Setelah diembargo nyaris selama dua tahun oleh kafir Quraisy, Nabi Muhammad akhirnya keluar dari Makkah pada Kamis terakhir bulan Shafar, dan juga keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada 2 Rabi’ul Awwal (20 September 622 M)—menuju Madinah.
Menurut al-Mas’udi, Rasulullah Saw memasuki Madinah tepat pada malam 12 Rabi’ul Awwal. Sementara Umar dan para sahabat semasanya, menetapkan awal bulan hijriyah adalah Muharram. Kenapa demikian? Karena Muharram adalah bulan yang semula Nabi hendak berniat hijrah. Selain itu, pada bulan ini pulalah para jamaah haji baru rampung mengerjakan ibadah mereka dan pulang ke negeri masing-masing. Dengan adanya keputusan demikian, seolah-olah hijrah Nabi Muhammad jatuh pada Muharram dan dipandang patut sebagai permulaan tahun dalam Islam.
Anehnya, peristiwa senada juga terjadi pada bulan yang sama, pada waktu berbeda. Mari sejenak kita melintasi sejarah masa lalu. Muharram menjadi saksi beberapa peristiwa penting kenabian, seperti:
Pertaubatan Adam as yang diterima Allah Swt; kapal Nabi Nuh as yang berlabuh di bukit Zuhdi; Nabi Ibrahim as terbebas dari siksa Namrud; Nabi Yusuf as dikeluarkan dari penjara Kerajaan Mesir; Nabi Yunus as dimuntahkan ikan paus dari perutnya; Nabi Ayyub as disembuhkan Allah dari penyakit yang menjijikkan; Nabi Musa as beserta Bani Israil, berhasil menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun dan pasukannya—yang kemudian ditelan Laut Merah. Setelah era kenabian berakhir, Muharram masih menyaksikan tragedi Karbala, yaitu Imam Husein ra yang syahid di tangan Yazid laknatullah ‘alaihi.
Momen tersebut di negeri kita kemudian dikenal sebagai “Sasi Suro” dan terdapat peristiwa agung di dalamnya yang disebut “Bodo Suro.” Bagi masyarakat Muslim, Muharram memang sarat kemuliaan karena menjadi pembuka tahun anyar. Wajar jika dalam kondisi ini disebut sebagai “Hari Raya Umat Islam,” karena banyak kenangan kolosal yang terdapat dalam Muharram. Darimana penjelasan “Hari Raya Suro” itu didapatkan?
Penjelasannya ditulis KH Sholeh Darat pada Muharram 1317 H/1899 M/1 Suro 1829 (Jawa), dalam kitab Lathaif at-Thaharah wa Asraru as-Shalah, yang ditulis saat beliau berusia 79 tahun. KH Sholeh menulis, “Bahwa awal Muharram itu adalah tahun baru seluruh umat Islam. Ada pun 10 Muharram adalah “Hari Raya” yang digunakan untuk bergembira dengan sedekah. Hari raya ini untuk mensyukuri nikmat Allah, bukan hari raya dengan shalat. Tetap berhari raya dengan pakaian rapi, dan memberikan makanan kepada para faqir. Sebaiknya orang Islam mengetahui tahun baru Islam. Hari wuquf di Arafah itu akan menjadi hari pertama Muharram dan akan bertitimangsa 27 Rajab.”
Terkait Suro dalam khazanah Jawa, dalam mantra-mantra tradisional yang bernuansa Islam, banyak tersirat ritual memuliakan Fatimah (Dewi Pertimah) yang dikonotasikan dengan Dewi Pertiwi atau Dewi Bumi). Ali bin Thalib karamallahu wajhahu, disebut Baginda Ngali, Hasan, Husein, maupun Muhammad Hanafiah. Mirip dengan kepercayaan kaum Syi’ah. Mereka juga sangat membenci Yazid yang disebut Raja Yazid Kang Duraka. Walau begitu mereka juga menghormati Abu Bakar Siddiq ra, Umar bin Khattab ra, dan Utsman bin Affan ra. Petunjukkan tentang Muharram bisa kita teliti dari sebuah ayat yang berbunyi:
“Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas, dalam ketetapan Allah manakala Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semua, sebagaimana mereka pun memerangimu semua, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orangorang bertakwa.” (QS Pengampunan [9]: 36)
Berdasar ayat di atas, kita bisa memetik makna bahwa dalam setahun, Allah Swt membagi bulan menjadi duabelas bilangan. Di antara bulan tersebut, ada empat yang disebut sebagai bulan haram: Muharram, Zulkaidah, Zulhijah, dan Rajab. Keterangan mengenai nama empat bulan haram itu terdapat dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, “Sungguh zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam an-Nasai juga mengeluarkan Hadits dari Abu Dzar ra. Beliau berkata, “aku bertanya kepada Nabi Muhammad, pada malam hari, bagian mana yang paling baik, dan bulan apa yang terbaik? Lalu Nabi menjawab: ‘sebaik-baiknya malam adalah tengah malam, dan sebaik-baiknya bulan adalah bulan Allah yang biasa kalian sebut Muharram.’” (Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Nur al-Din Ali abu Bakar al-Haitsami, 3/438).
Istilah Muharram secara bahasa, berasal dari kalimat pasif (lazim) fi’il tsulatsi mujarrad “harama” yang bermakna imtana’a, muni’a, atau hurmah. Artinya: terlarang, dilarang, dan mulia). Lalu kalimat harama di-tasydidkan ra’-nya sebagai ‘ain fiil-nya dalam rangka menjadikan kalimat aktif (muta’addi) fi’il tsulatsi mazid fih ruba’iy, harrama. Berarti melarang dan memuliakan. Karena itulah, jika ada istilah “Tanah Haram Makkah,” sama dengan Tanah Mulia Makkah. Sebab di tanahnya terdapat larangan melakukan sesuatu yang (pada padahal) boleh dilakukan di tempat lain. Senada dengan istilah “wanita itu mahrammu,” yang haram dinikahi demi memuliakan statusnya.
Dengan demikian, Muharram yang dalam disiplin ilmu nahwu (tata bahasa) bershighat isim maf’ul, bermakna bulan yang dimuliakan. Jadi dengan kata lain, umat Muslim dilarang melakukan perbuatan yang keji. Sampai di sini, kita bisa menarik benang merah, betapa Allah menganjurkan setiap Muslim agar meneladani kejadian luarbiasa yang dialami para Nabi-Nya. Mereka semua telah menunjukkan pada sejarah umat manusia, tentang arti penting sebuah perjuangan menegakkan prikehidupan yang berlandaskan hukum suci Tuhan.
Mereka bukan sedang membela kebenaran, lantaran sesuatu yang sudah benar, niscaya “membela” dirinya sendiri. Para Nabi dan Rasul sedang berusaha menunjukkan semacam ikhtiar pembelaan terhadap kaum tertindas, berjuang melawan kepentingan pribadinya, menekan sedalam mungkin egosentrisme, dan berharap penuh pada pertolongan Allah Swt. Mereka semua telah mengajari kita arti dari kepasrahan total. Mendaku lemah tak berdaya, di hadapan Sang Khaliq. Maka wajar kiranya bila upaya mereka selalu disambut dengan gegap gempita oleh Al Haqq.
Pada yang demikian itu kita perlu mengambil iktibar. Bilamana kita kontekstualisasikan spirit mereka dalam panggung kehidupan kiwari, seharusnya mata ketiga kita terbuka melihat begitu banyak bentuk penindasan yang terjadi. Membela manusia, sama belaka dengan mengharumkan kemanusiaan. Jikalau Islam agama rahmat bagi semesta alam, Muharram adalah guru bijak yang mengajari kita nilai utama hidup dengan tepa salira. Ketika manusia sudah bisa menata saliranya, maka ia bisa menata negara, menata buwana, dan kemudian bisa memafhumi rahasia tata surya. Wallahua’lam… []