Saat ini, kita tidak membutuhkan Kiai atau penerus Islam yang hanya tau berdoa di depan masyarakat… Saya melihat santri memakai sarung murah, itupun hasil dari pemberian orang, tidak dicuci selama empat bulan… Saat ini kita membutuhkan santri dan kiai yang bisa menguasai post-post tertentu di Indonesia, baik itu sebagai bupati, gubernur, presiden, dan pengusaha… Kiai saat ini membutuhkan lebih dari sekedar hanya bisa berdoa di acara tahlilan, slametan, dan lain sebagainya.. (K. Said Aqil Siraj, 04, Mei 2019). Pidato tersebut disampaikan di acara wisuda kelas akhir MA di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Jakarta Selatan.
Di atas merupakan sebagian kecil fieldnotes yang saya hasilkan sejak dari awal April hingga akhir Mei 2019 di Pesantren luhur Al-Tsaqafah. Sebagai antropolog, saya selalu teringat pesan Evans-Pritchard bahwa, “Seorang antropolog harus menjadi “penerjemah” yang bagus dari pengamatan dan wawancara.” Dalam pengamatan saya selama di pesantren tersebut, saya terdorong untuk menyesuaikan keyakinan dan harapan dalam mengekplorasi makna yang disampaikan dan berkomitmen untuk menerima segala konsekuensi dari investigasi saya selama di Pesantren Luhur Al-Tsaqafah.
Apa yang disampaikan Said Aqil Siroj di hadapan para santri, guru, dan wali santri, serta umat Islam lainnya yang hadir menimbulkan pertanyaan besar bagi saya, apakah mungkin kebangkitan pesantren dalam menguasai birokrasi memberikan jalan reformasi ekonomi sekaligus restrukturisasi politik dalam konteks negara dan global? Dan apakah santri yang dibekali tujuan seperti di atas dapat berkontestasi tanpa mencabut akar genuine tradisi pesantren yang kental dengan kehidupan spiritual keagamaannya?
Jika melihat dari tulisan Talal Asad (2007) dalam “Explaining The Global Religious Revival”, dia mempertanyakan apakah kebangkitan agama global dihasilkan oleh ketidakpastian ekonomi, kegagalan politik, ketidakstabilan sosial? kecenderungan berfikir dan perasaan di atas diarahkan melalui symbol ritual dalam melegitimasi keteraturan dunia. Asad menamakan konsep ini sebagai spiritual ‘economies’ sebagai titik konvergensi antara kebangkitan agama global dengan globalisasi ekonomi. Nyatanya terdapat banyak khas keagamaan baik dari ritual, kepercayaan, variasi aktivitas, dan ajaran, salah satunya adalah pesantren dalam tubuh Islam sendiri. Hal ini yang menjadi penegasan identitas yang terjadi melalui proses penafsiran terhadap modernisasi akhir-akhir ini.
Ekonomi spiritual melibatkan upaya untuk menghubungkan kesalehan agama individu dengan proyek-proyek transformasi dan pembangunan ekonomi. Daromir Rudnyckyj (2009), melihat ekonomi spiritual bertujuan untuk menangkal perubahan tujuan korporat dari misi sosial ke misi bisnis dengan melatih individu-individu baik sebagai kepala perusahaan maupun tenaga kerja untuk mencanangkan ajaran agama (islam?) di level sosial-ekonomi.
Ada begitu banyak penelitian tentang pesantren baik ditinjau dari persoalan pendidikan, kelembagaan, modernisasi, kekuatan politik, pesantren urban, dan lain sebagainya. Tulisan etnografi singkat ini berlatarbelakang pesantren yang dibangun oleh ketua PBNU yang bernama K. Said Aqil Siroj dengan modal ketokohan. Berbeda dengan pesantren pada umumnya, di mana pesantren lain khususnya di daerah biasanya lahir dan tumbuh secara alami melalui proses panjang dari kepercayaan masyarakat sekitar melalui proses penitipan anak kepada seorang Kiai yang alim kemudian melahirkan suatu yayasan untuk memfasilitasi keilmuan keagamaan sebagai kebutuhan dasar dari santri itu sendiri.
Fenomena di pesantren Luhur Al-Tsaqafah berbeda dengan model pesantren yang telah disinggung di atas. Pesantren ini memang sengaja dibangun sejak tahun 2011 dan disahkan pada tahun 2013 dalam memanfaatkan ketokohan seorang Kiai NU untuk daya tarik kepada masyarakat yang ingin menimba ilmu kepada beliau. Pada tahun 2013 santri periode pertama sengaja di datangkan dari Pesantren Kempek, Cirebon sebagai resources kegiatan awal pesantren, pada periode berikutnya hingga saat ini terdapat banyak santri yang datang dari Jawa dan Jakarta. Pesantren ini memfasilitasi tidak hanya lokal keilmuan yang khas, tetapi juga dengan tujuan nasional dan global (as goal orientation), dalam memproduksi santri birokrat seperti yang selalu dikatakan oleh K. Siraj dibeberapa pidatonya.
Kasus ini bagi saya menjadi anti tesis dari pemikiran Max Weber (1930) dalam bukunya Spirit of Capitalism and Protestant Ethic tentang hubungan antara ascetic protestantism dengan kapitalisme. Jika umat protestan dulu hidup dengan keraguan apakah mereka salah satu orang yang terpilih (the chosen one) atau bukan, maka mereka menjadikan spirit kapitalisme sebagai ideologi keagamaan dalam mencari tanda tersebut. Oleh karena itu umat protestan menggunakan materiality sebagai medium menuju the chosen one.
Sebaliknya Pesantren Luhur Al-Tsaqafah menjadikan spiritual keagamaan sebagai proses pendisiplinan dalam tujuannya yang cendrung materi (birokrat). Terdapat sekolah formal dari SMP dan SMA, K. Idris (ketua pondok) menjelaskan bahwa pesantren ini berdiri berbasis NU, tradisi ahlussunnah wal jama’ah seperti solawat rutin kepada Nabi Muhammad dan kitab kuning seperti Burdah karya Al Bushiri menjadi kegiatan wajib di pesantren.
Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java (1976) tentang ‘variasi simbol’, sejak awal santri dan pesantren sebagai representasi realitas dari spiritual yang dibangun melalui mood and motivation. Selain itu Victor Turner dalam bukunya“The Ritual Processes”, fungsi simbol menjadi penting sebagai vehicle of social process dalam upayanya untuk menyelesaikan berbagai konflik, kontradiksi dan ambivalensi. Logika simbol seperti yang diungkapkan Turner searah dengan kebangkitan agama pada umumnya melihat modernisme sebagai persoalan hidup dan kebangkitan agama sebagai jalan keluar untuk mengontrol dunia. Namun sepertinya pesantren Luhur Al-Tsaqafah memiliki jalan lain, yaitu menciptakan imajinasi birokrasi sebagai tujuan akhir dari santri.