Sedang Membaca
Ali Sadikin, Jakarta, dan Kepemimpinan

Penulis Lepas/Pegiat Lingkar Diskusi Ekonomi Sembagi Arutala Surakarta dan Telapaksimak.com

Ali Sadikin, Jakarta, dan Kepemimpinan

Bang Ali (majalah Tempo Dan Memoar Ramadhan Kh) (1)

Di sebuah tempat warung kopi, kami berbincang mengenai kepemimpinan dan sekelumit peristiwa memilukan di bawah kolong Ampera. Tiba-tiba menyeruak lagu gubahan Sheila Majid. Adalah Antara Anyer dan Jakarta. Lagu itu romantis, namun benak tertuju pada diksi Jakarta, bukan ‘tiga malam’ ataupun ‘dua insan’. Mafhum, sejurus dengan perbincangan, sekelibat wajah Ali Sadikin muncul dalam bayang kala dipaksa Sheila Majid mengingat Jakarta.

Ali Sadikin, tokoh penting yang namanya selalu harum bila kita memperbincangkan Jakarta. Di sela-sela penampilannya yang selalu rapi, rambut yang klimis dan perawakan yang segar, dan air mukanya yang tegas tersirat sekelumit kisah antara Jakarta dan Ali Sadikin.

Jakarta kota tua yang menampik untuk lekang. Kota itu terus bertumbuh dengan pernak-pernik kota yang gilang-gemilang, komponen teknologi kota yang lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya, di tambah kota itu yang selalu jadi sorotan, lantaran singgah pelbagai macam kepentingan dari politik sampai urusan sepiring nasi.

Di antara bangunan tower yang menjulang atau klakson kendaraan yang saling membalas, di tengah-tengah ramainya kota tersebut Jakarta seakan memberi ingatan kepada Ali Sadikin. Bukan untuk tujuan hiperbolis, Ali Sadikin dapat menjadi contoh atas keyakinan yang ia miliki atas kepiawainnya merombak Jakarta.

Di saat Ali Sadikin ditunjuk sebagai gubernur DKI Jakarta, sorot mata penuh antusias menantikan sosoknya. Membenahi jalanan Jakarta yang belum mulus, permasalahan sampah yang menggenang sungai dan jalanan Jakarta dan manusia-manusia yang kurang beruntung menguji nasib di tanah Jakarta.

Pada medio 1966-1977 Ali Sadikin sempat memimpin Jakarta. Ia memimpin Jakarta selama dua periode. Etape kepemiminan Ali Sadikin saat UU. No. 10 Tahun 1964 baru diketuk, di mana Jakarta menjadi Ibu Kota Negara. Keberadaan kota itu, diharapkan berkembang menjadi kota metropolit yang di belakangnya terdapat tugas nan cukup berat untuk membikin kota itu cukup layak menyandang ibu kota negara.

Baca juga:  Ulama Banjar (173): Muallim H.M. Syaukani, Lc

Mafhum, pada awal 1966 merupakan medio yang cukup genting. Kondisi ekonomi yang mengalami kekacauan ditandai dengan harga pokok yang tidak terjangkau, ditambah gerombolan masa aksi yang menyuarakan kritik cukup pedas atas dinamika sosial waktu itu yang cukup muram. Ali Sadikin menghadapinya dengan perhitungan yang mantap dan terukur.

Pada April 1966, Ir. Soekarno menunjuk Ali Sadikin sebagai gubernur DKI Jakarta. Ia percaya pria pelaut itu dapat menenteng beban yang tak enteng untuk merombak Ibu Kota Jakarta menjadi gilang-gemilang. Mafhum, Ali Sadikin jebolan militer Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Periode awal kepemipinannya digunakan untuk menelusuri hiruk-pikuk Jakarta. Mengunjungi bantaran kali, membolak-balik kertas di kantor Statistik, mengendus pekat urbanisasi di Jakarta, dan menyerap hal apapun yang berkaitan dengan DKI Jakarta.

Jakarta sejak dari dahulu, menjadi rujukan untuk mengadu nasib. Terlihat pada medio kepemimpinan Ali Sadikin, kota itu sudah pepat dengan tetek bengeknya. Muncul permasalahan ketika kota itu menjadi rujukan oleh manusia Indonesia dari berbagai macam daerah. Ketimpangan, hunian layak dan membikin sisi kota tertata dengan rapi.

Ramadhan KH merekam Ali Sadikin. Pada buku gubahannya berjudul Bung Ali (Pustaka Sinar Harapan, 1992), Ramadhan KH membikin pembaca lebih dekat dengan Ali Sadikin saat memerintah Jakarta. Mochtar Lubis dalam tanggapannya yang tersirat di belakang buku, penuh percaya diri, “Jika saya menjadi presiden republik ini, maka buku biografi Ali Sadikin akan saya utus rakyatku untuk membaca buku ini.”

Baca juga:  Muasal Istilah “Tebak-Tebak Buah Manggis”

Ketika Ali Sadikin tuntas melakukan pembacaan kota, muncul sebuah pertanyaan mengenai anggaran yang bisa digunakan untuk menyulap daerah yang sering banjir, area kumuh yang membikin merintih, dan estetika kota agar pelancong jadi senang bila singgah di Ibu Kota negara itu.

Ali Sadikin sempat terkesiap kala wakil gubernurnya H.Sapi’e menjawab jumlah anggaran hanya Rp. 66 juta rupiah untuk memberdayakan Ibu Kota Negara itu yang galibnya jadi sorotan. Syahdan, bang Ali memutar akal untuk menghasilkan banyak pendapatan.

Kala itu UU No. 11/1957 dibaca lamat-lamat oleh bang Ali. Seperti tersengat setrum, alhasil ia bergumam, eureka! Aturan itu alhasil mengucurkan banyak penghasilan pendapatan daerah. Melalui aturan itu memungkinan untuk memungut pajak melalui izin perjudian. Pemerintah Kota Praja Jakarta waktu itu menganggap bahwa judi sebagai bagian dari budaya China. Syahdan, pada era Ali, sangat lekat dengan lokalisasi perjudian yang sudah tertata cukup rapi.

Dua pengusaha pentolan bernama Apyang dan Yo Put Shong diberikan izin oleh pemerintah Jakarta untuk mengelola sektor perjudian. Melalui tangan terampil dua pengusaha itu, pelbagai jenis perjudian muncul. Adalah judi lotto, petak sembilan, dan hwa hwe kemudian menyeruak. Kerlap-kerlip ruang perjudian membikin konsumen manapun untuk mencicipi. Timbullah kritik dari pelbagai sisi, sampai-sampai Ali Sadikin di cap sebagai Walikota Judi. Ali menanggapi dengan kepala dingin, ia berfokus kepada rakyat dan kota Jakarta.

Baca juga:  Esais Muda Pesantren (4): Kiai Asa’d di Abad 21: Sebuah Relikwi Sejarah atau Inspirasi Bangsa?

Dalam edisi khusus majalah Tempo (19 Agustus 2000) terselip artikel penting menyuguhkan kisah Ali Sadikin berjudul Bang Ali, Legenda Jakarta. Kisah demi kisah membikin dirinya terpatri di setiap gilang-gemilang Jakarta. Adalah Taman Monumen Nasional (Monas), Taman Ismail Marzuki, Gedung Arsip Nasional, Gelanggang Remaja Kuningan, Pasar Seni Ancol, Sekolah Atlet Ragunan sampai Proyek Muhammad Husni Tamrin. Bangunan-bangunan itu ulah Bang Ali.

Kesuksesannya dalam memimpin Jakarta menggelegar keluar Jakarta. Sebuah penghargaan Raymond Magsaysay 1971 disematkan untuk Ali Sadikin atas pengaruhnya dalam menyulap Jakarta. Memimpin itu bukan perkara enteng. Pelik dan membutuhkan kesabaran ekstra.

Leiden is lijden (Memimpin itu Menderita) kurang lebih seperti itu adagium ikonik dari H. Agus Salim. Buku menggusur dan membangun diterbitkan oleh yayasan Idayu (1977), tersirat gelisah pada air muka Ali. Ia harus berhadapan dengan penggusuran guna merombak kota agar rapi. “Setiap saya memerintah penertiban hati nurani saya merintih.” Namun dia tetap melakukan penertiban guna membikin Jakarta yang tertata dan untuk Jakarta yang lebih baik, disamping luapan cacian yang menghujamnya.

Setiap masa ada tokoh, dan setiap tokoh ada masanya pula. Bang Ali memberi pengajaran bagi kita untuk menilik bagaimana pentingnya komitmen, keberanian dan pengorbanan seorang pemimpin. Begitulah kiranya, seorang jawara bernama Ali Sadikin yang menyebabkan diksi Jakarta tak luput dari namanya. Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top