Sedang Membaca
Dua Tantangan Pancasila di Era Pasca-Soeharto
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Dua Tantangan Pancasila di Era Pasca-Soeharto

Img 20200629 Wa0012

Memasuki periode pasca-Soeharto, Pancasila menghadapi tantangan berat. Diasosasikan dengan otoritarianisme rezim Orde Baru, ia meninggalkan semacam trauma bagi sejumlah kalangan (Bourchier, 2015). Oleh karena itu, tidak heran ketika berbagai konflik sosial bermunculan, Pancasila hampir tidak disebut lagi sebagai solusi permasalahan. Dapat dikatakan ia seolah-olah dilupakan.

Akan tetapi, situasi yang terjadi lebih kompleks daripada itu. Meskipun seolah-olah dilupakan, beberapa kalangan justru giat menafsirkan ulang. Menurut mereka, Pancasila tidak hanya merupakan dasar negara, tetapi juga panduan hidup yang baik bagi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, lebih dari sekadar ideologi, Pancasila juga adalah sebuah etika. Pada titik ini kita akan melihat nanti sejuah mana penafsiran ulang terhadap Pancasila di era pasca-Soeharto berkontribusi terhadap pemecahan masalah konflik sosial. 

Dalam hal ini, muncul sekurang-kurangnya dua kecenderungan penafsiran ulang yang tampak bertolak belakang. Kecenderungan pertama datang dari kelompok Islam yang berusaha memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta, sedangkan kecenderungan kedua datang dari kelompok nasionalis sebagai reaksi terhadap yang pertama dengan aspirasi mengembalikan kembali penafsiran Pancasila ke zaman Soeharto dan bahkan Soekarno. Menurut kami, kedua kecenderungan tersebut sama-sama konservatif dan, oleh karena itu, problematis. Mari kita periksa satu per satu! 

Kecenderungan pertama berangkat dari keinginan lama sejumlah kelompok Islam untuk mengembalikan rumusan Piagam Jakarta ke dalam wacana mengenai Pancasila. Situasi pasca-Soeharto yang sangat dinamis memungkinkan keinginan ini bisa diwujudkan. Selain argumen historis, mereka menunjuk kekacauan sosial politik saat itu sebagai alasan mengapa Pancasila harus diinterpretasi ulang.

Secara formal, usaha ini terfasilitasi dalam rangkaian amanademen UUD 1945 selama 1999-2002. Tiga partai politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan, dan Partai Bulan Bintang meminta “tujuh kata” dalam Pancasila versi Piagam Jakarta (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dimuat kembali dalam Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945. Namun usaha ini tidak mendapat dukungan yang signifikan, sehingga gagal. 

Akar dari keinginan sejumlah kelompok Islam tersebut sangat dalam. Lebih dari sekadar memanfaatkan situasi pasca-Soeharto yang dinamis, keinginan tersebut telah menjadi aspirasi klasik kelompok Islam politik sejak dasar-dasar negara diperbincangkan dalam sidang-sidang menjelang kemerdekaan. Namun sejak Wakil Presiden Mohamad Hatta mengumumkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bahwa tujuh kata dalam sila pertama Pancasila dihilangkan, sejak itu pula aspirasi tersebut terpinggirkan. Setelah Pemilihan Umum 1955, aspirasi tersebut sempat kembali masuk ke pangggung politik dalam sidang-sidang Konstituante. Ketika itu Masyumi dan NU satu suara memperjuangkan kembalinya Pancasila dan UUD 1945 kepada rumusan Piagam Jakarta (Feillard, 1999). Namun pada tahun 1959 Presiden Soekarno lagi-lagi menggugurkannya dengan keputusan Dekrit Presiden. 

Pada periode awal Orde Baru, keinginan kelompok Islam untuk mengembalikan spirit Piagam Jakarta tertutup rapat. Rezim penguasa menerapkan strategi anti-Islam politik yang ketat. Tidak ada peluang untuk mengotak-atik Pancasila di luar kontrol penafsiran negara. Dengan dukungan sejumlah ahli hukum dan teoretisi sosial Katolik terkemuka, Orde Baru mengembangkan penafsiran resmi terhadap Pancasila (Bourchier, 2015). Penafsiran ini kemudian menjadi panduan etika bagi semua warga negara melalui kegiatan P4 (Pendoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang diajarkan di seluruh sekolah dan universitas. 

Baca juga:  Pemetik Puisi (6): Azan dan Peristiwa

Akan tetapi, pada periode akhir kekusaaannya, pemerintah Orde Baru mulai terbuka terhadap aspirasi kelompok Islam politik. Soeharto bahkan membangun aliansi dengan mereka (Hefner, 2001). Sejak awal 1990-an, keinginan untuk menafsirkan Pancasila dengan keagamaan semakin mendapatkan jalan terang. Dari sinilah keinginan untuk memanggil kembali spirit Piagam Jakarta memperoleh momentumnya. Transisi kekuasaan dari Soeharto ke Habibie membuat momentum itu menjadi lebih nyata. 

Oleh karena itu, meski tuntutan kelompok Islam untuk memasukan rumusan Piagam Jakarta dalam proses amandemen UUD 1945 antara 1999-2002 gagal, aspirasi mereka telah berkembang ke lingkup yang lebih luas. Kesempatan semakin terbuka melalui adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diputuskan pada 1999. Dengan adanya kebijakan ini, daerah-daerah memperoleh otonomi menciptakan peraturannya sendiri. Melalui celah inilah spirit Piagam Jakarta bisa terejawantahkan dalam “perda syariah” di berbagai daerah. 

Spirit Piagam Jakarta yang beroperasi dalam perda syariah tidak lagi ideologis, tetapi lebih berupa pandangan etis. Tujuan utamanya adalah mengatur hidup yang baik, termasuk menjadi warga negara yang baik. Tentu saja dasarnya adalah agama, lebih tepatnya penafsiran agama tertentu. Masyarakat diatur oleh sejumlah regulasi agar menjadi warga negara yang saleh. Dalam praktiknya, perempuan lebih mendapatkan perhatian daripada laki-laki. Pengaturan tubuh perempuan dianggap merupakan fondasi pengaturan masyarakat. Ketertiban sosial bisa dicapai jika perempuan bisa menjaga dirinya. Bagi para penndukung perda syariah, hal ini dimungkinkan karena merupakan pelaksanaan dari sila pertama Pancasila, “ketuhanan yang maha esa”.  

Belakangan, aspirasi kelompok Islam politik untuk menafsirkan ulang Pancasila terkristalisasi dalam gagasan “NKRI bersyariah”. Mereka menyangkal tuduhan mau mendirikan negara Islam atau, yang terkini, khilafah. Mereka mengklaim diri sebagai pendukung NKRI. Namun berbeda dengan pemahaman NKRI yang ada, mereka menambahkan kata “syariah”. Tokoh sentral gagasan ini adalah Muhammad Rizieq Shihab. Dia menulis sebuah tesis S-2 di Universitas Malaya untuk mematangkan gagasannya itu (Shihab, 2012).

Dalam tesis itu dia berpendapat bahwa penfasiran syariah terhadap Pancasila adalah sesuatu yang sah baik secara normatif maupun historis. Gagasan Rizieq Shihab mendapatkan momentum yang luar biasa ketika terjadi aksi 212 pada 2016. Saat itu Rizieq tampil sebagai pemimpin massa yang menyuarakan penentangan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama atau Ahok. Karena ucapannya di sebuah acara, Ahok dituduh melakukan penistaan agama. Lalu ratusan ribu massa atas nama “bela Islam” datang ke Jakarta, berkumpul di lapangan Monas, menuntut Ahok mundur dari jabatannya dan dipenjara. Nama Rizieq Shihab melambung tinggi dalam aksi tersebut, termasuk gagasannya mengenai NKRI bersyariah. 

Baca juga:  Bedug: Dari Tambur Perang hingga Polemik Dua Ulama

Ternyata pewacanaan NKRI bersyariah yang sangat intensif mendapatkan reaksi balik dari sekelompok orang yang belakangan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila. Inilah kecenderungan kedua penafsiran Pancasila di era pasca-Soeharto. Gagasannya ini adalah antitesis dari gagasan NKRI bersyariah. Selain cukup pasti menolak kembalinya rumusan Piagam Jakarta, RUU ini memuat sejumlah konsepsi lama baik dari era Soeharto maupun Soekarno. Di antaranya adalah konsepsi “manusia Pancasila”, selain konsepsi “Trisila” dan “Ekasila”. 

Akan tetapi, jika ditelurusi lebih dalam, gagasan di balik RUU HIP bukan sesuatu yang baru. Dengan demikian, lebih dari sekadar reaksi spontan terhadap NKRI bersyariah, RUU HIP bersumber dari gagasan yang lebih tua, yaitu paham negara “integralistik”. Sama seperti Piagam Jakarta yang menjadi rujukan sejumlah kelompok Islam, paham negara integralistik sudah muncul dalam perdebatan di antara pada pendiri bangsa menjelang kemerdekaan. 

Di antara pokok yang menjadi kontroversi dari RUU HIP adalah peringkasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Menurut para pengusungnya, jika mau diringkas lagi, Pancasila sesungguhnya bersendikan Ekasila, yaitu ketuhanan, nasionalisme, dan gotong royong. Tetapi jika Ekasila mau lebih diringkas lagi, maka ia sejatinya bersumber pada Ekasila, yaitu gotong royong. Konsep Trisila dan Ekasila berasal dari pidato Soekarto dalam sidang BPUPKI 1945. 

Paham negara “integralistik” telah berkembang dalam sejarah pemikiran politik Indonesia sejak lama. Seperti dijelaskan oleh Bourchier (2015), gagasan ini bahkan telah muncul di era kolonial dalam pemikiran sejumlah ahli hukum adat yang berbasis di Universitas Leiden. Tokoh utama adalah Van Vollenhoven. Gagasan utamanya adalah bahwa di dalam masyarakat Indonesia yang plural terhadap sejumlah norma adat yang dalam banyak hal pararel dengan “organisisme” dalam tradisi filsafat Eropa kontinental, terutama dari Hegel. Orang Indonesia yang paling berperan dalam mengembangkan pemikiran integralistik siapa lagi kalau buka Soepemo. Ahli hukum ini sudah berbicara mengenai pandangannya dalam sidang BPUPKI. Dia terus menerus menekanpan pentingnya pemahaman mengenai negara sebagai organisisme. 

Pemerintah Orde Baru meresmikan pandangan integralistik Soepomo dalam kegiatan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diputuskan melalui Ketetapan MPR No. 2/1978. Melalui kegiatan itu, pemahaman Pancasila sebagai negara integralistik diindoktrinasikan ke seluruh pelajar dan mahasiswa. Setahun berikutnya, melalui Keputusan Presiden No. 17/1979, dibentuk BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang mengawal pelaksanaan kegiatan P4 dari tingkat pusat hingga daerah.

Di antara konsep yang menjadi dasar penyusunan P4 dan sekarang muncul kembali dalam rumusan RUU HIP adalah “manusia Pancasila”. Konsep ini berasal dari pidato Driyarkara, seorang pastur Katolik terkemuka, pada tahun 1959. Dia menyebut pentingnya pembentukan manusia Pancasila sebagai “insan humanisme-religius-sosialistik”. Tampaknya konsepsi ini merupakan respons terhadap demokrasi terpimpin Soekarno yang mencoba menerapkan aliansi “nasakom” (nasionalis-agama-komunis). Namun di zaman Soeharto, konsep manusia Pancasila dikembangkan lebih luas lagi, sementara unsur “sosialistik”-nya dihilangkan. Manusia Pancasila adalah gambaran ideal warga negara yang baik pada masa itu.

Baca juga:  Gus Dur, Tentara Tuhan, dan Rentenir Agama

Di tahun-tahun awal setelah reformasi 1998, gagasan integralistik tersebut meredup, tetapi tidak hilang. Ia kembali muncul seiring dengan menguatnya sentimen populisme kanan yang merujuk, di antaranya, pada imajinasi kejayaaan Orde Baru. Ungkapan “enak zamanku tho?” sempat populer yang mengesankan seolah-olah kehidupan di zaman Orde Baru lebih enak daripada sekarang. Yang dimaksud “enak” di sana salah satunya adalah kepastian ideologis mengenai Pancasila. Sejumlah orang resah dengan ketidakpastian yang mengiringi proses demokratisasi.

Pengimajinasian terhadap kejayaan masa lalu mendapatkan pijakan yang lebih kokoh setelah bekan menantu Soeharto, Prabowo Subianto, mendirikan Gerakan Inonesia Raya (Gerindra). Nama partai politik ini mengingatkan kita pada partai sejenis yang hidup di tahun 1930-an, Partai Indonesia Raya, yang berhaluan kanan, tepatnya fasis. Memang sejak awal retorika yang disampaikan oleh Prabowo adalah semacam “make Indonesia great again!” a la Trump di Amerika Serikat. 

Akan tetapi, penafsiran ulang Pancasila yang bertendensi nasioanalistik-konservatif tidak hanya mengacu kepada Gerindra, tetapi juga kelompok lain. Sejumlah “marhaenis” di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri juga mempunyai aspirasi yang kurang lebih sama. Mereka inilah yang menjadi salah satu motor penggerak penyusunan RUU HIP. 

Kabar terakhir mengatakan RUU HIP ditunda, diganti dengan RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Tujuannya lebih terbatas, yaitu memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang telah berdiri pada 2017. Meski demikian, sejumlah pihak tetap menolaknya karena dianggap akan membakukan tafsir mengenai Pancasila yang jelas telah disepakati menjadi dasar negara. 

Dengan demikian, meski sepintas terlihat bertolak belakang, gagasan Islamisme konservatif dan nasionalisme konservatif sesungguhnya mengalami pematangan di era Soeharto. Yang membedakan adalah yang pertama terjadi di periode akhir, sedangkan yang kedua di periode awal. Dua penafsiran terhadap Pancasila tersebut lebih merupakan kelanjutan daripada perubahan dari era sebelumnya.

Oleh karena itu, kami melihat perlunya mempertimbangan suatu penafsiran lain yang mampu melampaui keduanya. Bagaimanapun gagasan Islamisme konservatif dan nasionalisme konservatif gagal mempertimbangkan realitas masyarakat Indonesia yang pluralistik dan pengalaman kesejarahannya yang dinamis. Alih-alih memperkaya proses demokratis pasca-1998, keduanya justru pada dasarnya anti-demokrasi. 

Daftar bacaan:

Bourchier, David. 2015. Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State. London/New York: Routledge. 

Feillard, Andree. 1999. NU vis-a-vis Negara. Yogyakarta: LKiS. 

Hefner, Robert. 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: ISAI.

Shihab, Muhammad Rizieq. 2012. Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia. Tesis S-2, Universitas Malaya, Kuala Lumpur. 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top