Para ulama setia dengan dalil. Jika argumentasi orang lain dirasa kuat dan cocok dengan standar akurasi yang dianut, ia akan rujuk dari pendapatnya. Mengoreksinya ulang. Perilaku fikih yang dilakukan mujtahid haruslah apa yang sampai simpulan ijtihadnya. Sebagaimana Imam Baidhawi dalam “Minhajul Wushul“ mengatakan:
المجتهد إذا ظن الحكم وجب عليه الفتوى والعمل به
“Jika mujtahid telah zhann sebuah hukum maka wajib baginya mengamalkan juga memfatwakan hal itu.”
Fikih sangat fleksibel. Dalam fikih, pendirian ulama bisa bergeser kapan saja tergantung keakuratan sebuah dalil. Saat di Mesir, Imam Syafii merevisi nyaris seluruh pendapat lamanya dan hanya menyiskan belasan atau lebih sedikit dari angka dua puluh, konon, di antara alasannya adalah beliau baru mendapatkan hadis yang didapatkan saat di Mesir.
Imam al-Karaji Asy-Syafii w. 532 H, kendati ia seorang syafii tulen tapi oleh Imam Tajuddin as-Subki dalam Ath-Thabaqat ash-Shughra–nya disebut tak pernah kunut sebab ia zhann bahwa hadis qunut baginya tidak akurat (ghairu tsabit).
Imam al-Baghawi w. 516 H murid Imam al-Qadhi Husein adalah tokoh besar dan populer dalam mazhab Syafiiyah, sebagaimana kata Imam Razi dalam “al-Manaqib” yang dinukil oleh Imam Tajuddin as-Subki dalam “ash-Shughra“, dalam mengusap kepala beliau lebih condong ke Sadah Ahnaf yaitu cukup mengusap seperempat saja.
Belakangan Syekh Wahbah Zuhaili asy-Syafii w. 2015 M dalam hal yang membatalkan wudhu, lebih spesifiknya adalah sentuhan laki-perempuan non muhrim menyatakan tak membatalkan wudhu sebagaimana beliau sebutkan dalam “Tajdid al-Fiqh al-Islami“ yang ditulis bersama Syekh Jamal Athiyah.
Imam Syafii berpendirian jika kulit mayyitah (hewan yang tak disembelih secara legal syar’i) sama sekali tak bisa menjadi suci meskipun dengan cara disamak berdasar hadis surat Rasulullah kepada Juhainah. Sedang Imam Sufyan ats-Tsauri berpendirian kalau kulit mayyitah bisa suci dengan disamak berlandaskan hadis riwayat Ibnu Abbas yang kelak didokumentasikan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dialog terus berlanjut dan menghasilkan masing-masing dari tokoh dan imam mazhab besar itu rujuk dari pendapatnya dan mengambil pendapat lawan dialog. Imam Syafii yang awalnya bilang kalau kulit mayyitah itu tak bisa disucikan meski disamak sekalipun, kini mengatakan kalau bisa suci dengan disamak sebagaimana pendapat Imam ats-Tsauri. Sedang Imam ats-Tsauri yang pendapatnya “diambil” oleh Imam Syafii, kini justru beliau juga rujuk dari pendapatnya dan “mengambil” pendapat Imam Syafii yang menyatakan bahwa kulit mayyitah tak bisa suci meski disamak sekalipun.
“Ulama mengikuti kebenaran ketika nampak di depannya. Masing-masing punya sudut pandang dan setia dengan dalil,” komen Syekh Sayyid Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri dalam syarah “al-Yaqut an-Nafis“ dalam Bab Wasailuth Thaharah.
Anekdot populer yang berbunyi: bertukar pikiran dan pikirannya tertukar, nampak relevan dengan kisah dialog antar dua tokoh besar tersebut. Radhiyallahu ‘anil jami’.