Bulan Zulhijah, atau Besar, tidak hanya besar nomenklaturnya. Namun, dalam bulan yang dikenal “bulan haji” ini juga besar tradisinya. Salah satunya tradisi Apitan. Dalam bulan Besar, ada tradisi Apitan yang secara historis dan filosofis menarik dipromosikan sebagai wahana mendekatkan diri kepada Tuhan, alam, dan manusia.
Masyarakat Jawa selalu mesra dengan alam sejak dulu. Kemesraan itu tidak sekadar simbolis, ritus, namun sarat akan nilai-nilai teologis karena hampir semua tradisi Islam di Jawa merupakan produk Walisongo yang sudah dibungkus dengan ajaran Islam. Tradisinya yang menyimpang dihapus, digantikan dengan nilai-nilai Islam.
Seperti contoh tradisi Apitan. Secara praktik, tradisi ini hampir sama dengan sedekah bumi, kondangan, krayahan, bancakan, gas deso, nyadran dan lainnya. Akan tetapi, secara pelaksanaan waktunya, memiliki makna menarik karena berada pada pertengahan Idulfitri dan Iduladha.
Tradisi Apitan
Di antara dua hari raya Islam, yaitu Idulfitri dan Iduladha, pelaksanaan Apitan dilakukan di berbagai daerah. Seperti contoh di Pati, Grobogan, Blora, Semarang, dan lainnya. Karena posisi waktunya terjepit, maka tradisi tersebut disebut kejepit atau Apitan atau pada bulan Zulka’dah dalam kalender Islam dan orang-orang Jawa biasa menyebutnya bulan Apit.
Selain Apitan, ada tradisi walimatul haj yang menjadi ciri khas semua umat Islam dalam ngalap berkah dengan orang yang pergi haji. Secara filosofis, Apitan sarat akan nilai estetik. Di Jawa, ketika ada pengantin, maka dipastikan ada “pengapit” yaitu anak-anak kecil perempuan cantik yang mendampingi pasangan yang menikah.
Tradisi “pengapit” ini berkembang pesat dengan pesona modernisme. Munculnya “duta wisata”, “duta bandara”, “duta mahasiswa” menjadi bukti bahwa tradisi Jawa bisa menyesuaikan modernitas. Lalu, bagaimana dengan tradisi Apitan?
Apitan atau sedekah bumi merupakan selamatan dalam rangka untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Praktik Apitan sangat beragam. Ada yang menggelar pengajian, tasyakuran di jalan-jalan desa, balai desa, musala, dan lainnya. Semua itu bertujuan untuk mensyukuri nikmat Tuhan selama satu tahun.
Apitan memang tidak terlalu terkenal seperti grebeg, nyadran, dan lainnya. Namun sebenarnya, Apitan bisa dikembangkan dengan berbagai macam cara agar bisa menyesuaikan zaman. Pertama, adanya penelitian pada aspek filosofi yang meneliti khazanah Apitan. Ini menjadi penting. Sebab, khazanah Islam Nusantara tidak boleh sekadar klaim, namun harus berdasarkan riset, ilmiah, dan data. Dari sejarah yang saya dapat, Apitan sudah ada sejak zaman Sunan Kalijaga. Namun, nomenklaturnya saja yang berbeda.
Kedua, Apitan adalah wujud keindahan. Maka dalam Apitan, keindahan itu tampak pada tatanan makanan dan minuman, tempat, dan pakaian yang dikenakan saat perayaan. Untuk itu, tradisi ini harus dikuatkan dengan promosi hasil bumi, hasil laut, kain, pakaian adat, dan budaya lainnya dengan setting lokalitas. Alasannya, lokalitas lebih seksi daripada budaya global yang sebenarnya hanya kamuflase dari konvensional menuju digital.
Ketiga, Apitan akan maju ketika ada inovasi. Artinya, jika “pengapit” menjadi simbol keindahan saat pernikahan yang kemudian berkembang pada tren duta-duta di tiap daerah, maka perlu dukungan pemerintah agar desa-desa pelestari Apitan bisa terkampanyekan lewat regulasi. Dengan demikian, Apitan bisa menjadi ciri khas dan khazanah budaya lokal yang tidak dimiliki bangsa lain.
Usaha-usaha di atas menjadi bagian dari menjaga tradisi lama tanpa menolak tradisi baru yang lebih baik. Tapi, intinya di era Revolusi Industri 4.0 ini, masyarakat Nusantara tidak boleh terkena wabah disruption (tercerabut) dari akarnya.
Teologi Apitan
Apitan sarat akan nilai-nilai uluhiyah yang tinggi. Dulu, saat saya rajin mengikuti burdahan di yayasan yang dikelolo bapak saya, banyak teman-teman saya mencibir. “Awakem burdahan terus kayak wong tuwo wae” (kamu ikut burdahan terus seperti orang tua saja). Kemudian, saya curhat dengan bapak saya, “Pak, saya malu ikut burdahan, diejek teman-teman”.
Ayah saya justru berkata lain. “Seharusnya mereka yang malu, mereka tidak memiliki budaya, kamu melestarikan budaya baik kok malu,” kata ayah saya sekira sepuluh tahun lalu.
Saya berpikir, Apitan ini salah satu tradisi khas Islam Nusantara yang jelas-jelas memiliki nilai teologi tinggi. Tidak ada orang melakukan apitan dengan nada resah dan marah. Justru, Apitan ini wujud kegembiraan, rasa syukur, dan wujud penghambaan pada Tuhan.
Orang Jawa Islam, dengan kondisi apa pun sangat pasrah dan tetap bersyukur pada Tuhan. Di Pati, daerah saya, setiap mau panen padi, pasti melakukan “wiwit” dengan memotong padi di pojok sawah. Kemudian, petani dari rumah membawa makanan berupa sego buceng, telur, kemenyan, kaca, sisir, dan lainnya. Saat di pojok sawah, petani menaruh makanan itu dan berdoa dengan khidmat.
Yang dibaca juga tidak mantra, melainkan tahlil. Ini sangat religius sekali. Namun, entah masih lestari atau tidak, saat ini jarang orang yang melakukan “wiwit” yang hakikatnya sama seperti Apitan. Namun, Apitan lebih besar karena digelar secara berjemaah sedesa/kampung.
Apitan harus dipromosikan secara budaya dan dengan pendekatan teologis. Maksudnya, saat pelaksanaan, harus ada kiai yang menjelaskan sejarah, makna, dan urgensi tradisi itu. Sebab, sangat jarang para modin/kiai di desa paham akan sejarah dan mereka serius menyampaikan.
Apalagi, ayat-ayat Allah tidak hanya qauliyah seperti Alquran. Namun juga kauniyah seperti angin, pohon, hutan, sawah, hewan, dan lainnya. Untuk itu, teologi Apitan tidak hanya didasarkan pada ayat qauliyah, namun juga menjadi penyempurna ayat kauniyah bahwa sebagai manusia, kita harus berbuat baik pada alam dan manusia.
Jika kita tidak menghormati alam, hewan, dan manusia, lalu kita ini siapa?
Salah satu praktek kesyirikan