Puluhan tahun silam, pujangga bernama Mohammad Saribi menggelar puisi untuk peringatan Isra Mikraj. Ia tak berucap seperti khotbah dalam pengajian-pengajian bermaksud memeriahkan Isra Mikraj. Ia memilih menggubah puisi, menggelar ke pembaca. Puisi lawas, sudah jarang dikutip dan terbit di buku pelajaran sastra.
Puisi itu tak lagi dibacakan di pengajian-pengajian, sebelum ceramah para ulama. Di lembaran masa lalu, puisi tertinggal dan menanti pelupaan.
Puisi berjudul “Malam Kudus” dimuat di buku berjudul Manifestasi, berisi puisi-puisi gubahan 8 pujangga tenar pada masa 1960-an: Armaja, Djamil Suherman, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Mohammad Diponegoro, Mohammad Saribi, Taufiq Ismail, dan M Yoesmanam. Buku terbitan Tintamas, Jakarta, 1963.
Puisi gubahan Mohammad Saribi tampak mengesankan ingin terbaca setiap tahun saat umat Islam memperingati Isra Mikraj. Puisi terbagi empat bagian, panjang dan mengena. Puisi bercerita bersumber dari kejadian sekian abad silam.
Saribi di bagian 2 menulis:Dengan segala bagian tubuhnja Ia bertolak/ Dengan segala tjabang perasaannja Ia bertolak/ Bertanjalah setiap Ia mendjumpai tonggak-tonggak perdjalanan/ Bertanjalah setiap Ia mendengar rintih-rintih perempuan/ Hidup ini Ia hadapi dengan penuh kejakinan/ Hidup ini Ia hadapi dengan penuh kasih sajang. Larik-larik itu belum kentara menuntun pembaca sampai ke kejadian di malam kudus.
Puisi memang tak bertugas menggamblangkan, memberi penjelasan agar imajinasi menguap tak berjejak. Puisi itu undangan menempuhi titian kata-kata bertaburan makna, sebelum sampai ke puncak pengertian mengacu referensi masa lalu. Puisi berbeda dari ceramah untuk pemberian runtutan kejadian secara terang. Di puisi, misteri masih mungkin mendekam, sebelam pembaca tekun menguak secara telaten dan menjauhi pembacaan gegabah.
Pada bagian 4, puisi perlahan merekah makna ke pembaca: Achirnja berangkatlah Ia kealam keramat/ Negeri jang belum pernah diambah para umat/ Setelah salat di Baitulmakdis dua rekaat/ Berbareng dengan para rasul dan nabi/ Dan pulanglah Ia kebumi ini diachir wengi/ Dengan membawa perintah salat lima kali/ Maka tetaplah Ia sebagai rasul Ilahi/ Maka tetaplah Ia sebagai rasul terachir dibumi ini/ O, Salam baginja jang telah tinggalkan kami. Kejadian berterima urut. Larik-larik ke terang pengertian dengan segala ketakjuban. Larik-larik ingin beda dari tuturan prosais saat berhadapan dengan orang-orang dalam pengajian.
Puisi terpilih untuk mengenang dan menuai makna, dari masa ke masa. Di puisi gubahan Saribi, pembaca agak sanggup menempuhi larik demi larik. Sajian tata kata dan persemaian makna terasa “rumit” di puisi berjudul “Muhammad Mendjelang Baitul Makdis”.
Puisi gubahan Taufiq Ismail itu jarang teringat pembaca ketimbang puisi-puisi di buku berjudul Benteng dan Tirani berlatar kecamuk politik 1965-1966. Puisi terasa lembut dan bertumpukan tafsir. Pada dua bait terakhir, si pujangga menulis:
Ditangannja waktu meleleh/ Lumat gurun dan lembah. Berlalu// Gerimis tjahaja melinangi bumi/ Lekah dada dan langit baginja. Selalu.
Puisi tak hendak bercerita pengulangan tapi cenderung ke permenungan metaforik. Penulisan “waktu meleleh” mengandaikan ada pemahaman waktu melampaui kewajaran manusia mengalami malam-malam. Kejadian itu memang menjadikan waktu sulit diukur menggunakan jam berpengertian “semalam”.
Dua puisi di buku Manifestasi mengisahkan Isra Mikraj dengan tata kata berbeda. Dua pujangga bukan berperan selaku penceramah. Penghadiran cerita dan ingatan mengajak pembaca hening sejenak ke tokoh, peristiwa, dan waktu. Hening dalam puisi menggerakkan iman, mengembalikan keinsafan atas kuasa Allah dan pembawaan titah-titah disampaikan Muhammad, setelah kejadian kudus di malam kudus.
Puisi berjudul “Malam Kudus” dan “Muhammad Mendjelang Baitul Makdis” tergelar di masa lalu, menunggu orang menjenguk atau membaca ulang saat malam-malam di zaman mutakhir dijauhkan dari keramat. Ajakan sejenak mengenang puisi ibarat perenungan di luar keramaian. Puisi-puisi itu tak sempat terbacakan lagi ke peminat sastra-sastra bersemi di abad XXI. Lama sengaja dibiarkan ada di kejauhan, jarang dipandang dan dikunjungi sekejap.
Kita berhak membaca ulang sambil menaruh penjelasan dari Ismail Raji Al Faruqi di buku berjudul Tauhid (1988). “Semua seni Islam berkembang untuk memenuhi transendensi Ilahi, menjadi prinsip estetika tertinggi,” tulis Ismail Raji Al Faruqi.
Penggubahan puisi mengenai Isra Mikraj oleh Saribi dan Taufiq Ismail memenuhi capaian ke pendasaran estetika Islam. Pengalaman iman dan estetik diejawantahkan dengan puisi.
Di hadapan sidang pembaca, puisi-puisi mengantar ke ingatan religius. Kesanggupan menuruti puisi agak berbeda dari pengalaman mengikuti ceramah-ceramah mengarah ke jamaah. Puisi memberi jeda di kesendirian: merenung berdalih kerja pemaknaan.
Kehadiran dua puisi di arus sastra Indonesia itu jarang menuntun kritikus atau pengamat melakukan kerja mendaftar dan membandingkan kecenderungan pujangga-pujangga beragama Islam berpuisi kejadian kudus. Goenawan Mohamad (1964) dalam esai berjudul “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini” tak menjadikan dua puisi itu acuan membaca gelagat hubungan estetika dan agama di Indonesia. Sebutan agak menggampangkan ke puisi-puisi gubahan Mohammad Saribi dan Taufiq Ismail adalah “sastra keagamaan.”
Goenawan Mohamad mengingatkan:
“Demikian pula apabila sastra keagamaan berusaha mendjawab persoalan-persoalan jang timbul dalam situasi kita sekarang, dengan tjara menjodorkan djawaban jang sudah djadi, rapih, dan korek, dengan gaja kechotbah-chotbahan sedikit, maka ia akan menjebabkan kita sebagai pembatja mendjadi djemu, malas.”
Peringatan itu dilampaui Saribi dan Taufiq Ismail, menghadirkan puisi tanpa pamrih berkhotbah memuat klise-klise dan penjelasan berkepanjangan.
Kehadiran dua puisi di masa lalu agak mengingatkan kita bahwa peringatan-peringatan hari suci agama memungkinkan orang bergumul dengan kata-kata di jalan estetika-transendental.
Berpuisi untuk peringatan Isra Mikraj belum teranggap umum saat orang-orang cenderung mengadakan pengajian-pengajian. Di hadapan larik-larik puisi, pembaca mungkin berhak mengerti tanpa melulu di kerumunan kata berupa khotbah. Begitu.