Sedang Membaca
Di Tengah Wabah Corona, Kedermawanan Saja Tidak Cukup
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Di Tengah Wabah Corona, Kedermawanan Saja Tidak Cukup

1 A Kata Data

Seiring dengan pandemi corona yang semakin meluas, sejumlah kalangan mengkritik kelambanan pemerintah Indonesia dalam menangani hal ini. Pada awalnya Menteri Kesehatan malah jumawa, memperlihatkan kesan seolah virus yang mematikan itu tidak akan masuk ke negeri kita.

Untung saja, belakangan Jokowi dan pemerintahannya terlihat lebih serius, mengalokasikan anggaran yang sangat besar, kurang lebih 405,1 trilyun rupiah, untuk menangani wabah ini beserta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.

Meski demikian, sebagian netizen tetap saja melihat kritik terhadap kelambanan pemerintah tersebut sebagai nyinyir belaka. Sulit disangkal suasana psikologis bekas pertarungan pilpres tahun lalu masih terasa. Kritik terhadap pemerintah dianggap secara otomatis mendelegitimasi Jokowi. Menurut kalangan ini, daripada cuma omong di media sosial, lebih baik berderma dan berbagi secara kongkret kepada yang mereka yang terdampak.

Apa yang disampaikan kalangan yang mengatakan bahwa lebih baik berderma daripada cuma omong di media sosial memang terdengar benar dan memang ada benarnya. Berbagi sedikit uang atau barang kepada orang-orang yang kurang beruntung di saat epidemi seperti sekarang adalah tindakan mulia. Kita tahu saat ini roda ekonomi melambat, bahkan terancam krisis hebat, sehingga dipastikan banyak orang akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Lebih lanjut lagi, krisis ekonomi ini diperkirakan akan menimbulkan krisis sosial politik, seperti meningkatnya kriminalitas, bahkan kerusuhan.

Baca juga:  Minyak Kemangi dalam Alquran 

Baca tulisan menarik:

Jadi, kalau demikian halnya, apa relevansi berderma saat ini? Bukankah cukup pasti ia tidak bisa diandalkan menghadapi situasi yang mungkin akan lebih gawat? Kalau tidak diandalkan, lalu apa yang kita perlukan segera?

Jarang disadari bahwa berderma bukan sekadar sikap moral individual, tetapi juga tindakan politis. Lebih spesifik, dengan mengatakan bahwa lebih baik berderma daripada cuma omong di media sosial, seseorang sebenarnya mengafirmasi apa yang selama ini menjadi norma dalam kapitalisme neoliberal: tanggung jawab kesejahteraan berada di pundak masing-masing pribadi, bukan negara. Negara hanya memastikan semua pihak bisa berkompetisi secara adil dalam mencari penghidupan sehari-hari. Kesejahteraan, oleh karena itu, tergantung pada kesiapan dan kesigapan masing-masing individu di pasar bebas.

Tentu saja kapitalisme neoliberal paham bahwa tidak semua orang bisa berkompetisi secara adil. Ketimpangan adalah kenyataan yang tidak bisa disangkal. Oleh karena itu, mereka mengadopsi kedermawanan sebagai komponen dalam reproduksi sosial dalam dirinya. Diharapkan hal ini bisa mengatasi instabilitas ketika produksi ekonomi mengalami krisis.

Dengan demikian, penting dicatat bahwa apa yang selama ini disebut sebagai kapitalisme neoliberal atau neoliberalisme bukan hanya modus produksi ekonomi, tetapi juga reproduksi sosial. Di balik perhitungan akuntansi dalam rangka pencapaian keuntungan finansial, ia juga membutuhkan seperangkat nilai yang diharapkan menjadi sumber legitimasi sosial. Hanya dengan mengelola kedua dimensi itulah kapitalisme bisa bertahan dan berkelanjutan.

Baca juga:  Proyek Keislaman Zaman Orba, dari Politik Memilih Menteri Agama hingga Rektor IAIN

Pertanyaannya, apa masalahnya dengan kapitalisme neoliberal? Kemudian apa hubungannya dengan situasi yang digambarkan di awal mengenai kritik terhadap kelambanan pemerintah dalam menangani pandemi corona?

Masalahnya adalah kapitalisme neoliberal selalu berusaha memisahkan ekonomi politik dan keutamaan moral, seolah kedermawanan adalah semata sikap individu yang tidak ada hubungannya dengan tata kelola pemerintahan. Di negara-negara dengan demokrasi yang sudah mapan, pemisahan antara ekonomi politik dan keutamaan moral ini dijembatani dengan hukum. Namun di negara-negara dengan demokrasi yang masih karut-marut, pemisahan tersebut adalah peluang bagi sejumlah elit—sekarang sering disebut oligarki—untuk merampok barang dan jasa milik publik secara berjamaah. Dalam hal ini terus terang saya cukup khawatir dengan alokasi anggaran penganganan corona yang mencapai 405,1 trilyun rupiah itu; apakah bisa sampai kepada yang berhak atau tidak.

Sekali lagi, kedermawanan individual adalah tindakan yang mulia, tetapi itu tidak cukup. Jika tidak dibarengi dengan kritisisme terhadap tata kelola pemerintahan, termasuk tata kelola kedermawanan itu sendiri, tindakan yang mulia itu bisa berbuah kenaifan belaka. Bagaimanapun pandemi corona adalah kejadian luar biasa yang hanya bisa diatasi secara kolektif dengan melibatkan tanggung jawab politik negara.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top