Sedang Membaca
Universalitas Lailatul Qadar
Hafis Azhari
Penulis Kolom

Pengarang novel "Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten"

Universalitas Lailatul Qadar

1375378923

Banyak kisah-kisah sufistik yang dimodifikasi oleh kecerdasan para intelektual dan cendikiawan Indonesia. Mereka tetap mempertahankan nilai-nilai filosofisnya, serta kualitas religiositasnya yang mendalam. Memang kisah-kisah itu lebih mementingkan esensi daripada teks-teks harfiah semata. Seorang penulis akan kesulitan merangkai riwayat tentang dunia sufi, ajaran Taoisme atau kearifan lokal sastra daerah, manakala belum sanggup menangkap substansi dari hikmah yang terkandung di dalamnya.

Dikisahkan dalam kearifan lokal sastra Jawa oleh pujangga Empu Tan Akung, ketika kekuasaan Ken Arok pindah dari keraton Kediri ke daerah Tumapel (sejak 1222 Masehi). Kisah yang diberi judul “Lubdhaka” itu menceritakan seorang pemburu yang memperoleh “Malam Lailatul Qadar” dalam konteks agama Hindu dan Budha. Pada senja hari pemburu itu tak menghasilkan satu buruan pun, nyaris putus asa, sampai akhirnya ia memutuskan bermalam dan tidur di atas pohon maja. Di bawah pohon itu terdapat mata air yang jernih, dan untuk memejamkan mata ia takut terjatuh dari pohon tersebut.

Sepanjang malam ia memetik daun maja satu persatu, dan menaburkannya di atas kolam, agar selalu dalam keadaan terjaga. Namun, di tengah kegelapan malam muncullah lingga dari dasar kolam. Sang pemburu tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam keramat, di mana lingga yang muncul itu adalah kiriman dari Dewa Siwa. Konon penaburan daun maja di malam keramat itu adalah kebaktian yang paling berkenan dan dirahmati Sang Dewa.

Kemudian, sang pemburu yang merupakan profesi paling jahat dalam agama Hindu dan Budha, lantaran suka membunuh binatang yang dianggap inkarnasi manusia juga, dinyatakan sebagai orang yang terselamatkan di alam baka. Dewa Siwa mengutus para abdinya di Swargadimulya, agar menjemput sang pemburu, tanpa mengindahkan protes dari dewa-dewa maut Yamadipati.

Terkait dengan itu, kita masih ingat hadits yang diriwayatkan Bukhari, khususnya tentang kisah pelacur yang diangkat derajatnya lantaran mengorbankan sepatunya untuk menimba air bagi anjing bulukan. Menurut kebanyakan orang anjing itu tak layak diberi pertolongan, apalagi tubuhnya penuh kudis yang dianggap orang layak baginya untuk mati, binatang najis itu. Tetapi, anjing yang kehausan nyaris mati itu ditolong oleh seorang wanita dengan pertimbangan, bahwa ia pun sama-sama makhluk Tuhan juga. Wanita itu berempati karena ia sanggup berpikir lintas religi, menghayati apa artinya lapar dan dahaga. Setiap manusia yang pernah diuji oleh kekurangan dan kesempitan, selaiknya bersikap solider terhadap binatang yang tengah mengalami kehausan di tengah teriknya panas matahari.

Baca juga:  Sifat Uang dan Kekuasaan

Pemburu yang dikhianati

Kisah berikut ini tentang kebaikan hati seorang pemburu di tengah hutan belantara, juga mendapat pertolongan dari hak prerogatif Tuhan. Sang pemburu tiba-tiba didatangi seekor ular yang bicara di hadapannya, bahwa ia sedang dikejar oleh seorang lelaki pembunuh, hingga minta dilindungi olehnya.

“Bagaimana aku harus melindungimu, wahai ular?” tanya pemburu.

“Aku akan masuk ke dalam tubuhmu, nanti aku akan keluar lagi manakala pembunuh itu sudah menjauh dariku,” jawab ular lirih.

“Bagaimana kau akan masuk ke dalam tubuhku?”

“Aku bertanya, apakah kau siap melindungiku atau tidak?” desak ular lagi.

“Baiklah kalau begitu…

Dalam sekejap saja ular itu melompat, dan tanpa disadari tahu-tahu sudah berada di dalam tubuh pemburu itu. Seketika pembunuh datang dengan menghunus pedang, bertanya di manakah ular tadi melarikan diri. Sang pemburu mengatakan bahwa ia tidak melihat ular sama sekali. Setelah pembunuh itu pergi, ia menunggu-nunggu kapan ular itu akan keluar dari tubuhnya. Tiba-tiba ular itu berkata bahwa ia menolak untuk keluar dari tubuh pemburu itu.

“Aku sudah berusaha melindungimu, tapi mengapa kau tidak menepati janjimu?” kata pemburu.

“Hahaha, dasar laki-laki bodoh! Untuk apa kau melindungi binatang berbisa sepertiku yang tidak layak memperoleh perlindungan manusia?”

“Aku hanya berbuat apa yang sebaiknya aku perbuat.”

“Hoho, kau telah melakukan kesalahan dengan menolongku. Saat ini tinggal kau pilih, apakah kau akan mati dengan hati yang terkoyak ataukah akan kulubangi jantungmu dengan taringku!”

Baca juga:  Buya dan Sulitnya Membumikan Pancasila: Keadilan Sosial

Setelah berkali-kali beristighfar, ular itu tetap tak mau keluar dan bersikukuh mengkhianati janjinya. Pemburu itu merintih kesakitan, namun berusaha bersikap sabar. Ia berpikir bagaimanakah makhluk yang ditolong itu, seenaknya mengingkari kesepakatan semula. Seakan ia berpikir bagaimana seorang penguasa yang culas dan licik, tega mengelabui rakyat yang dipimpinnya. Bahkan tidak sedikit politisi di zaman modern ini seenaknya bersandar pada filsafat Machiavelli dengan mengatakan: “Lebih baik saya khianati seluruh dunia, sebelum saya menjadi korban dari pengkhianatan orang lain.”

Jadi, bagaimanakah seseorang harus konsisten berpijak pada kepercayaan, bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, bahwa kejahatan akan diganjar berdasarkan ulah perbuatannya? Sejauhmana orang mampu mengukur apakah perbuatannya itu baik ataukah jahat? Sang pemburu telah berbuat apa yang mesti dia perbuat. Niat awalnya menolong makhluk Tuhan yang minta perlindungan atas keselamatan dari kejaran seorang pembunuh. Itu saja filosofinya. Simpel. Tak perlu dibikin rumit dan njelimet. Tapi apalah akibatnya? Mengapa yang baik di penjara, yang jahat justru tertawa terbahak-bahak? Bagaimana mungkin kebaikan itu justru diganjar dengan keburukan? Lantas seberapa lama usia kebohongan dapat dipertahankan oleh seorang penguasa munafik?

Setelah berjam-jam mengalami kesulitan dan susah-payah, pemburu itu akhirnya bersimpuh dan berdoa: Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, kasihanilah aku dengan kasihmu yang lembut. Wahai Dzat Yang Maha Kuasa, aku mohon demi kekuasaan-Mu menegakkan singgasana, walaupun aku tidak tahu di manakah Engkau menetap di singgasana itu. Wahai Dzat Yang Maha Bijak, Maha Tahu, Maha Tinggi, Maha Agung, Maha Hidup, Maha Kuat. Ya Allah, tak ada yang sanggup menyelamatkan aku dari ular ini selain Engkau.”

Pemburu itu kelojotan, tapi ia terus berjuang mempertahankan hidupnya. Ia melangkah ke arah perbukitan dengan tubuh sempoyongan. Sampai kemudian ia berjumpa dengan seorang kakek tua dengan raut wajah yang nampak bersinar. Kakek tua itu menyarankan agar ia minum dedaunan hijau yang disodorkannya. Setelah pemburu itu minum ramuan tersebut, ular yang licik dan culas itu tiba-tiba keluar dari tubuhnya, dimuntahkan dalam keadaan terkoyak dan terpotong-potong.

Baca juga:  Membongkar Misteri 212

Konsisten pada kebaikan

 Kini, pemburu itu merasa lega dan nyaman, setelah seharian ia menderita secara fisik dan batin karena merasa dikhianati oleh ular tersebut. Ia pun lantas bertanya, siapakah gerangan kakek yang berbaik hati menolongnya dengan penuh keikhlasan itu? Seraya menghilang dari pandangan mata, sayup-sayup kakek tua itu menjawab, “Aku adalah malaikat Ma’ruf (kebaikan) yang langsung diutus Allah agar mengambil daun pohon Tuba dari surga. Ketika Anda membacakan doa tersebut, penduduk langit saling berdebat dan membicarakannya, tetapi Allah memanfaatkan kekuasaan dan kewenangan langsung yang diberikan pada hamba yang dicintai-Nya, meskipun banyak pihak yang protes dan keberatan atas keputusan itu.” 

Maha Basar Allah Yang tak ada makhluk manapun yang menandingi kebesaran dan keagungan-Nya. Teruslah berbuat baik dan menyampaikan kebaikan, jangan khawatir adanya orang yang akan mengkhianati dan bersembunyi di belakang kita. Teruslah berkarya dan berpijak pada kebenaran. Tetaplah konsisten dan fokus pada kebaikan, biarpun setan-setan berseliweran di sekeliling kita, bahkan bersemayam dalam tubuh kita.

Sesungguhnya, kebaikan dan kasih sayang itu dapat dimulai dari diri kita, dalam keadaan sendirian, berselaras dengan rahmat dan maghfirah Allah. Sebab hanya Allah Yang Maha Tahu kebaikah hati dan qolbu setiap hamba-hamba-Nya. Boleh jadi orang yang kita sangka baik ternyata menyimpan amalan-amalan buruk di belakang kita, dan boleh jadi orang yang kita sangka buruk ternyata menyimpan amalan-amalan baik di belakang kita.

Mari kita doakan keluarga, saudara-kerabat dan rakyat Indonesia agar mencapai cita-citanya yang luhur. Ya Allah, Engkau berkuasa membolak-balikkan pikiran dan perasaan kami, teguhkan hati kami di jalan kebenaran-Mu. Anugerahilah negeri ini dengan pemimpin yang diridhoi oleh-Mu, pemimpin yang baik, jujur, serta beritikad keras untuk memakmurkan dan menyejahterakan bangsa ini… ***

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top