Malam itu barangkali malam paling muram yang dirasakan Bawuk. Ia menunduk lesu. Berjalan gontai. Ia menuju warung langganan dengan muka lunas ditekuk. Tidak ada senyum. Tidak ada kebahagiaan. Murung. Sedih. Sedu sedan.
“Kenapa toh mukamu kok lungset banget?” tanya salah seorang pelanggan setia warung kopi.
“Ndak. Ndak kenapa-kenapa,” jawab Bawuk datar.
“Loh kok murung dan lungset gitu?” sergah yang lain.
“Pulang dari masjid mustinya ya sumringah, ini malah mukanya amburadul,” yang lain menimpali ikut-ikutan.
Bawuk diam. Ia memainkan ujung sajadah yang diselempangkan di pundaknya. Sesekali ia menyapu pandangan ke sudut-sudut warung kopi. Tatapan nanar, seolah menerawang persoalan yang jauh sekali.
“Ini kopinya diminum dulu, Wuk,” Yu Patmi menyodorkan segelas kopi.
Bawuk hanya mengangguk, tidak berkata-kata sama sekali. Ia masih njegidek dan tak berkutik. Perwakannya yang tinggi gempal dan cenderung gemuk membuatnya sekilas nampak seperti beruang kutub yang sedang kedinginan. Menggingil.
Jelas sekali. Seisi warung juga tahu nampaknya Bawuk sedang memanggul kesedihan yang teramat. Bawuk barangkali sedang memiliki problem yang begitu dahsyat, namun ia enggan menceritakannya.
“Mbok ya kalau punya masalah itu cerita. Soal opo to? Soal keluarga?” Yu Patmi mencoba memancing.
Bawuk menggeleng.
“Lha terus? Soal Indonesia? Soal Negara? Pemerintah?” Yu Patmi mencoba menebak-nebak.
Nihil. Bawuk tetap menggeleng.
“Masjid,” kali ini Bawuk angkat bicara.
Semua mata tertuju pada Bawuk. Masing-masing dengan tatapan yang serius dan menusuk. Seisi warung seolah bertanya, ada apa lagi dengan Masjid? Toh kegiatan berjalan lancar. Rutinitas masih berjalan dengan baik. Azan juga tetap istikamah. Lalu apa lagi? Demikian kira-kira yang ada di benak orang-orang yang ada di warung Yu Patmi.
“Makin hari makin sepi,” Bawuk membuka suara.
“Lha ya mesti to, Wuk. Sekarang kan musim panen. Orang sibuk ke sawah dan bekerja. Mereka kan ya butuh makan buat menyambung hidup. Masa orang disuruh nongkrong iktikaf di masjid terus,” Yu Patmi menceramahi Bawuk.
“Aku belum selesai, Yu. Yang sepi itu pemuda dan anak-anaknya. Kalau yang tua-tua sih masih stabil. Remaja masjidnya ini lho yang kian hari kian nyusut”
“Nyusut bagaimana?”
“Ya berkurang. Malah beberapa bulan terakhir saya pikir beberapa kegiatan sudah mati suri. Dziba’an sudah ndak jalan. Srokalan sudah tidak dilakukan. Ini kan bahaya,”
“Memangnya pada kemana to larinya mereka?”
Bawuk diam. Yu Patmi juga diam. Tidak ada yang bersuara di dalam warung itu. Hening. Sunyi. Senyap.
Masing-masing sibuk dengan kecamuk pikirannya. Sebagian ada memainkan gelas kopinya. Memiringkan ke kanan dan ke kiri. Sebagian yang lain ada memegangi dagu. Mengelus-elus jenggot. Semuanya berpikir dan menebak-nebak kenapa anak-anak semakin menjauh dari Masjid.
“Mereka pasti kecanduan internet. Saya lihat dari kemarin warnet-warnet berjubel anak-anak muda,” kata salah seorang.
“Internet itu apa to?” Yu Patmi bertanya dengan lugunya.
“Itu lho alat yang buat nyari-nyari informasi”
“Informasi apa?”
“Ya apa saja. Pokoknya semuanya ada di sana informasinya”
“Lho lho lho. Ampuh sekali internet ini, melebihi dukun. Berarti bisa dipakai untuk mencari sapi saudaraku yang hilang kemaring dong? Soalnya kemarin sudah pergi ke Mbah Roso, dukun kesohor dari kampung sebelah itu, tapi tetep ndak ketemu”
“Bisa. Nyari apa saja bisa pokoknya. Bahkan sesuatau yang ndak ada di Al-Quran, di internet bisa dicari dan ditemukan,” jawab salah seorang yang ada di warung itu.
Bawuk nyengar-nyengir melihat percakapan yang membahagiakan itu. Betapa kegembiraan itu bisa dengan sederhana, mudah, dan murah didapatkan. Obrolan seperti itu adalah obrolan sehari-hari yang tanpa disadarai bisa mengendurkan otot-otot yagng tegang, menurunkan potensi stres dan membuat perut semakin terguncang karena humor yang demikian segar dan lucu bukan kepalang.
Suasana warung menjadi ramai dan riuh. Masing-masing menggenggam pemahaman, bayangan dan juga imajinasiya sendiri-sendiri soal internet.
Sebagai manusia yang bukan tergolong genarasi milenial yang kenal gawai belakangan ketika usianya sudah menjelang setangah abad, mereka terbang dengan imajinasinya masing-masing. Betapa dahsyatnya makhluk bernama internet ini.
Bawuk hanya diam. Ia senyum-senyum sendiri. Di benaknya sudah tersusun sebuah ide untuk meramaikan dan memakmurkan masjid. Ya, ia akan menguslkan kepada pengurus masjid agar mereka memasang hot spot dan wi fi dengan kecepatan akses yang dashyat di masjid. Dengan demikian niscaya masjid akan menjadi ramai.
Tentu saja tidak semua orang bisa mengakses dan menggunakan wi fi itu. Bawuk sudah melengkapi bayangan rencananya itu peraturan bahwa yang menggunakan wi fi harus terdaftar sebagai remaja masjid. Kata sandi didapatkan setelah pengguna ikut salat berjamaah. Kata sandi otomatis setiap hari diganti lima kali sesuai dengan pelaksanaan salat lima waktu.
“Kita harus kerja sama dengan penyedia jasa internet,” Bawuk berseloroh.
“Maksudmu, Wuk?”
“Ya kita harus kerja sama dengan Telkomsel atau Indosat atau apalah yang penting mereka mau menyediakan jaringan ineternet di Masjid,”
“Lho lho lho. Beneran idemu ini? Nanti dimarahin sama pengurus Masjid lho. Masa masjid dipasangi internet?”
“Pengurus Masjid pasti setuju ideku. Mereka paham kaidah fikih kok. Kaidahnya kan jelas seburuk-buruknya cara untuk memeroleh tujuan yang baik itu dimaafkan, sebaliknya sebaik-baiknya cara untuk memeroleh sesuatu yang buruk itu tidak akan pernah dibenarkan. Katakanlah kalau internet ini buruk, tapi kan tujuannya baik. Untuk memakmurkan masjid,” Bawuk berceramah.
“Oh Begitu ya. Kalau begitu nanti kira-kira kalau sudah terwujud jaringan internetnya di Masjid enaknya nama Masjid kita diubah saja,”
“lho lho. Jadi apa?”
“Yang kekeinian. Misalnya Masjid Jami telkomnet Instan atau Masjid Raya Speedy.”
Derai tawa berhamburan dan cahaya kebagaiaan memancar dari warung yang letaknya di pojokan jalan itu.