Sedang Membaca
Teladan Toleransi Sahabat Nabi
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Teladan Toleransi Sahabat Nabi

Sir Thomas Arnold, sejarawan ternama tentang perkembangan penyebaran Islam, dalam bukunya The Preaching of Islam pernah menulis yang artinya begini:

“…namun saya tak pernah mendengar adanya usaha sistematis untuk memaksa kelompok non-muslim agar mereka mau menerima Islam. Begitu juga (tak pernah saya dengar adanya) agresi terstruktur yang bertujuan untuk menghancurkan agama Nasrani…”

Ucapan Thomas Arnold di atas sebenarnya bukan hanya hendak menegaskan bahwa “Islam itu agama damai” dan slogan-slogan senada. Tulisan Arnold di atas sebenarnya juga hendak menekankan bahwa setiap usaha memaksa non muslim untuk memeluk Islam adalah tindakan yang dilakukan oknum. Oknum ini bukanlah representasi Islam.

Para sejarawan berkata bahwa usaha islamisasi baru marak hampir seabad pasca wafatnya Nabi. Tapi islamisasi ini tidak dipaksakan atau pun kekerasan. Islamisasi ini hanya mewujud pada aturan-aturan biasa yang akan berkembang sesuai dengan dinamika zaman. Aturan-aturan ini bukan aturan ketuhanan sehingga ia tidak wajib ashli syar’i untuk ditaati.

Adalah Khulafa’ Rasyidin. Sebagai role model yang disepakati pasca Nabi wafat, Khulafa’ Rasyidin sudah semestinya menjadi representasi tentang ajaran agama Islam. Telaah mendalam akan buku-buku sejarah akan membawa kita kepada pemahaman bahwa mereka adalah pembawa obor toleransi dan demokrasi. Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam bahkan menyebut bahwa para khalifah ini sudah jauh melampaui zamannya. Sistem non monarkis, kebebasan berekspresi, negara madani, dan lain-lain adalah wujud “modernitas” para khalifah. Masyarakat di abad ke tujuh Masehi belum siap menerima doktrin “modern” seperti itu. Maka sebab itu kekhilafahan hanya sanggup bertahan tiga puluh tahun, tulis Hodgson.

Baca juga:  Sejarah Prostitusi di Dunia

Khulafa’ Rasyidun: Role Model Toleransi Beragama

Sebagai pelanjut ajaran revolusioner Nabi Muhammad saw, Khalifah Abu Bakar tentu mengemban beban moral untuk melanjutkan kerukunan beragama yang telah dibangun oleh Nabi. Oleh sebab itu ia berpesan kepada para tentara yang sedang berperang: “Saat berangkat perang nanti kalian akan bertemu dengan gereja-gereja yang berisi para pendeta. Jangan sekali-kali kalian membunuh mereka dan menghancurkan gereja mereka.” Artinya: jika kalian berperang, yang harus kalian perangi hanyalah tentara lawan, bukan yang lain.

Lebih dari itu, Abu Bakar juga diriwayatkan pernah berpesan kepada Khalid bin Walid yang sedang berada di Hirah agar “tidak menarik jizyah kepada orang Nasrani yang tidak sanggup bekerja serta agar menafkahi mereka dari kas orang muslim (bayt mal al-muslimin).” 

Tak jauh beda dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab adalah khalifah yang dikenal sebagai Bapak Keadilan. Ia dikenal sebagai munshif—seorang yang obyektif. Tak segan ia mengaku salah meski ia telah menduduki jabatan khalifah. Misal sebuah kisah yang diceritakan Ibn Asakir dalam tarikhnya berikut ini. 

Suatu hari Umar mendatangi kota Syam yang saat itu baru takluk. Ketika Umar sampai, tiba-tiba ia disambut oleh para muqallis. Muqallis adalah tentara yang biasa menyambut panglima perang. Karena Umar adalah orang yang sangat sederhana dan paling tidak suka dengan protokol, ia hendak melarang para muqallis yang tidak beragama Islam itu.

Baca juga:  Surakarta: Etos Permodalan, Batik, dan Pers

Namun Abu Ubaidah menyergah, “Biarlah wahai Amiral Mukminin. Ini adalah kebiasaan mereka. Jika kau melarang mereka, maka kau sungguh telah melanggar janji kebebasan berekspresi.” Kurang lebih seperti itu jika ucapan Abu Ubaidah diterjemahkan.

Lalu Umar berkata, “Abu Ubaidah benar dan Umar keliru.” Dari kisah ini dan kisah-kisah lain, Umar bisa dinilai sebagai pribadi yang toleran dan sangat obyektif (inshaf, qisth) walaupun kepada penganut agama lain.

Di samping itu. kisah masyhur yang diriwayatkan Ibnu Khaldun tentang tindakan Umar untuk memelihara Gereja Holy Sepulchre adalah kisah nyata toleransi beragama di masa kepemimpinan Umar. Selain itu bertepatan dengan momen penolakan Umar untuk salat di Holy Sepulchre, dibuatlah Perjanjian Aelia atau Ahdah ‘Umariyah; sebuah perjanjian kebebasan beragama bagi penduduk Kota Aelia. Beruntungnya Thabari sempat mencatat isi Perjanjian Aelia. Isinya secara garis besar berisi kebebasan beragama bagi penduduk Aelia; bagi yang ingin tetap tinggal di kota, bergabung bersama Romawi, atau ingin netral, semuanya diperbolehkan dan dibebaskan.

Selain dua khalifah di atas, banyak pula teladan-teladan toleransi yang dicontohkan oleh Khalifah Usman maupun Khalifah Ali. Maka berdasarkan fakta ini, tak heran jika Hodgson menilai bahwa masa kekhalifahan adalah masa modern yang lahir prematur. Akibatnya masyarakat belum siap. Pada akhirnya kekhalifahan selesai dalam waktu 30 tahun.

Baca juga:  Sejarah Tahun Baru Hijriah: Gagasan Abu Musa al-Asy'ari, Umar, dan Ali

*Artikel ini didukung oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top