Sedang Membaca
Pajangan dan Bacaan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pajangan dan Bacaan

Ensiklopedi Nasional Indonesia2

Tulisan sehalaman buatan Sri Rubiatin di majalah Femina edisi 5 April 1983 merekam gengsi keluarga-keluarga mapan di Indonesia. Gengsi dipengaruhi ensiklopedi.

Sri Rubiatin berkunjung ke rumah teman setelah lama tak berjumpa. Kunjungan ke rumah di kawasan elite. Deskripsi pengalaman berada di ruang tamu: “Suasana rumahnya cukup menyenangkan, perabot yang terpajang di sana-sini lux dan teratur indah. Di salah satu sudut ruang tamu yang cukup luas, terpampang sebuah lemari kaca berukir. Dalam lemari tersebut berderet beberapa set ensiklopedi berbahasa asing. Sepintas lalu, dekorasi ruang tamu terasa lengkap.”

Ia terpukau dengan lemari berisi ensiklopedi. Lemari menandakan ada bacaan. Lemari memuat pengetahuan apa saja. Berdiri di depan lemari, ia membaca judul dan menghitung. Lemari itu menjadikan ruang tamu menimbulkan kesan-kesan keintelektualan.

Kagum memandang hal-hal di ruang tamu bercampur ragu. Si teman saat masih remaja diketahui tak suka buku-buku tebal atau pengetahuan. Dulu, si teman suka membaca komik. Pada saat menjadi istri dan menghuni rumah di kawasan elite, kehadiran ensiklopedi menimbulkan penasaran. Si teman telah bertambah usia dan pengalaman mungkin berubah dalam selera bacaan.

Penasaran terjawab: “Benarkan kini ia telah berubah? Rupanya ia telah menyenangi buku-buku sejenis itu. Terlontar juga pertanyaan itu dari bibirku. Apa jawabnya? Sangat mengecewakan saya. Katanya, insinyur anu, tetangga kanan-kirinya, semua sudah memiliki ensiklopedi. ‘Lagi musim. Masa mau ketinggalan?’ komentarnya. Akan merasa minderlah jika tak memilikinya. Ya, sekadar pajangan. Lagipula, ruang tamu akan lebih berwibawa.”

Baca juga:  Kuntowijoyo Memantik Geliat Politik Umat

Bertamu telah terjawab ragu. Si tamu kecewa. Pembuktian bahwa keluarga-keluarga mapan di Indonesia belum tentu keluarga-buku atau keluarga berpengetahuan. Ensiklopedi telah difungsikan untuk gensi. Ensiklopedi ditata rapi, tak perlu dibaca. Ensiklopedi berbahasa asing adalah pemandangan.

Sri Rubiatin mulai merenungi diri. Ia tak mampu membeli satu set ensiklopedi berbahasa asing atau Indonesia. Mahal! Ia hidup dalam keluarga sederhana. Ensiklopedia belum kebutuhan wajib.

Renungan dituliskan mengandung ironi: “Ah, kasihan sekali para penyusun buku-buku tersebut. Bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun mengumpulkan data dan informasi untuk menyusun ensiklopedi. Untuk itu, diperlukan banyak para ahli dan tentunya banyak biaya yang keluar. Bayangkan, berjuta-juta informasi yang dapat kita temukan di dalamnya. Kalau pada akhirnya hanya menjadi penghuni lemari kaca untuk sekadar pajangan, sia-sialan kerja para ahli tersebut.” Tulisan di majalah Femina mengandung kemarahan. Ensiklopedi bernasib apes di Indonesia! Kita membaca untuk mengingat masa 1980-an memiliki bab ruang tamu dan pajangan ensiklopedi.

Pengalaman melihat deretan ensiklopedi asing di rumah teman mungkin bisa ditambahi kesebalan bila keluarga-keluarga mapan itu sengaja tak mengoleksi ensiklopedi berbahasa Indonesia. Mereka mungkin saja tak mengetahui bila di Indonesias sudah ada ensiklopedi. Buku tebal sekian jilid. Ensiklopedi selalu tebal mengesahkan mutu. Ensiklopedi juga berat mengesankan bukan bacaan ringan.

Pada 1985, terbit Ensiklopedi Indonesia. Ensiklopedi tujuh jilid terbitan Ichtiar Baru van Hoeve. Kita simak keunggulan Ensiklopedi Indonesia diinginkan dikoleksi dan dibaca publik: “penunjuk judul halaman, mempermudah mendapatkan informasi yang diperlukan; gambar-gambar, tidak hanya sekadar hiasan tetapi berperan sebagai penunjang uraian bersangkutan; halaman-halaman ensiklopedi, disajikan dengan sarana teknik cetak yang bermutu.”

Baca juga:  Inilah Ulama Jawa Pertama yang Menulis Kitab Berisi Menolak Wahabi

Penerbitan tujuh jilid Ensiklopedi Indonesia dilengkapi “Prospectus”. Pengumuman mengandung penjelasan dan berita agar ensiklopedi menjadi bacaan penting di Indonesia. Ensiklopedi itu mahal. Kemasan dengan sampul tebal sudah mengabarkan harga. Pembeli ensiklopedi pasti kaum berduit. Sekian institusi dan perpustakaan membeli untuk menambahi koleksi. Ensiklopedi dimaksudkan sebagai bacaan-referensi untuk mengetahui beragam hal.

Petikan berita penting tersimak saat abad XXI mulai menepikan ensiklopedi edisi cetak. Berita lama mengingatkan Indonesia dan ensiklopedi. Di Kompas, 17 Juli 1985: “Presiden Soeharto pada Selasai pagi di Bina Graha menerima satu set Ensiklopedi Indonesia dari Direksi PT Ichtiar Baru van Hoeve. Ensiklopedi yang disusun dalam tujuh jilid tersebut, terdiri atas lebih dari 4.000 halaman dengan hiasan gambar hitam-putih dan lebih 200 halaman gambar berwarna tentang geografi, anatomi, botani, kebudayaan, olahraga, dan sebagainya.”

Di Sinar Harapan, 5 Maret 1985: “Selesainya penerbitan Ensiklopedi Indonesia dalam tujuh jilid bukan saja merupakan peristiwa penting bagi bidang penerbitan dan perbukuan di Indonesia sebagai prestasi yang mengesankan baik dari sudut redaksional maupun teknis percetakan.” Pujian terberikan atas kerja besar perusahaan di Indonesia dan penerbitan di Eropa. Kerja membuat ensiklopedi belum bisa dikerjakan sendirian di Indonesia. Pihak redaksi sengaja mengumumkan ensiklopedi di tajuk rencana gara-gara penting: “… kita menganggapnya sebagai peristiwa penting bagi masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilalukan begitu saja.”

Baca juga:  Manuskrip al-Qamus al-Muhith wa al-Qabus al-Wasith Karya Fairuzabadi di Madura

Peristiwa terberitakan di Sinar Harapan dan Kompas menimbulkan dugaan bahwa Ensiklopedi Indonesia dikoleksi di Bina Graha atau rumah beralamat di Jalan Cendana. Kita tak usah kebablasan dengan menuntut Soeharto rajin membuka Ensiklopedi Indonesia. Kewajaran adalah penataan Ensiklopedi Indonesia di lemari menghasilkan pemandangan elok. Pemandangan berselera pengetahuan. Pemuatan berita, tajuk rencana, dan foto di dua koran nasional memastikan ensiklopedi itu bacaan. Ensiklopedi juga pajangan.

Ensiklopedia Indonesia terbit setelah Sri Rubiatin kecewa memandang pajangan ensiklopedi berbahasa asing dikoleksi di rumah teman. Ensiklopedi mungkin selera Amerika atau Inggris.

Kita masih mengingat ensiklopedi dan gengsi. Gantian membuka novel berjudul Gali Lobang Tutup Lobang (1977) gubahan Remy Sylado. Cerita berlatar di Filipina. Si tokoh bernama Djeki berkunjung ke rumah pengusaha asal Indonesia agak sukses di Filipina. Deskripsi di ruang tamu: “Satu-satunya dinding yang tidak digantungi lukisan cuma dinding batas huruf L tadi. Di situ ada rak buku yang sangat besar. Di atasnya ada beberapa buku yang gampang ditebak, yaitu rentetan ensiklopedi yang Britannica dan yang Americana.” Di rumah orang berduit atau terpandang, deretan ensiklopedi penting agar para tamu kagum dan berimajinasi rumah itu berpengetahuan. Ensiklopedi tetap pajangan bukan bacaan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top