Het Boek Van Bonang bisa jadi naskah tasawuf tertua Nusantara yang masih bisa ditemukan hingga sekarang. Awalnya merupakan koleksi pribadi seorang profesor Latin di Universitas Leiden bernama Bonaventura Vulcanius. Ia mendapatkannya dari muridnya yang bernama Damaius, yang pada awal masa pelayaran Belanda kedua ke Nusantara, sekitar tahun 1597, sempat mampir ke Tuban dan membawa naskah tersebut ke Belanda. Naskah ini menjadi koleksi pribadi Vulcanius selama dua abad, lalu dihibahkan ke perpustakaan Leiden pada tahun 1870-an.
Naskah ini pertama kali dipublikasikan sebagai disertasi oleh Betram Johannes Otto (B.J.O) Schrike pada tahun 1916. Dalam disertasinya, Schrike telah melakukan transliterasi ke aksara latin dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Schrieke meyakini manuskrip ini sebagai karya Sunan Bonang berdasarkan kalimat di penghujung naskah, “Tammat carita cinitra kang pakerti pangeraning Bonang.”
Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya “Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, dan menjadi rujukan utama hingga hari ini. Di Indonesia, karya ini diterjemahkan menjadi Pitutur Seh Bari.
Drewes justru mengklaim bahwa kitab tersebut bukanlah karangan Sunan Bonang. Merujuk catatan perjalanan Alfonso D’Alboquerque tentang peristiwa penyerangan Malaka oleh Sunan Bonang dan Sunan Giri sewaktu muda, kitab ini memiliki rentang setidaknya 75 tahun setelah kematian Sunan Bonang. Sehingga, menurut Drewes, kitab ini bisa jadi dikarang oleh siapa saja yang pernah belajar atau menyandarkan karangannya atas nama Sunan Bonang agar bisa diterima khalayak luas.
Menanggapi kedua hal tersebut, Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo dan juga Simur lebih meyakini bahwa manuskrip ini memang dikarang oleh Sunan Bonang. Keduanya melihat lebih kepada kesesuaian ide besar Sunan Bonang dengan apa yang menjadi kajian dalam manuskrip tersebut.
Sunan Bonang memulai kitab ini dengan paragraf berikut:
Nyampunika caritanira Seh Bari: tatkala apitutur dating mitranira kabeh; kang pinituturaken wirasaning usul suluk, wedeling carita saking Kitab Ihya Ulum al-Din lan saking Tamhid, antukira Seh Bari ametet ing tingkahing sisimpenaning nabi wali mukmin kabeh.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).
Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu “wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.
Drewes berkesimpulan bahwa kitab ini meniru al-Ghazali baik dalam bentuk penuturan dan ide-ide sufisme yang dijabarkan di dalamnya. Penuturan dialogis dapat ditemukan dalam berbagai cara penulisan kitab al-Ghazali; al-Iqtisad fi al-I’tiqad merupakan bantahan dialogis al-Ghazali terhadap paham-paham ahli kalam; al-Qistas al-Mustaqim merupakan dialog seorang agamawan dengan anak muda tentang kepemimpinan.
Sedangkan Seh Bari, bagi Drewes, adalah pengejawantahan al-Ghazali dalam konteks yang lebih modern. Cara bertuturnya, cara ia menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan muridnya, bahkan ide utama bagaimana seseorang menjalankan suluk haruslah sesuai dengan al-Ghazali. Dalam banyak paragraf, Seh Bari selalu menekankan bahwa hanya dengan mengikuti jalan-jalan suluk yang telah digariskan al-Ghazali seseorang bisa berhasil menggapai Tuhan. Pada paragraf ke-50 dijelaskan, sementara al-Ghazali masih berada di dalam Rahim, dia telah diizinkan untuk menggali pengetahuan di lauh al-mahfuz untuk mengumpulkan usul suluk.
Perjumpaan Sunan Bonang dengan pengajaran al-Ghazali, dijelaskan oleh R.O. Winstedt (1939), ketika beliau bersama dengan Sunan Giri, menghabiskan beberapa waktu di Malaka untuk belajar Islam kepada beberapa ulama dari Arab, Persia dan India.
Imam ghazali sudah dikenal luas pada periode pertama keilmuan Islam, merujuk pada periodisasi Gus Dur. Periode ini sejatinya masih sangat berdekatan dengan periode kebangkitan pemikiran-pemikiran al-Ghazali yang menjamur di Timur Tengah yang dimulai sekitar abad ke-13.
Selain dalam karya Sunan Bonang, jejaknya al-Ghazali ditemukan luas di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Sebuah manuskrip berbahasa Jawa yang kini berada di perpustakaan Ferrara, Italia yang menjabarkan beberapa hal mendasar kepada orang-orang yang baru memeluk agama Islam. Manuskrip ini pernah dikaji oleh Drewes dengan judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics, menunjukkan pengambilan argumen, salah satunya dari kitab Bidayah al-Hidayah.
S.H. al-Attas baik ketika membahas Hamzah Fansuri dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970) dan Nuruddin al-Raniri dalam A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nuruddin al-Raniri (1986), menunjukkan bahwa kedua ulama tersebut, meskipun memiliki rivalitas yang cukup tinggi di abad ke-17, keduanya sama-sama mengambil pengajaran, salah satunya dari al-Ghazali.
Al-Attas mengatakan bahwa karena al-Ghazali Hamzah Fansuri mengingatkan pentingnya syariat dalam keseluruhan sistem beragama. Hamzah Fansuri meyakini bahwa syariat, tarekat, hariqat, dan ma’rifat, semuanya berbeda namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dia bahkan mengatakan bahwa siapa saja yang mengabaikan syariat, meskipun telah mencapai derajat tarekat yang tinggi, tetap akan tertolak.
Di sis lain, Nuruddin banyak menukil dari tiga kitab al-Ghazali: al-Maqasid al-Asna fi Syarh Asma al-Husna, al-Ajwibah al-La’iqah ‘an al-Aswalah al-Fa’iqah, serta Ihya’. Kitab-kitab ini digunakan Nuruddin untuk meneguhkan keimanan yang ortodoks, berseberangan dengan ide-ide Wahdat al-Wujud yang justru diajarkan oleh Hamzah Fansuri. Nuruddin dalam hal ini mengikuti al-Ghazali secara fikih dan teologi Asy’ariyah. Namun secara tarekat, dia dibaiat ke dalam tarekat Rifa’iyah, Qadiriyyah dan Aydarusiyyah.
Persemaian ide-ide al-Ghazali pada periode awal keilmuan Islam di Indonesia justru memperlihatkan suatu kesuburan. Orang-orang mengambil bagian yang menurut mereka sesuai dengan apa yang hendak menjadi pengajarannya. Dan di masa ini, kita mungkin melihat jalinan yang sangat jauh antara Sunan Bonang, Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri; yang justru ketiganya berasal dari satu sumber yang sama: Imam al-Ghazali. (RM)