Pada 14 November 2018, penulis dolan ke pusat buku loak di Gladak, Solo, Jawa Tengah. Duit di kantong memungkinkan mendapat sekian buku dan majalah lama.
Siang itu mendung. Kios demi kios didatangi mencari buku pantas dibaca atau digunakan dalam pengerjaan esai-esai wagu. Setumpuk majalah dan buku sudah didapatkan. Duit diberikan ke para pedagang, tak cukup. Utang pun terjadi dengan kelakar lekas dilunasi.
Di kios Entis, kejutan tercipta. Penulis cuma ingin membeli kamus Arab-Melajoe awal abad XX, buku pelajaran bahasa Inggris masa 1950-an, dan buku tentang pernikahan di Uni Soviet masa 1950-an. Si pedagang malah mengulurkan buku kecil dan tipis ke penulis.
Buku itu diberikan, bukan ditawarkan dalam nalar berdagang. Penulis menerima buku sambil mesem. Buku berjudul Pantjaran Iman terbitan Muhammadijah (Bagian Taman Pustaka) di Surakarta, 1964. Buku berisi lagu-lagu gubahan Abdoel Madjid. Buku ditujukan ke murid-murid di sekolah dasar, madrasah, dan sederajat.
Buku terpegang sambil melihat suasana di sebelah kios-kios buku bekas. Di sebelah selatan, ada alun-alun digunakan untuk sekaten. Peristiwa rutin untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad menggunakan cara Jawa-Islam. Suasana sekaten masih sepi, tak seramai tahun-tahun lalu. Para pedagang menanti pembeli. Sekaten itu tampak sendu bersama mendung. Siang sepi tapi malam mungkin ramai dengan kedatangan orang-orang dari pelbagai desa dan kota. Sekaten itu menjadi acara keramaian bagi keluarga-keluarga, sejak puluhan tahun lalu.
Bocah-bocah girang datang ke sekaten, membeli celengan, mainan, atau baju. Sekaten pun milik bocah meski berkeinginan melulu jajan. Di situ, bocah perlahan bakal mengerti maksud acara dan mengenang Nabi Muhammad secara lugu.
Di alun-alun, sekaten sedang diselenggarakan saat musim hujan datang dan politik di Indonesia semakin beringas. Di buku Pantjaran Iman, ikhtiar memuliakan Nabi Muhammad pun dibuktikan dengan gubahan lagu, bukan keramaian atau peristiwa bocah jajan. Abdoel Madjid menggubah lagu berjudul “Maulud Nabi”. Lagu berlirik religius dan sederhana:
Bulan Maulud, bulan kelahiran Nabi/ Nabi besar achir, Pesuruh Ilahi/ Pembangun dan pengandjur Islam/ Rachmad bagi ummat seluruh alam// Hai ummat Islam bangunlah sadar/ Akan pimpinan Nabimu/ Kerdja bersama, akur dan sabar/ Mengikuti djedjak Nabimu// Dunia Islam serentak memperingati/ Hari Maulud Nabi dengan riang hati/ Muhammad pangkal kesedjahteraan/ Pembasmi kemungkaran dan kedjahatan.
Lagu itu tak lagi disenandungkan bocah-bocah sudah mblenger dengan lagu-lagu cinta dan dangdut koplo.
Lirik sudah mengajak bocah mengingat biografi Nabi Muhammad dan sikap umat Islam dalam memperingatai dan meneladani sepanjang masa. Lagu cuma sanggup memberi ingatan ringkas, tak sepanjang kitab atau buku cerita. Dulu, lagu itu mungkin tandingan dari tanggapan bocah atas alunan gamelan di sekaten.
Kini, ingatan pada lagu bocah agak menjadi sangkalan bagi telinga agar tak selalu tersiksa mendengar lagu-lagu dangdut koplo atau lagu-lagu cengeng romantis di tiap-tiap kios turut meramaikan sekaten di Solo. Konon, lagu-lagu bersuara keras itu dimaksudkan mengundang pembeli dan hiburan di adegan menunggu kios sehari-semalam.
Di lagu berjudul “Nabiku Muhammad”, Abdoel Madjid melanjutkan pengenalan atau pengisahan ke bocah-bocah. Pengenalan dengan nada dan kata ingin bermakna, berbeda selera dari cerita tercetak di majalah atau buku. Lirik agak gamblang-puitis:
Nabiku Muhammad, Rasul Ilahi/ Nabiku penuntun, seluruh ummat/ Nabiku penutup, semua nabi/ Mendjadi rachmatanlilalamaien// Membawa tuntunan kitab Al Quran/ Tersusun Al Hadits, Sunnatul Rasul/ Al Quran, Al Hadits pedoman kita/ Sempurna didunia dan achirat.
Lirik lagu mungkin mirip dengan tuturan guru mengaji atau penceramah di pengajian. Bocah diajak mengenali Nabi Muhammad tanpa cerita berkepanjangan memungkinkan ada percik imajinasi. Dua lagu itu berlalu, tertinggal di masa lalu sebagai dokumentasi menanggapi pelaksanaan sekaten di Solo pada masa 1960-an.
Ikhtiar mengajak bocah memuliakan Nabi Muhammad juga dibuktikan dengan penulisan buku. Bacaan bagi bocah berupa cerita bersandarkan sejarah dan biografi mungkin berpengaruh ketimbang cuma khotbah di masjid.
Pada 1954, ikhtiar itu mewujud menjadi buku berjudul Riwajat Nabi Muhammad, buku berketerangan: “Dijteritakan untuk anak-anak oleh Sutan Muhammad Sain gelar Sutan Radjo Bangun. Buku diterbitkan oleh penerbit partikelir bukan bercap Islam: Noordhoff-Kolff NV, Jakarta. Cerita cukup panjang, 121 halaman. Sekian ilustrasi ditampilkan merangsang imajinasi bocah bergerak ke tanah Arab.
Pada masa 1950-an, jumlah bocah memiliki kemampuan membaca-menulis masih sedikit. Buku terasa mewah, memberi panggilan ke bocah menekuni kalimat demi kalimat membentuk cerita berlatar masa lalu dan bertokoh Nabi Muhammad.
Di Indonesia, buku cerita itu mendekatkan bocah pada keimanan. Biografi Nabi Muhammad dan sejarah Islam tersaji mengacu ke kitab suci dan pelbagai sumber. Di hadapan bocah, buku itu berbeda dari bacaan-cerita bersumber dari epos, folklor, atau fantasi modern.
Di halaman 26, bocah mengikuti peristiwa kelahiran Nabi Muhammad. Diceritakan detik-detik Aminah menjelang melahirkan:
“Dan kemudian ketika Muhammad akan lahir, datanglah lagi seorang malaikat jang berkata: Djika anakamu lahir, utjapkanlah kata-kata ini: Saja pohonkan perlindungan Allah, Jang Maha Esa dari pada kedjahatan orang-orang jang dengki. Berilah ia nama Muhammad, artinja jang dipudji. Sebab dengan nama itu telah diberitakan kedatangannja dalam Taurat (kitab bangsa Jahudi) dan dalam Indjil, sebab dia akan dipudji oleh sekalian machluk jang mendiami surga dan bumi.”
Bocah membaca sambil merenung serius meski agak sulit sampai ke pengertian religius. Cerita memang memikat dengan risiko bocah harus mahir bahasa dan menafsir makna.
Pada masa lalu, bocah-bocah mengenali Nabi Muhammad dengan datang bersama orangtua ke sekaten di Solo dan Jogjakarta. Mereka pun mungkin mengerti melalui pengajian di masjid atau buku pelajaran di sekolah.
Kehadiran dua buku pada masa 1950-an dan 1960-an memuat lagu dan cerita memberi siasat berbeda dalam mengajak bocah memuliakan Nabi Muhammad. Senandung merdu dengan lirik sederhana mengajak bocah bersukacita dalam meneladani Nabi Muhammad.
Cerita agak panjang dalam buku bisa dibaca berulang memungkinkan bocah membuat renungan-renungan sesuai situasi religius. Dua buku itu mengabarkan ada kerja estetika di luar rutinitas sekaten dan pengajian-pengajian akbar. Penerbitan buku terasa menetapi janji membaca-menulis dalam beriman dan mengalami abad XX sebagai abad berkemajuan. Begitu.