Membaca Kuntowijoyo berarti menolak lupa sosok cendekiawan, sejarawan sekaligus budayawan ini dalam mewarnai pemikiran keislaman dan kebudayaan di Indonesia. Sebagai cendekiawan, dia menelorkan banyak buku tentang Islam dan dinamika umat. Buku Paradigma Islam merupakan buku babon dari pemikirannya. Di samping ada buku lain yang mengirinya. Misalnya, buku Identitas Politik Islam & Dinamika Sejarah Umat Islam. Hal tersebut merupakan bukti bahwa dia sosok cendekiawan yang patut diteladani pemikiran-pemikirannya.
Sebagai sejarawan, Kuntowijoyo meluangkan waktunya untuk berjibaku dan bercengkerama dengan persoalan sejarah di lembaga Masyarakat Sejarawan Indonesia [MSI] & Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial [HIPISS]. Karya nyatanya berupa buku Pengantar Ilmu Sejarah diterbitkan Bentang Budaya & Metodologi Sejarah dengan Penerbit Tiara Wacana. Gelar Ph.Dnya dalam studi sejarah diperoleh dari Universitas Columbia, USA dengan judul: Social Change in an Agrarian Society. Dalam mengkaji sejarah, dia mengkorelasikan sejarah Indonesia, Islam dan Jawa. Buku Paradigma Islam merupakan bukti dia concern di ketiga ranah tersebut.
Tulisan-tulisan Kuntowijoyo tentang Indonesia, Islam dan Jawa sangat aktual dan mendalam. Dalam bahasa Dawam Rahardjo, dia adalah sejarawan istimewa. Dia banyak meminjam teori ilmu-ilmu sosial sekaligus penganjur aplikasi ilmu-ilmu sosial dalam pengembangan umat Islam. Baginya, ilmu sosial punya peran penting bagaimana mengembangkan umat Islam kini dan esok. Umat Islam yang mampu menebar rahmah untuk semua manusia.
Sebutan budayawan bukan ucapan tanpa bukti. Dia mulai menggeluti budaya dan kebudayaan sejak di Fakultas Sastra UGM. Karya-karya dalam bidang budaya dan sastra terhitung sangat banyak. Misalnya, Demokrasi & Budaya Birokrasi, Budaya & Masyarakat. Bidang sastra antara lain Daun Makrifat, Khotbah Di Atas Bukit, Dilarang mencintai Bunga-bunga, Suluk Awang-uwung, dan Impian Amerika.
Islam sebagai Agama Amal
Jika ditelusuri secara mendalam pemikiran Kuntowijoyo tentang Islam, maka dijumpai pemikirannya yang utuh tentang bagaimana Islam dan umat Islam dalam bersikap, berperilaku terhadap diri sendiri maupun masyarakat, bangsa dan negara. Baginya, Islam adalah agama amal, agama perbuatan dan agama aksi. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan tentang seruan agar umat Islam beriman kepada yang ghaib, kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Islam memberikan kesejahteraan [zakat] kepada masyarakat, sehingga masyarakat merasakan Islam merupakan rahmat. Penyaluran Zakat adalah bentuk Islam sebagai agama aksi dan tidak hanya konsep an sich.
Sebagai agama amal, Islam menorehkan peristiwa bersejarah yaitu Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dalam peristiwa tersebut, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan para nabi terdahulu dan berdialog dengan Allah SWT. Idealnya, ketika Nabi Muhammad SAW mencapai tempat tertinggi, maka enggan turun atau kembali ke bumi. Nabi tidak melakukan itu, dan memilih kembali ke bumi untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran yang diperoleh sehingga diterapkan di muka bumi.
Pemahaman bahwa Islam agama amal berupaya memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam tidak berhenti pada konsep atau teori saja. Tata cara salat, zakat, puasa dan haji, misalnya, harus diimbangi dengan praktik, dengan aksi. Sehingga, idealnya kita temui, ketika bulan puasa umat Islam semua berpuasa meski ada pengecualian. Yang menjadi masalah adalah tahu cara shalat tapi tidak salat. Tahu cara menyalurkan zakat tapi tidak menyalurkannya. Tahu bahwa berbuat dosa itu tidak baik, tapi tetap saja dilakukan. Islam akan menjadi rahmat jika umatnya mengamalkan ajarannya.
Melihat perkembangan umat Islam belakangan ini, Islam mengidealkan masyarakat etis [ethical society]. Masyarakat yang dibangun atas dasar etika keadaban. Masyarakat yang mengedepankan akhlak sebagai pijakan utama dalam bertindak. Etika yang bagaimana? Tentu yang sudah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Umat Islam seharusnya meneruskan dan mengamalkan misi suci Nabi Muhammad SAW yaitu terus-menerus berupaya menyempurnakan akhlak baik pada diri sendiri maupun kepada masyarakat. “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”, dawuh Nabi Muhammad SAW.
Membangun masyarakat etis tentu tidak mudah, meski juga tidak sesulit yang dibayangkan. Misalnya etika menggunakan media sosial. Umat Islam harus menjadikan media sosial untuk mengabarkan kebaikan. Mewujudkan budaya tabayyun terhadap info yang belum jelas sumbernya. Saring sebelum sharing. Cerdas dan etis dalam menggunakan medsos akan menjadikan brand bahwa Islam bisa menjadi rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam. [] (RM)