Sedang Membaca
Khidir Menepis Arogansi Seorang Musa

Khidir Menepis Arogansi Seorang Musa

Bermula dari sebuah kesombongan mungkin, meskipun seorang nabi pilihan yang berucap, namun itu merupakan kalimat ke-aku-an dan arogansi ego. Kisah itu muncul ketika nabi Musa berdialog dengan Bani Israil. Musa mengajak mereka untuk menyembah Allah dan bercerita kepada mereka tentang kebenaran.

Dialog Nabi Musa ketika itu sangatlah komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, ada salah seorang dari Bani Israil bertanya, “Hai Musa, apakah ada di atas bumi ini seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan keakuan, Musa menjawab, “Tidak ada”.

Mungkin kalimat Musa tersebut begitu menggaungnya hingga sampai terdengar di atas langit. Allah pun mendengar Musa terlalu berke-aku-an sehingga perlulah untuk diajarkan tentang sesuatu. Lantas Allah pun mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya, “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah meletakkan ilmu-Nya?”

Musa begitu tersadar dan memahami segalanya apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia terburu-buru untuk mengambil suatu keputusan atas Aku-nya. Jibril kembali berkata kepadanya, “Sesungguhnya Allah mempunyai seorang hamba yang berada di Majma’al Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.”

Musa mulai merasakan sebuah kegelisahan di batinnya yang dirinya serasa kecil dan tak berarti. Musa pun rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim tadi. Musa bertanya kepada Jibril; bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian Musa mendapatkan perintah Allah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.

Itu merupakan sebuah nukilan kisah Alquran yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri. Sebuah hikayat tentang seorang hamba yang Allah sendiri memberikan rahmat dari sisi-Nya dan mengajarkan pula ilmu Allah. Kisah yang terdapat dalam surah al-Kahfi dengan ayat-ayatnya dimulai tentang cerita Nabi Musa,

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al-Kahfi: 60).

Musa pun akhirnya memutuskan untuk pergi mencari ilmu yang ditemani oleh seorang santri mudanya. Santri itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pun pergi untuk mencari hamba alim dan saleh seperti yang disampaikan Jibril. Tempat yang mereka cari itu adalah sangat samar dan persoalannya hal ini berkaitan dengan hidup dan matinya ikan di keranjang hingga kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun, Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim itu walaupun ia harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang bertahun-tahun lamanya.

Musa berkata kepada santrinya, “Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberi tahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu”. Sang santri pun menjawab, “Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Akhirnya kedua orang itu sampai di sebuah batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan si santri masih terjaga. Semilir berembus ke pantai sehingga ikan itu bergerak hidup lalu melompat ke laut.

Melompatnya ikan tersebut sebagai tanda yang diberikan Allah kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana di mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan santrinya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi.

Ia meminta maaf kepada Musa karena lupa menceritakan hal itu. Iblis telah melupakannya. Keajaiban apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang pasti ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak ke lautan dengan suatu cara yang menakjubkan. Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan beliau berkata: “Demikianlah yang kita inginkan.”

Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Musa dan si santri kembali menelusuri tempat yang dilaluinya sampai di tempat di mana ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.

Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah akan menyebutkannya. Namun Alquran sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Alquran tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Aquran tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya.

Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.

Baca juga:  Kisah Bertaubatnya Nabi Adam dari Kesalahannya

Selain itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Allah mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya, “Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65).

Musa adalah seorang nabi yang diajak berbicara langsung oleh Allah dan ia salah seorang Ulul Azmi dari para rasul. Seorang Nabi di mana Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Alquran meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir As.

Musa berjalan bersama Khidir yang menerima ilmunya dari Allah tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Namun akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa.

Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah.

Ilmu Musa yang berlandaskan syariat, sehingga menjadi bingung ketika menghadapi ilmu Khidir yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Alquran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.

Bukhari mengatakan bahwa Musa dan santrinya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: “Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab, “Aku adalah Musa.” Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil.”

Musa berkata, “Dari mana kamu mengenal ku?” Khidir menjawab, “Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan, “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya.” Khidir berkata, “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.”

Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa,

“Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.”

Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.

Baca juga:  Kisah-kisah Hikmah (1): Al-Asma’i dan Seorang Badui

Perhatikanlah firman Allah dalam surah al-Kahfi, “Musa berkata kepadanya ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’

Musa berkata, ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70)

Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir.

Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melubangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.

Musa menyertai Khidir dan melihat tindakan Khidir lantas Musa berpikir lantas berkata kepada dirinya sendiri, “Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil saja untuk membacakan Kitab Allah sehingga mereka semakin taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi laki-laki ini justru merusak perahu dan melobanginya.”

Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada Khidir hingga ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi.

Musa berkata, “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela”. Mendengar pertanyaan lugas Musa, Khidir hanya menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan memohon agar tidak menghukumnya.

Berikutnya mereka berdua pun berjalan melewati sebuah kebun yang dijadikan tempat bermain anak-anak kecil. Saat anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang dari mereka tampak bersandar di sebuah pohon dengan rasa kantuk yang menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat Khidir membunuh anak kacil itu. Musa pun gusar dan bertanya kepada Khidir tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa.

Khidir pun kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa kembali meminta maaf pada Khidir. Ia berjanji tidak akan bertanya lagi. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan memasuki sebuah desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.

Sore telah menjelang ketika Musa dan Khidir bersandar istirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut kembali ketika melihat Khidir membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan, ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan itu. Menurut Musa, desa bakhil itu sungguh tidak layak untuk mendapatkan jerih payah Khidir yang cuma-cuma ini.

Musa lalu berkata, “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, Khidir kemudian menjawabnya, “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.”

Khidir mengingatkan Musa kembali tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan mempertegas bahwa pertanyaan yang ketiga merupakan akhir dari pertemuan sekaligus perjalanan berilmu itu.

Saatnya Khidir menceritakan kepada Musa sekaligus membongkar kesamaran terselubung atas kebingungannya. Setiap tindakan Khidir itu membuat Musa bingunghal tersebut bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (22): Anak yang Hilang Kembali Pulang Berkah Doa Syekh Habib Al-Ajami

Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan Khidir. Ilmu Musa ibarat setetes air dibandingkan dengan ilmu Khidir yang seluas samudra itu. Namun toh demikian, Khidir memperoleh ilmu dari Allah hanya sedikit, sepercik air yang terdapat di paruh burung yang diambil dari lautan ilmu.

Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja dholim yang akan merampas tiap-tiap bahtera. Adapun anak itu maka kedua orangtuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orangtuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

Kami menghendaki supaya Tuhanmu akan mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya menurut kehendakku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82).

Selanjutnya, Musa kembali menemui santrinya untuk diajak kembali ke Bani Israil. Dari peristiwa itu, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari Khidir tentang dua hal: Musa tidak lagi merasa bangga dengan ilmunya yang hanya syariat karena Khidir telah menunjukkan tentang ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya.

Itulah pelajaran yang diperoleh Musa dari Khidir. Kini Musa menyadarai sekaligus mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan itu pun bukan ilmu para nabi yang Allah wahyukan kepada mereka.

Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa Khidir adalah nabi sekaligus wali Allah. Allah telah memberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi.

Salah satu pernyataan Khidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata, “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata, “Musa berkata kepada Khidir, “Berilah aku nasihat.” Khidir menjawab, “Mudah-mudahan Allah memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya.

Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Ada sebuah kecenderung yang menganggap Khidir sebagai seorang wali karena beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Alquran yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah sebagian ilmu laduni.

Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya.

Yang jelas, ketika kita memasukkannya dalam jajaran para nabi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang guru baginya untuk beberapa waktu. Karena Khidir telah menunjukkan dan mengajarkan pada Musa tentang ruang dan waktu. Kemarin–hari ini–masa depan, hal itu terwakili oleh pembocoran perahu (hari ini), membunuh anak laki-laki (masa depan) dan membangun tembok (masa lalu)….

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0

Hikmah dalam Surah Al-Lahab

Melayani Tuhan

Bagaimana Rasulullah Mendidik si Pemabuk?

Dua Kisah dari Nabi Musa

Alif.ID
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top