Waru-waru dhoyong
Ambruke ngetan-ngulon
Ngetan…ngulon…
Ngalor…ngidul…
—tembang dolanan
Selalu ada yang menarik dari suasana pasar atau pun mal di hari ini. Di pasar kita dapat menyaksikan banyak orang berlalu-lalang dan banyak barang yang disajikan. Kita bertemu, berpapasan dengan banyak orang dari berbagai latar-belakang. Kita pun menyaksikan berbagai barang dipajang dengan berbagai pilihan.
Dua situasi pada satu ruang itu adakalanya membuat kita lalai tentang apa yang menjadi niatan awal kita. Seumpama dari rumah kita berniat membeli sirih, tak tertutup kemungkinan kita bertemu kawan lama yang menawarkan pisang dagangannya. Paling tidak, andaikata tak membeli pisangnya, kesadaran kita terjeda oleh kabar dan omongan kawan lama tersebut.
Konon, memang demikianlah hidup itu, selalu penuh pikatan dan mengundang rasa kemelekatan. Pasar sesungguhnya merupakan kiasan demokrasi yang sebenarnya. Di pasar, otonomi diri seolah diberi ruang. Kita dapat menimbang, menawar, dan menentukan pilihan. Tetapi di mal, segala sesuatunya telah ditentukan. Yang dapat kita lakukan hanyalah mengikuti segala ketentuan itu atau menjadi penonton semata untuk kemudian pulang tanpa mencicipi dan membawa barang.
Dalam hal ini mal dapat menyingkap sisi gelap modernitas. Otonomi diri, kebebasan, dan pilihan yang ditawarkan oleh modernitas sebenarnya hanyalah ilusi. Andaikata semua branding modernisme tersebut—otonomi diri dan kebebasan—diakui tentu kita dapat menawar barang. Tapi nyatanya tidak, segala sesuatunya telah ditentukan, diatur sedemikian rupa seolah-olah kita benar-benar otonom, bebas, dan banyak pilihan.
Adakah ketika segala sesuatunya telah ditentukan dapat disebut sebagai demokratis? Adakah ketika manusia dikonstruksikan sedemikian rupa sebagai bocah, yang tak dapat menentukan dan memutuskan hidupnya sendiri, layak disebut sebagai demokrasi?
Modernisme memang telah sesat pikir sejak awal pembentukannya. Ia beranjak dari klaim tentang otonomi diri dan kebebasan yang tak diberi ruang oleh abad pertengahan. Tapi kenyataannya ia justru mengungkung dan mengerdilkan manusia yang jauh lebih parah.
Pada kasus abad pertengahan jelas pengungkungan itu bersifat terbuka dan tersurat. Tapi pada abad modern pengungkungan itu berlangsung tertutup dan tersirat.
Paradoks modernisme tampak vulgar mengemuka ketika menyangkut wilayah keagamaan. Banyak orang yang mengklaim sebagai modern dan modernis, tidak jarang hanyalah sekelompok orang bingung yang tersandung berbagai kontradiksi.
Di satu sisi mereka berapi-api mengikuti apa yang mereka klaim sebagai “kemajuan zaman.” Tapi di lain sisi mereka ingin kembali ke akar, kembali ke Alquran dan Sunnah, kembali ke masa silam yang dibayangkan lebih suci dan gemilang.
Akar atau radix, yang merupakan akar kata radikalisme, menjadi klaim yang menyiratkan kekalahan dan mentalitas budak atas lajunya peradaban yang dipandang bobrok. Segala bentuk radikalisme keagamaan memang beranjak dari ideal semacam ini. Mau berdandan seperti apapun selama pola pikir “kembali ke akar” tetap bercokol, selama itu pula radikalisme menemukan titik denyutnya.
Di hari ini kita banyak menyaksikan orang berjenggot, bergamis, dan bercadar keluar-masuk dan berlalu-lalang di mal. Barangkali mereka telah lupa bahwa mal—seperti halnya liberalisme dan demokrasi—adalah produk kapitalisme yang dahulu mereka tuding sebagai bagian dari thagut yang harus dienyahkan. Ini bukan soal penilaian cara berpakaian, tapi simbol itu mau tidak mau menggiring kepada “gerakan kembali ke Alquran dan Hadis” yang mereka tafsiri: perempuan ditutup serapat-rapatnya, keluar rumah dengan mahram.
Tentu, mereka bukanlah kaum yang asal berbuat tanpa dalil yang melatarinya. Barangkali, kini mereka telah menemukan payung baru dan biru nan damai. Sebilah payung yang menjadi pegangan kalangan modernis: “fastabiq al-khairat.” Dan memang, sejarah telah menubuahkan bahwa mereka satu semangat: kembali ke Alquran dan Sunnah. Jargon yang dijumput dari penggalan ayat itulah yang dapat menjelaskan bagaimana mereka yang notabene dikenal radikal dapat melakoni hidup yang kontradiktif.
“Fastabiq al-khairat” menyiratkan semangat berkompetisi yang merupakan langgam khas kapitalisme. Melalui penggalan ayat itu kita dianjurkan untuk senantiasa berlomba, namun dalam hal kebaikan. Tentu, semangat perlombaan adalah semangat pertandingan, peperangan, permusuhan. Tapi pertanyaan yang acap luput mereka pikirkan, bagaimana pertandingan itu dapat berjalan sehat tanpa adanya kelicikan, tanpa berlakunya hukum rimba liberalisme-kapitalisme: the survival of the fittest?
Bagaimana mungkin seorang petani atau tukang becak yang dalam sebulan hanya berpenghasilan satu jutaan rupiah, dapat bersaing, meski dalam hal kebaikan, dengan kalangan eksekutif yang dalam sebulan berpenghasilan di atas sepuluh juta?
Bagaimana mungkin tanpa adanya kesetaraan orang disuruh untuk berlomba, meski dalam hal kebaikan? Lantas bagaimana menemukan keterkaitan logis sekaligus praksis liberalisme-kapitalisme berbaju agama itu dengan semangat tolong-menolong yang konon menjadi semangat Islam?
Pun, bagaimana menemukan keterkaitan logis sekaligus praksis “fastabiq al-khairat” dengan rukun Islam yang keempat yang menyiratkan watak sosialistik Islam: zakat? Lebih lanjut, kenapa yang justru dijadikan identitas pokok agama Islam adalah justru perintah untuk berzakat (sosialisme) daripada berlomba-lomba (liberalisme-kapitalisme)—meski dalam hal kebaikan?
Ketika berkunjung ke Mangli, Kaliangkrik, Magelang, saya berkesempatan bercengkerama dengan seorang santri generasi pertama KH. Hasan Asykari atau akrab disapa Mbah Mangli, yang tidak saya sebutkan namanya. Dari lelaki yang kini berusia 95 tahun itu saya mendapatkan kesaksian seputar kiai Mangli yang terkenal angker dan berwibawa tersebut.
Mbah Mangli, kata lelaki yang telah nyuwita (mengabdi) sejak sebelum khitan itu, terkenal dengan kemampuannya untuk mengetahui gerak-gerik hati para tamunya. Acap ketika para tamu belum mengucapkan niat kedatangannya, Mbah Mangli sudah memberikan dhawuh terlebih dahulu. Kepekaan batin semacam ini mengingatkan saya akan sebuah pepatah bahwa seorang yang telah benar-benar hamba adalah orang yang sudah menjalankan sebelum diperintahkan.
Saya pun berkesempatan menyeksamai berbagai ornamen yang terpampang di dinding pusara sang sufi. Di antaranya saya melihat doa sapujagad di sana, salah satu wirid yang diwariskan Mbah Mangli pada lelaki sepuh itu, sebuah doa yang menyiratkan bahwa titik awal menentukan titik akhir, bahwa di sini dan di sana sudah tiada beda. Saya pun teringat salah satu prinsip tarekat Naqsyabandiyah di sini, perihal khalwat dar anjuman, bersunyi dalam keriuhan.
Pasar yang riuh, ruang berbagai kepentingan bersilang-sengkarut, memang selalu unik dan menarik untuk dijadikan pembelajaran. Hanya di pasarlah berbagai kepentingan atau niatan menjadi bolak-balik dan tindih-menindih.
Maka benarlah al-Ghazali, yang pernah dihakimi kalangan modernis sebagai biang kemerosotan peradaban Islam, ketika menyitir dhawuh kanjeng nabi perihal qalbu yang senantiasa taqalluban, “bolak-balik.”
Hati yang tak jejeg
Yang terbolak-balik
Ke Timur…ke Barat…
Ke Utara…ke Selatan…