Tak berbentuk dan beraroma, namun keberadaannya membuat siapapun mengegat gigi lantaran gemas. Adalah korupsi, pelanggaran kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi dengan hal apapun. Korupsi jadi buah bibir dari waktu ke waktu. Mulai dari buyut hingga cicit dan seterusnya, membicarakan korupsi sebagai momok yang perlu dilawan. Walakin, korupsi yang tak nampak, mafhum membuat sulit siapapun. Ia bertengger di relung-relung pikiran manusia. Pengelolaan diri agar tak terjerat nafsu angkara, mungkin bisa menjadi solusi.
Permasalahan Korupsi menarik mata siapapun. Mulai dari tukang tambal ban sampai guru ngaji, ikut mengutuk tingkah korupsi yang membuat mereka gigit jari. Di Taman Ismail Marzuki pada 06 April 1977, sastrawan Mochtar Lubis pernah berceramah membeberkan ciri Manusia Indonesia yang begitu disampaikan membuat hadirin terkesima. Selanjutnya berkas ceramah itu dibukukan dan dapat dibaca dari masa ke masa.
Ceramah itu penting. Menggambar kritik bagi Manusia Indonesia melalui pelbagai ciri-ciri. Dalam ciri kedua, Mochtar Lubis menyinggung Manusia Indonesia yang enggan bertanggung jawab dengan perbuatannya. Mengambil hak yang bukan miliknya, tidak bertanggung jawab untuk melakukan tugas dengan baik dan merengkuh angkara murka.
Nampaknya ceramah itu masih relevan untuk kita refleksikan. Waktu yang berjalan menyuguhkan kemajuan, penyakit korupsi masih menjamur di beberapa lini terkecil sampai terbesar di Indonesia. Korupsi adalah musuh peradaban umat manusia. Dengan korupsi akan timbul letupan-letupan permasalahan baru yang berimbas dalam sektor; ekonomi investasi sampai kestabilan sosial.
Sebuah penilitan mengamati mengenai korupsi, Transperancy International merangkum data dari beberapa belahan di dunia melalui Corruption Perceptions Index atau Indeks Persepsi Korupsi (CPI) bahwa per 2022, Indeks Korupsi di Indonesia masih bertengger di angka 34 dari 100 poin. Semakin kecil poinnya, menandakan tabiat berkorupsi di Indonesia masih dibilang besar. Angka-angka itu mengingatkan kita pada pengharapan, agar tak terjerembab dalam kubangan korupsi. Butuh keberanian yang tebal, ditambah mental yang bukan hanya slogan.
Korupsi dalam Sastra
Baru-baru ini nama-nama yang tercatut lantaran menilep uang panas itu menyembul di beberapa laman informasi. Adalah Alun Trisambodo, Yasin Limpo, Lukas Enembe, Johny G. Plate dan beberapa dan beberapa nama lainya. Kuasa dan harta tak menjamin rasa cukup, selama manusia tak mengelola sisi kerakusan dalam benaknya yang sewaktu-waktu bisa muncul. Mafhum, Thomas Hobbes memandang sisi buruk manusia itu sebagai Leviathan. Ia dapat menilep, menerkam dan mengganyang apapun lantara nafsu keji lah yang mempengaruhinya.
Dalam istilah guyonan angkringan ada isitilah, ‘wong jujur bakal ajur’ (orang jujur bakal remuk). Walaupun sebatas ndagel, namun terselip sebuah makna, bahwa menjaga kejujuran cobaannya amat besar seperit yang pernah dikisahkan, Danarto, Putu Wijaya dan Mochtar Lubis di beberapa karya sastranya.
Karya sastra sebagai menawarkan siraman kebijaksanaan laku umat manusia. Menurut Jacob Sumardjo dan Saini K.M dalam Apresiasi Kesusastraan (Gramedia Pustaka, 1986) Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusian yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keleluasaan pandangan dan bentuk yang mempesona.
Memperjuangkan kejujuran membutuhkan nyali. Adalah Senja di Jakarta yang terbit tahun 1963, dan diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia (1970). Dari akar rumput sampai birokrasi digambarkannya banyak terjadi tingdak korupsi. Tegar untuk menghadapi bersikap berarti juga kudu tegar untuk menghadapainya.
Jujur berarti tidak berpura-pura. Manusia harus mengolah rasa agar tidak menipu, memanipulasi juga mencuri. “Aku tahu aku selama ini melawan dengan sekeras-kerasnya segala godaan untuk jadi jahat. Akan tetapi jika Hasna mau rumah, dan dapat rumah hanya dengan jalan korupsi, maka aku akan Korupsi.” Sugeng dalam tokoh Senja di Jakarta harus menelan pil pahit mengikuti nafsu duniawi. Kejujuran di tengah korporasi kepegawaiannya yang korup membuat dirinya tergelincir ke dalam lubang korupsi. Alhasil ia memiliki segalanya termasuk rumah dari uang korupsi. Ia tak kuat menghadapi kemiskinan yang membelenggunya lantaran bersikap jujur.
Bukan saja Sugeng, bahkan Husein Limbara dan Raden Kaslan petinggi partai di Jakarta, dilingkupi oleh budaya kong-kalikong agar partainya tetap mentereng. Kolusi, Korupsi dan Nepotisme jadi makanan sehari-sehari. Hasil uang-uang panas itu membuat kepribadian tingkah laku mereka menjadi tak karuan. Menebas, menindas, dan bertingkah sombong tak luput jadi sandangan. Pertemuannya dengan orang-orang yang menggap korupsi sebagai perilaku yang normal, membuat mereka terbiasa dengan kejahatan yang diawali dari pemakluman terus menerus.
Kemudian cerita pendek Putu Wijaya berjudul Korupsi yang tercatut dalam Protes (Grafiti, 1994), mengisahkan tokoh Kepala Sekolah yang jujur bukan main menjalankan hidupnya penuh arif. Visi misi hidupnya sangatlah bijak. Membangun sekolah untuk mendidik dan membuat masyarakat desa jadi melek terhadap pendidikan. Walakin, kepala sekolah akhirnya di jauhi oleh orang-orang di sekitarnya lantaran sikap jujurnya begitu tebal. “Lihat, karena kejujuran kita malah tidak dapat apa-apa.” Ujar orang disekeliling Kepala Sekolah yang menggerutu. Mereka menggerutu lantaran tak dapat proyek dari pusat gara-gara Kepala Sekolah lebih memilih jujur tak muluk-muluk, lantaran fasilitas fisik sekolahnya dirasa sudah cukup, kecuali pendidikan untuk menjauhkan anak didikanya dari korupsi jadi opsi paling penting dibandingkan membangun pondasi bertembok halus.
Karya sastra mempertemukan manusia dengan kisah dan sikap, agar Manusia Indonesia betul paham mengenai peran yang harus mereka lakukan. Memerangi korupsi tak cukup dengan jujur. Konsekuensi, mentalitas dan keberanian harus ikut serta jua untuk dilibatkan lantaran korupsi sudah jadi dinasti. Perlu kita benahi, minimal dimulai dari diri sendiri.