam hal kelompok kerja, sistem mereka sama seperti di Indonesia. Pembagian kelompok yang rata-rata membuat pekerjaan reforestasi, seperti menebang tanaman liar, lebih cepat selesai. Ada yang bertugas di depan sebagai pembuka jalan, ada yang di kanan dan kiri sebagai perluasan jalan, dan ada yang mengumpulkan tanaman-tanaman liar yang sudah terpotong. Semua dilakukan dengan rapi dan penuh kegembiraan, ditandai dengan nyanyian dan sorak-sorai bersama.

Baca juga:  Menag Yaqut: Komitmen Santri Bela Tanah Air Seumur Hidup

“Hululululu, huluuluu, semangat!” seru salah satu orang yang menyemangati dengan suara, dan akhirnya semua menyahut dengan semangat.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top