Pada 4 November 2022, Project Multatuli menurunkan artikel tentang predator seksual Bechi. Membaca artikel ini membuat siapapun bergidik ngeri. Kisah pilu saksi dan korban diceritakan dengan begitu gamblang dan terang. Tentu Anda sudah tahu siapa Bechi ini. Kasusnya mencoreng institusi pendidikan Islam yang selama ini terlihat “sakral” dan “suci”.
Kasus Bechi membuat masyarakat sadar bahwa manusia tetaplah manusia. Manusia, sebaik apapun, tidak pernah bisa menjadi malaikat. Pada saat yang sama, kasus itu juga membuat masyarakat sadar bahwa manusia bisa memiliki dua wajah yang tak hanya berbeda, namun juga sangat bertolak belakang. Figur ustadz, putra seorang kiai, wakil rektor, sekaligus calon penerus kepemimpinan pesantren merupakan figur yang menjadi idaman banyak orang.
Ayah Bechi tidak hanya kiai besar, namun juga mursyid sebuah aliran sufi. Dengan demikian, Bechi adalah mursyid in waiting. Rupanya, Bechi memiliki wajah lain. Wajah yang kini tengah berusaha disingkap topengnya oleh para saksi dan korban. Lembaga pendidikan Islam beberapa kali terkoyak oleh punggawa-punggawanya sendiri. Seperti kata Abduh, Al-Islamu mahjubun bil muslimin. Islam tertutup oleh orang Islam sendiri.
Keagungan Islam tercoreng oleh umatnya. Sakralitas lembaga pendidikan Islam dikoyak oleh guru-gurunya sendiri. Quraish Shihab menulis, moral yang diajarkan dan dipraktikkan oleh leluhur bangsa kita, demikian yang juga diajarkan oleh agama, tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang. Padahal, ia adalah milik kita yang paling berharga lagi sangat dihargai orang lain. Rasanya, kita semua perlu segera berbenah.
Praktisi pendidikan di berbagai level perlu instrospeksi diri. Guru dan tenaga pengajar perlu melihat ke dalam diri masing-masing. Pemerhati pendidikan perlu memberi masukan yang jujur, jernih, dan mencerahkan. Sementara pejabat negara perlu serius mengawal transformasi pendidikan menjadi lebih baik. Slogan saja tidak cukup untuk memperbaiki sitausi yang sedemikian menyedihkan sekaligus menyakitkan.
Dari sisi akademik, pencapaian lembaga pendidikan Islam sejatinya relatif bagus. Data nilai UTBK 2022 menunjukkan MAN Insan Cendekia Serpong menempati posisi pertama tingkat nasional. Sementara MAN Insan Cendekia Pekalongan menempati posisi keempat tingkat nasional. MAN 2 Kota Malang dan MAN Insan Cendekia Kota Batam secara berurutan menempati posisi 19 dan 20 tingkat nasional.
Namun, apalah arti capaian akademik jika sebagian pelaku dan punggawa lembaga pendidikan Islam ternyata memiliki wajah amoral dan memalukan? Apalah arti capaian akademik yang diglorifikasi sedemikian rupa jika tenaga didik memiliki dua wajah yang begitu kontradiktif? Sementara, kita tahu bahwa tujuan pendidikan kita adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Yang diperlukan untuk melakukan pembenahan secara fundamental adalah koherensi dan sinergitas semua aktor. Mulai dari pemerintah, guru, pengamat pendidikan, hingga siswa beserta orang tua/walinya masing-masing. Tanpa koherensi dan sinergitas, usaha-usaha yang dilakukan rasanya selalu jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Guru, sebagai aktor yang paling intens dengan siswa setelah orang tua, perlu memperhatikan kembali aspek moralitas dan integritas.
Lebih-lebih guru di lembaga pendidikan Islam. Guru memang idealnya tidak dibebani oleh tugas-tugas administratif yang begitu banyak. Ia juga tidak boleh hanya fokus pada aspek kognisi saja. Padahal, moral merupakan salah satu indikator paling penting keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Apa yang diharapkan dari sebuah lembaga pendidikan Islam jika gurunya saja tidak bermoral? Baca Juga Kritik Asghar Ali Engineer terhadap Teologi Islam Klasik Guru adalah ibu kandung peradaban.
Gurulah yang mendidik masyarakat. Gurulah yang melahirkan pejabat publik. Gurulah yang melahirkan cerdik cendekia. Gurulah yang melahirkan pemimpin masyarakat, sekaligus masyarakat itu sendiri. Dedikasi guru terhadap bangsa dan negara tidak bisa dibantah. Dalam konteks tersebut, profesi guru sejatinya begitu mulia. Kemuliaan posisi guru itu harus dirawat secara jujur dan autentik.
Cara merawat kemuliaan itu adalah dengan memastikan bahwa guru dapat menjadi teladan yang baik bagi seluruh masyarakat, tidak hanya bagi murid-muridnya di kelas. Memastikan bahwa guru memiliki moral yang luhur. Moralitas ini harus dijaga melalui dua jalan, yaitu kultur dan struktur. Secara kultur, guru harus membudayakan memiliki integritas dan kejujuran yang baik. Sementara secara struktur, para pengambil kebijakan harus memastikan bahwa terdapat aturan-aturan yang menjadi koridor bagi guru agar tidak salah arah. Karena guru itu digugu lan ditiru.
*Artikel ini pertama kali dimuat IBTimes.