Adzan itu panggilan shalat. Kalau bedug dibuat sebagai penanda tibanya waktu shalat. Di tengah kemajuan peradaban di Jawa serta teknik metalurgi yang khas era Majapahit, bedug masuk menjadi bagian dari tradisi umat Islam, khususnya di langgar dan masjid.
Konon, bedug bagian dari jejak pengaruh Tiongkok di kebudayaan muslim Jawa. Pembawanya Laksamana Muhammad Chengho saat pelesir politik di Majapahit. Di dalam salah satu jilid novel pentalogi “Gajahmada” karya Langit Kresna Hariadi, terdapat percakapan antara Gajahmada dengan salah satu anggota teliksandi Bhayangkari tentang sebuah komunitas muslim di pesisir Jawa yang menggunakan bedug sebagai penanda waktu sembahyang.
Di Tiongkok, mereka meletakkannya di kuil. Fungsi lain, pasukan infanteri menabuhnya sebagai tambur besar yang mengiringi pasukan. Di level lain, bedug ditabuh sebagai media komunikasi perubahan strategi perang atau formasi tempur, sebagaimana kita saksikan dalam film “Red Cliff” 1 dan 2 yang epik itu.
Di Jepang, selain dipakai dalam ritual agama, juga digunakan dalam acara budaya, termasuk ketika musisi Kitaro menyertakannya dalam instrumentalia yang menghentak dan legendaris, “Matsuri”. Duh, indahnya!
Di Jawa sendiri, salah satu bedug terbesar pernah dibuat di Purworejo di era Cokronegoro I. Bedug ini dinamakan Kiai Bagelen. Dibikin tahun 1834. Bahannya terbuat dari kulit banteng Jawa dan kayu jati purba. Cokronegoro I sendiri merupakan bupati Purworejo pertama, sahabat Pangeran Diponegoro saat mondok, lalu menjadi lawannya dalam Perang Jawa. Cokronegoro I menulis “Babad Kedungkebo” yang berisi lika-liku Perang Jawa versi dirinya dan Belanda, dan menjadi manuskrip penting selain “Babad Dipanegara” yang ditulis oleh Sang Pangeran. Keren sekali, detail Perang Jawa yang ditulis oleh dua lelakon penting.
Di kemudian hari, bedug disertai dengan kentongan. Benda ini sudah menyertai masyarakat pedesaan Jawa sejak beberapa abad silam, yang digunakan sebagai media komunikasi: kebakaran, maling, bencana alam, kumpul untuk mendengar informasi dari aparat desa, kabar dukacita dll. Jumlah ketukannya berbeda-beda, disesuaikan dengan informasi yang (akan) disampaikan. Misalnya, Ketukan 5-5-5 berarti ada pencurian, 1-1-1 ada lelayu (dukacita), dll.
Berbeda dengan kentongan di samping bedug masjid yang ukurannya tidak besar, kentongan di balai desa bentuknya jumbo. Suaranya juga khas. Lebih nyaring.
Di kemudian hari, terjadi perbedaan antara umat Islam mengenai penggunaan bedug dan kentongan ini. Kaum modernis menolak, kaum muslim tradisionalis masih menggunakannya, bahkan di zaman ketika pengeras suara merajalela.
Soal polemik fiqh ini, dalam “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, Gus Dur menyuguhkan perdebatan elegan antara KH. M. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU, dengan Wakilnya, KH. Faqih Maskumambang, Gresik, terkait polemik hukum penggunaan bedug dan kentongan.
Sebagaimana diterangkan dalam karyanya, “ar Risalah al Musammah bi al Jasus fi Bayani Hukmi an Naqus“, Kiai Hasyim mengutip ikhtilaf para ulama terkait hukum menabuh kentongan dan bedug sebelum adzan. Sebagian memperbolehkan bahkan menghukuminya sunnah, sebagian lain melarang. Kitab ini ada dalam antologi karya Kiai Hasyim Asy’ari yang berjudul “Irsyadus Sari”.
Kiai Faqih Maskumambang kemudian menuliskan sanggahannya melalui karya juga. Judulnya “Hazzur Ru’us fi Radd Jasus ‘an Tahrim Naqus“. KH. Abdul Aziz Masyhuri Denanyar Jombang menemukan kembali naskah ini pada kisaran 2014. Pada 2019 naskah itu ditahqiq Ibnu Harjo al-Jawi dan kini diterbitkan Maktabah Turmusy Lit-Turats, pada tahun ini.
Demikian elegannya perdebatan ini sehingga ketika Kiai Hasyim Asy’ari berkunjung ke Gresik, Kiai Faqih memerintahkan kepada para takmir masjid untuk menurunkan kentongan dari tempatnya, semata-mata menghormati pandangan pendiri NU tersebut.
“Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut. Begitulah tata krama dalam perbedaan pendapapat yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita, suatu sikap yang harus diteladani dan dilestarikan.” demikian tulis Gus Dur dalam “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” menutup polemik produktif di antara dua ulama di atas.
Elegan, bukan?
Wallahu A’lam Bishshawab