Sedang Membaca
Urap: Sajian Sayuran Tertua Sejak Abad ke-10 M, Jadi Hidangan Harian dan Pelengkap Tumpeng

Penulis lepas, pegiat literasi, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan berminat pada kajian kuliner tradisional Nusantara. Telah menulis 60+ buku multitema. Artikelnya dimuat di berbagai koran, antara lain: Jawa Pos, Koran Jakarta, Sindo, Suara Merdeka, Solopos, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Duta Masyarakat, dan lainnya. Tinggal di Grobogan, Jawa Tengah.

Urap: Sajian Sayuran Tertua Sejak Abad ke-10 M, Jadi Hidangan Harian dan Pelengkap Tumpeng

Urap, Sajian Berbasis Sayuran Yang Telah Eksis Sejak Abad Ke 10. [foto Badiatul M. Asti]

Sejak dahulu kala, leluhur bangsa Indonesia telah memiliki tradisi literasi. Di antaranya ditunjukkan dengan ditemukannya sejumlah prasasti dan manuskrip kuno. Dari prasasti dan manuskrip itu, bisa disigi dan teroka potret kehidupan di masa lalu, termasuk khazanah kuliner yang berkembang ketika itu.

Urap disebut-sebut sebagai salah satu kuliner berbasis sayuran yang berusia sangat tua yang terus eksis hingga kini. Urap adalah sajian sayuran yang dapat ditemukan di seluruh Nusantara—terutama di Jawa, Bali, dan Sumatra—dengan berbagai versi. Urap menjadi kuliner generik lintas daerah yang menunjukkan fenomena pemanfaatan keragaman bahan (pangan lokal), meski berangkat dari entitas yang sama.

Berdasarkan daerahnya, urap juga disebut dengan beragam nama. Di Jawa, urap biasa disebut urap-urap, kulub, kuluban, atau gudangan. Di Sumatra disebut anyang. Sedangkan di Bali ada jenis urap khas yang disebut lawar.

Urap sendiri biasa diartikan sebagai “masakan berupa rebusan sayuran  seperti bayam, kacang panjang, daun ketela pohon/singkong, daun kol, taoge, wortel, dan lain-lain, yang dicampur dengan bumbu dari parutan kelapa.”

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V mengartikan urap dengan “Kelapa parut yang dibumbui untuk campuran sayur-mayur rebus, ubi, ketan, dan sebagainya”.

Bila mengacu pada makna urap di KBBI V, maka arti urap lebih merujuk pada parutan kelapa berbumbu. Sehingga, urap sebagai nama kuliner lebih pas bila disebut secara lengkap menjadi “urap sayuran”.

Dalam buku berjudul Seri Aneka Resep Santapan Nusantara: Urap (2003), Enita Sriyani menyajikan 26 resep urap dari berbagai daerah di Indonesia dengan penyebutan nama, antara lain: anyang daun pegagan, lawar kemumu, urap daun kacang, kuluban, serombotan, pelecing daun singkong, kohu-kohu masak, ulang-ulang, dan apoan sirsir.

Baca juga:  Biografi Nabi dari Yahudi Agnostik

Sayangnya, di buku tersebut, tidak disebutkan daerah asal pada setiap resep urap, sehingga pembaca tidak mengetahui resep-resep urap tersebut berasal dari mana saja. Urap, dengan berbagai variasinya, memang ada di hampir setiap daerah di Indonesia.

Setiap daerah memiliki varian bumbu dan menggunakan sayuran yang berbeda, sesuai dengan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di daerah yang bersangkutan serta sayuran yang disukai oleh penduduk setempat untuk dikonsumsi. Tapi pada umumnya, ada persamaan dalam pengolahan urap, yaitu sayuran direbus, kemudian diaduk bersama kelapa parut yang sudah diberi bumbu, baru dihidangkan.

Di Jawa, urap sayuran hadir dalam hidangan sehari-hari. Nasi urap biasa dijadikan menu sarapan di pagi hari. Urap sayuran khas Jogjakarta bahkan masuk ke dalam daftar 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Maria Elka Pangestu, pada akhir tahun 2012.

Umar Santoso, dkk dalam buku Makanan Tradisional Indonesia Seri 2, Makanan Tradisional yang Populer (2017) mencatat nasi gudangan atau sega gudang sebagai hidangan sehari-hari penduduk di beberapa sudut Kabupaten Klaten. Nasi gudangan terdiri atas nasi yang ditemani dengan gudangan, yaitu racikan sayuran yang diiris halus, lalu diberi parutan kelapa berbumbu, dan ditaburi kedelai goreng yang ditumbuk kasar. Sayuran yang umum digunakan adalah daun pepaya, taoge, kubis, wortel, daun kemangi, dan kacang panjang.

Baca juga:  Sejarah Diturunkannya Syari’at (1): Mengenal Sejarah Syari’at Islam

Riwayat urap sendiri ternyata sudah eksis sejak berabad-abad lampau, setidaknya diduga telah ada sejak abad ke-10 M. Arkeolog dari UGM Prof. Timbul Haryono dalam buku Makanan Tradisional dalam Kajian Pustaka Jawa (1997) menyatakan, kemungkinan urap adalah sajian sayuran tertua yang hingga kini masih dikonsumsi masyarakat Jawa. Hal ini dibuktikan dari sebuah prasasti dari abad ke-10 M yang menyebut kata wrak-wrak yang diartikan sebagai urap-urap, sajian khas campuran kelapa. Hingga kini, urap masih dikonsumsi sebagai sajian pendamping. Selain juga urap disajikan di samping tumpeng.

Dalam tradisi Jawa, selain sebagai hidangan sehari-hari, urap juga menjadi salah satu kudapan pelengkap tumpeng.  Menurut Ki Juru Bangun Jiwa dalam buku Panduan Kuliner Selamatan Adat Jawa (2015), urap menjadi salah satu masakan yang sebaiknya ada dalam tumpeng karena begitu bermakna. Urap sayuran mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada dalam urap adalah kangkung, bayam, taoge, dan kacang panjang.

Setiap sayur, memiliki makna filosofis sendiri-sendiri. Kangkung, misalnya, adalah sayuran yang bisa tumbuh di air dan di darat. Filosofinya, diharapkan hal itu juga bisa berlaku pada manusia yang harus bisa adaptif alias sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apapun.

Bayam adalah sayur yang melambangkan kehidupan yang ayem tentrem (aman dan damai).Lalu  taoge adalah sayur kecil yang mengandung makna kreativitas tinggi. Hanya seseorang yang kreativitasnya tinggi, bisa berhasil dalam hidupnya.

Baca juga:  Dinasti Safawiyah, Gerakan Politik yang Lahir dari Tarekat

Adapun kacang panjang, ia musti hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia pun selalu berpikir panjang sebelum bertindak, selain sebagai perlambang umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.

Salah satu tumpeng yang ada dalam tradisi Jawa adalah Tumpeng Gudangan yang merupakan salah satu hidangan dalam upacara sepasaran, yaitu selamatan yang diadakan pada waktu bayi berumur lima hari. Rr. Reki Mayangsari Tjitrowardoyo dalam buku Rahasia Masakan Legendaris Jawa (2015) menyebutkan, hidangan untuk keperluan upacara sepasaran antara lain Tumpeng Gudangan, yaitu  nasi urap dengan tujuh macam sayuran.

Sayuran yang harus ada adalah: kangkung (dibiarkan beberapa utuh) dan kacang panjang (dibiarkan beberapa utuh). Kacang panjang dan kangkung yang sebagian tidak dipotong-potong, dibiarkan memanjang apa adanya. Hal ini merupakan doa agar panjang rezeki, panjang umur, panjang usus (sabar), dan panjang akal (pintar). Sayuran lain bisa berupa sayuran apa saja: wortel, kecambah, mbayung (daun kacang panjang), daun kenikir, mentimun, kluwih, dan lain sebagainya. Semua itu dicampur bumbu kelapa muda.

Ternyata, dalam konteks orang Jawa, urap sayuran tidak hanya menyimpan jejak sejarah yang panjang, tapi juga mengandung makna filosofis yang sangat dalam. Urap sayuran tidak hanya sajian makanan, ia juga pelajaran agar manusia lebih arif dan bijak menjalani kehidupan. [*]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
4
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top