Ajaran Islam secara umum terdiri dari tiga dimensi: akidah, ibadah, dan akhlak. Dari masing-masing dimensi tersebut, para ulama’ membangun dan mengembangkan berbagai cabang ilmu. Dalam setiap cabang ilmu itu, terdapat banyak karangan para ulama’ yang terfokus pada satu cabang ilmu tersebut.
Misalnya, kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzab, kitab babon dalam madzhab Imam Syafi’I yang terfokus membahas fikih, yang menjadi bagian dari dimensi ibadah. Yang kemudian menjadi pertanyaan: bisakah ketiga dimensi ajaran Islam tersebut diulas dalam satu kitab secara sistematis, tidak terlalu tebal, dan memudahkan bagi pencari ilmu?
Dengan menuliskan kitab yang berjudul Al-‘Arbain fi Ushul ad-Din ini, Imam Al-Ghazali membuktikan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah, bisa! Hal ini, menurut beliau disebabkan, karena sekian ilmu dari ketiga dimensi ajaran Islam itu bersumber pada ayat-ayat dari satu sumber yang sama, yakni kitab suci Al-Qur’an.
Dari sumber itu kemudian para ulama’ menyusun ajaran di dalamnya ke dalam berbagai ilmu dan amal, yang oleh Imam Al-Ghazali dibagi dalam empat pembagian: al-‘ulum (ilmu-ilmu, yakni akidah), a’mal dzohiroh (amal-amal yang nampak), tazkiyat al-qalb ‘an akhlaq madzmumah (penyucian hati dari etika tercela), dan tahliyat al-qalb bi akhlaq mahmudah (menghiasi hati dengan etika terpuji).
Pada setiap bagian itu, terdapat sepuluh al-ashl (dasar) yang merujuk kepadanya. Total, seluruhnya ada empat puluh ashl dari empat cabang ilmu dan amal dari ajaran Islam menurut Imam Al-Ghazali.
Beliau kemudian mengumpulkan ajaran Islam dan penjelasanya berdasarkan pembagian tersebut, ke dalam satu kitab yang beliau beri judul Al-‘Arbain fi Ushul ad-Din fi al-‘Aqaid wa Asrar al-‘Ibadat wa al-Akhlaq atau Empat Puluh Pokok-Pokok Agama: tentang Akidah, Rahasia Ibadah dan Akhlak. Dengan mengumpulkanya pada satu kesatuan, beliau berharap kitabnya ini bisa mengandung zubdat ‘ulum al-Qur’an (intisari ilmu-ilmu Al-Qur’an).
Riwayat Singkat Imam Al-Ghazali dan Kitab Ini
Imam Al-Ghazali merupakan salah satu imam kalangan Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam bidang tasawuf, yang berjuluk hujjat al-Islam. Beliau merupakan anak seorang penenun dan penjual kain wol di Thus yang ditinggal wafat orang tuanya sejak kecil. Beliau kemudian diasuh teman ayahnya yang sholih, namun miskin. Sehingga beliau dimasukkan ke madrasah agar mendapat subsidi makanan.
Di Thus, beliau belajar fikih dari Imam Ahmad Ar-Radzikani. Kemudian berlanjut ke Jurjan untuk belajar kepada Imam Abu Nashr Al-Isma’ily. Pada usia 20-an awal, Al-Ghazali muda meneruskan studinya di Naisabur untuk ngaji pada Imam Al-Haramain Al-Juwaini, hingga menguasai ilmu fikih madzhab Imam Syafi’I, ushuluddin, ushul fikih, mantiq, dan membaca filsafat.
Saat usia 33 tahun, Imam Al-Ghazali diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nizhomiyah di Baghdad. Satu tahun berselang, beliau diangkat menjadi rektor. Beliau dikenal sebagai ulama’ yang amat cerdas, kuat pandanganya, dan produktif. Berbagai cabang ilmu beliau kuasai, dan pada setiap cabang ilmu yang beliau kuasai, beliau menuliskan karya di bidang tersebut. Ada 70 lebih kitab yang beliau tulis dalam berbagai cabang keilmuan.
Berada di puncak karir sebagai intelektual, pada usia 38 tahun, Imam Al-Ghazali memilih uzlah untuk meninggalkan Baghdad. Selama uzlah, beliau menggeluti tasawuf. Selepas uzlah, pada usia 49 tahun, beliau menyelesaikan kitab masterpiece-nya, Ihya’ Ulumuddin.
Sedangkan kitab Al-‘Arbain fi Ushul ad-Din ini, dituliskan Imam Al-Ghazali setelah beliau menyelesaikan kitab Ihya’ Ulumuddin. Hal ini dapat dilihat dari beberapa uraian dalam kitab ini yang membutuhkan penjelasan yang lebih komprehensif, dimana pembaca diarahkan untuk merujuk pada kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab Al-‘Arbain fi Ushul ad-Din ini, menjadi bukti kedalaman ilmu Imam Al-Ghazali dalam bidang Akidah, Ibadah, dan Akhlak/Tasawuf.
Kandungan dan Sistematika Kitab
Pada bagian pertama kitab ini, Imam Al-Ghazali menjelaskan sejumlah ilmu dan pokok-pokoknya terkait dengan akidah. Terdapat sepuluh cabang dalam bagian ini, sebagaimana pada bagian-bagian lain. Kesepuluh cabang itu adalah ilmu tentang Dzat Allah SWT., taqdis (menyucikan Allah SWT.), qudroh (sifat kuasa Allah SWT.), ‘ilm (sifat mengetahui-nya Allah SWT.), irodah (sifat kehendak Allah SWT.), sam’ wa bashr (sifat mendengar dan melihat-nya Allah SWT.), kalam (sifat berfirman-nya Allah SWT.), af’al (perbuatan Allah SWT), hari kiamat, dan nubuwwah (kenabian).
Pada bagian kedua, kitab ini menjelaskan sepuluh pokok dari rahasia-rahasia ibadah dzohir. Sepuluh pokok itu adalah sholat, zakat dan sodaqoh, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, dzikir, tholab al-halal (mencari penghidupan yang halal), menunaikan hak-hak umat muslim, amr ma’ruf, serta mengikuti sunah.
Adapun bagian ketiga berisi penyucian hati dari etika tercela, yang terdiri dari: keburukan hati dari makanan, kebutuhan hati saat makan, marah, hasud, kikir dan cinta harta, cinta pangkat, cinta dunia, sombong, ujub, dan riya.
Sedangkan bagian keempat menguraikan tentang menghiasi hati dengan etika terpuji, yang terdiri dari: taubat, khouf (takut Allah), zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakkal, mahabbah (cinta Allah), ridho dengan qodho’, serta mengingat mati dan hakikatnya.
Pada setiap ashl, uraian diawali dengan dalil primer dari Al-Qur’an dan Hadits tentang perintah dan keutamaan ashl tersebut. Kemudian, Imam Al-Ghazali menyampaikan beberapa poin yang beliau susun berdasar dalil-dalil primer dan qoul juga kisah ulama’-ulama’ secara sistematis.
Misalnya dalam ashl ketujuh tentang tholab al-halal (mencari penghidupan yang halal) pada bagian rahasia ibadah. Pembahasan diawali dengan firman Allah SWT. dalam QS. Al-Mu’minun ayat 51 tentang perintah memakan sesuatu yang thoyib (baik), yang dibarengi dengan perintah ibadah.
Selanjutnya disebutkan hadits-hadits tentang kewajiban mencari penghidupan yang halal bagi setiap muslim dan keutamaan memakan sesuatu yang halal, serta peringatan agar tidak memakan sesuatu yang haram. Setelah itu, Imam Al-Ghazali kemudian menguraikan kaitan kehalalan makanan dengan penyucian hati dan usaha menyinarinya, serta penguatan mempersiapkan hati untuk menerima cahaya-cahaya ma’rifat.
Beliau menjelaskanya dalam empat derajat waro’ (sikap menahan diri), yakni: derajat pertama (batasan orang disebut ‘adil dan bukan fasiq), derajat kedua (waro’-nya orang-orang sholih), derajat ketiga (waro’-nya muttaqin), derajat keempat (waro’-nya shiddiqin). Dalam menjelaskan derajat-derajat tersebut, Imam Al-Ghazali juga menyertakan kisah-kisah wali seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Dzun Nun Al-Mishri, dan Bisyr al-Hafi.
Pembahasan bagian ibadah pada kitab ini memang lebih menekankan pada penjelasan rahasia-rahasia dan derajatnya, yang memang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang penulisnya yang seorang Imam besar dalam bidang tasawuf. Secara umum, kitab ini menarik dikaji bagi para santri untuk lebih menyelami intisari dari berbagai ilmu-ilmu Al-Qur’an yang telah disusun secara sistematis oleh Hujjatul Islam. Wallahu a’lam bish showab