Al-Syadzili mulai menapaki perjalanan yang sesuai dengan apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah al-Syadzili di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia.
Pada saat al-Syadzili tiba di desa itu, yang mengherankan, al-Syadzili sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang al-Syadzili sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangannya. Tapi itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepadanya tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan seseorang yang sudah lama dinanti-nantikan.
Al-Syadzili tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, al-Syadzili telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. al-Syadzili ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk orang-orang. Memang tujuannya datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadahnya dengan cara menjauh dari masyarakat.
Akhirnya, al-Syadzili memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Lalu, berangkatlah al-Syadzili ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat beliau bernama Abu Muhammad ‘Abdullah bin Salamah al-Habibi, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 27). Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketakwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).
Di bukit itu, al-Syadzili melakukan riyadhah ruhaniyah dengan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, al-Syadzili gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhah, mujahadah dan menjalankan zikir dan wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh gurunya, al-Syaikh ‘Abd. al-Salam. Di bukit itu, al-Syadzili melakukan ‘uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqamah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 168).
Untuk kehidupannya, al-Syadzili bersama sahabat setianya, al-Habibi, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak al-Syadzili bermukim di bukit itu, Allah Swt. telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi keperluannya.
Pada suatu hari, al-Syadzili pernah menyaksikan gusi al-Habibi terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, al-Syadzili menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan.
Segera saja, setelah itu, al-Syadzili mengajak al- Habibi turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Sekiranya telah tercukupi, maka al-Syadzili bersama al-Habibi segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang semenjak ber‘uzlah di bukit itu, kadang-kadang ia berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 28).
Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al-Habibi, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat ‘alaihim al-shalah wa al-salam, mengerumuni al-Syadzili. Bahkan lanjut al-Habibi, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.”
Tidak jarang pula dilihat oleh al-Habibi arwah para waliyullah yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti al-Syadzili. Para wali-wali itu, rahimakumullah, dikatakan oleh al-Habibi, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan al-Syadzili, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 26-28).
Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan namanya, diceritakan olehnya, bahwa al-Syadzili pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah Swt., “Ya Rabb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku?” Lalu, dikatakan kepadaku, “Wahai ‘Ali, Aku tidak menamakan Engkau dengan nama al-Syadzili, tetapi al-Syadzili (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk-Ku dan demi cinta kepada-Ku.”
Al-Syadzili tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, al-Syadzili mendapatkan perintah dari Allah Swt. agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.
Disebutkan olehnya, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, Hai ‘Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari dirimu. Lalu, aku pun mengatakan, Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka. Lalu dikatakan kepadaku, Turunlah, wahai ‘Ali! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan Engkau dari marabahaya. Aku katakan pula, Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai? Maka, dikatakan kepadaku, Hendaklah Engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib” (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 30).
Setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat ‘uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka al-Syadzili segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.
Baginya, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja al-Syadzili bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang ia saksikan pada saat kedatangannya kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan.
Namun demikian, sejak kedatangannya, al-Syadzili juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Dalam usahanya memberikan pertolongan kepada mereka, al-Syadzili sering didatangi Nabiyullah Khidhir ‘alaihi al-salam, guna membantunya sekaligus untuk menyelamatkan diri dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunannya.