Ranah teologi adalah ranah yang sentral dalam agama. Dalam Islam, fan ilmu yang biasa disebut ilmu Tauhid atau ilmu kalam ini sering kali memunculkan perdebatan yang tidak memiliki ujung. Seperti contohnya terkait permasalahan hukum.
Muktazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah: tiga madzhab diantara sekian madzhab akidah dalam Islam yang menjadi rujukan di zamannya memiliki acuan ketentuan hukum yang berbeda terkait hukum baik-buruknya suatu perbuatan.
Muktazilah berpendapat sebelum syariat datang, mereka ahl al-Fatrah (yang hidup di masa kekosongan syariat, tanpa Nabi dan Rasul) dapat menghukumi suatu perbuatan (baik-buruknya) dengan logika-akal. Baik-buruk suatu perbuatan ditentukan oleh logika-akal. Mereka yang melakukan suatu perbuatan (yang menurut akal baik) akan diganjar dengan pahala. Sebaliknya, mereka yang melakukan suatu perbuatan (yang menurut akal buruk) akan disiksa. Seluruh hukum (sebelum turunnya syari’at) ditentukan baik-buruknya oleh akal.
Lain halnya dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua madzhab akidah pegangan ahlu sunnah wa al-Jama’ah ini berpendapat: ketentuan hukum ada setelah turunnya syariat. Mereka yang hidup sebelum syariat turun tidak terbebani oleh hukum, baik-buruknya suatu perbuatan dihitung (hukumnya) setelah syariat turun. Perbedaan keduanya hanya terkait kewajiban mengetahui hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan oleh syariat (Maturidiyah). Sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat, maka akal akan berperan mengungkap baik-buruknya perbuatan tersebut (menurut Maturidiyah).
Perdebatan Terkait Kedua Orang Tua Nabi Saw
Sebuah pertanyaan mencuat terkait kesucian nasab Nabi Muhammad Saw. Banyak bersliweran kabar yang menyatakan kedua orang tua Nabi Saw ( yang termasuk ahl al-Fatrah) masuk ke dalam neraka. Mereka yang berpendapat demikian berdalih dengan hadist yang meriwayatkan bahwa Nabi Saw ketika ditanya terkait ahl al-Fatrah, Nabi Saw menjawab: mereka masuk ke neraka.
Syekh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya Tuhfat al-Murid ‘ala Jauhar at-Tauhid (42) menjelaskan kira-kira demikian terkait permasalahan tersebut:
“Hadist tersebut termasuk riwayat hadist ahad (perorangan-tidak kuat), tidak bisa melawan dalil paten firman Allah: Kami tidak akan menyiksa (suatu kaum) sampai kami mengirim utusan ke dalamnya (Al-Isra (17): 15). Dan tentunya sah-sah saja Allah menyiksa atau merahmati seseorang dengan hak prerogatif Allah”
Berdasarkan penjelasan dengan dalil paten surat Al-Isra (17): 15 tersebut dapat diambil kesimpulan semua ahl al-Fatrah (dengan rahmat Allah) selamat, termasuk kedua orang tua Nabi Muhammad Saw. Bahkan dikatakan dalam riwayat hadist Urwah dari Aisyah, menyatakan bahwa: Nabi Saw meminta kepada Allah menghidupkan kembali (untuk sesaat) kedua orang tuanya untuk bersyahadat dan memeluk agama Islam.
Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil menimbang kedudukan tinggi Nabi Saw sebagai manusia terbaik pilihan Allah.
Sebagian bijak bestari menyenandungkannya dalam syair berikut:
حَبَّا اللهُ النَّبِيَّ مَزِيْدَ فَضْلٍ * عَلَى فَضْلٍ وَكَانَ بِهِ رَءُوفًا
فَأَحْيَا أُمَّهُ وَكَذَا أَبَاهُ * لِإِيْمَانٍ بِهِ فَضْلًا مُنِيْفًا
فَسَلَّمَ فَالْقَدِيْمُ بِذَا قَدِيْرٌ * وَإِنْ كَانَ الْحَدِيْثُ بِهِ ضَعِيْفًا
“Allah mencintai Nabi Saw lebih dari siapapun, Allah sangat welas-asih terhadap Nabi
Ia hidupkan ibunya serta ayahnya, untuk mengimani (memeluk Islam) sebagai anugrah
Allah (yang bersifat qadim-dahulu) tentu mampu melakukannya, meski hadist yang diriwayatkan (terkait hal ini) adalah hadist lemah”.
Argumentasi Kesucian Nasab Nabi Saw
Nabi Muhammad Saw adalah manusia yang diberi keistimewaan luar biasa oleh Allah. Pungkasan para Nabi dan Rasul, makhluk terbaik yang sempurna. Sempurna di segala sisi, tentunya termasuk nasabnya yang mulia, bersih dari segala kekotoran. Baik yang sifatnya hissy (indrawi) ataupun ruhy (spiritual).
الَّذِي يَرَاكَ حِيْنَ تَقُوْمُ (218) وَتَقَلًّبَكَ فِي السَّاجِدِيْنَ
“Ia (Allah) ialah dzat yeng melihatmu ketika engkau berdiri (untuk shalat) (218) dan melihat pula pergerakanmu diantara orang-orang yang sujud”. (Al-Syu’ara (26): 218-219)
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (6/171) terkait ayat tersebut, menukil pendapat Imam Al-Bazzar dan Ibnu Hatim (salah satunya) mengatakan demikian:
وَرَوَى البَزَّارُ وَابْنُ حَاتِم, مِنْ طَرِيْقَيْنِ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ فِي هَذِهِ الْاَيَةِ: يَعْنِى تَقَلُّبَهُ مِنْ صُلْبِ نَبِيٍّ إِلَى صُلْبِ نَبِيٍّ, حَتَّى أَخْرَجَهُ نَبِيًّا
“Imam Al-Bazzar dan Ibnu Hatim dari dua jalur meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menafsiri terkait ayat ini dengan: yakni pergerakan Nabi Saw dari satu punggung Nabi ke punggung Nabi lainnya, sampai Nabi Saw keluar (lahir) dan kemudian menjadi Nabi”.
Nabi Muhammad Saw adalah keturunan dari Nabi Ibrahim. Sedang Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an surat Al- An’am (6): 74) menyatakan ayahnya yang bernama Azar menyembah berhala, dalam artian seorang non-muslim, bagaimana menjawabnya?.
Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Shawi dalam kitabnya Hasyiah al-Shawi ‘ala Tafsir Jalalain (1/460) menjelaskan terkait ayat tersebut dengan dua “makhraj”, jalan keluar.
Pertama, nasab Nabi Muhammad Saw dijaga oleh Allah dari kekotoran “kemusyrikan” selagi cahaya kenabian masih berada dalam punggung ayah-ayahnya. Ketika cahaya kenabian Nabi Saw telah berpindah mereka “baru” melakukan kemusyrikan.
Kedua, Azar bukanlah ayah asli Nabi Ibrahim As, melainkan pamannya. Ayah Nabi Ibrahim As bernama Tarikh wafat pada zaman fatrah. Disebutnya Azar sebagai ayah Nabi Ibrahim As dalam ayat tersebut merupakan salah satu kebiasaan bangsa Arab, yang terbiasa menyebut paman dengan ayah. Wallahu a’lam.
Ref. Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Juz 6, 1999. (Riyadh: Daar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’
Ahmad bin Muhammad Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala Tafsir Jalalain juz 1, 2013. (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah)
Ibrahim bin Muhammad Al-Bajuri, Tuhfat al-Murid ‘ala Jauhar at-Tauhid, 2014. (Jakarta: Daar al-kutub al-Islamiyah).