Sedang Membaca
Bangsa yang Lahir dari Cahaya
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Bangsa yang Lahir dari Cahaya

Satu warsa belakangan ini kita sering menemui sekian banyak benturan antara agama, kebudayaan, dan peradaban. Masing-masing dari disiplin ilmu tersebut punya pendukungnya sendiri, yang keukeuh bertahan dengan pendapat bernada sumir. Apalagi mereka yang baru saja mereguk kenikmatan belajar agama, dan senang diancam dengan neraka, serta diimingi swarga loka, eh surga, maksudnya.

Pokoknya segala yang bukan datang dari padang pasir sana, harus dikenai hukum salah. Kalau bisa, berdosa, kafir, zindiq, kafir, dan sesat! Entah bagaimana pola berpikir itu mereka susun, kami selalu gagal memahaminya. Mungkin kami yang dhaif ini butuh belajar lebih banyak lagi.

Sekarang kita lupakan sekelompok orang yang ahli menilai itu. Kami akan segera masuk dan fokus pada kajian ini sahaja. Mari kita mulai dari apa yang disebut hayam. Kosa kata yang kini telah berubah bentuk jadi ‘ayam,’ sejatinya merupakan pralambang atas permulaan kehidupan dalam ruang-waktu. Keberadaan sosok ayam terkait erat dengan kehadiran matahari. Ayam adalah siloka (simbol) para leluhur yang memerantai kehidupan (leluhur) kita—dari bangsa Galuh—yang menyebut para penghulunya sebagai hyang.

Ayam adalah simbol tentang awal kehidupan setelah terbitnya matahari. Maka demikian pula dengan kehidupan manusia yang pada mulanya diawali kehidupan para leluhur (pendahulu) atau biasa disebut sebagai nenek moyang. Merekalah yang lebih dahulu melihat matahari tinimbang kita yang hidup pada zaman sekarang. Maka sebab itu, oleh para penganut agama Sunda, simbol leluhur dilambangkan dengan bentuk ayam—dan seluruh bangsa di dunia menempatkannya di atas kepala sebagai tanda penghormatan.

Agama Sunda yang meliputi wilayah Galuh Agung, menyebar luas hingga ke Skandinavia. Diduga sebagai wilayah leluhur seluruh bangsa kulit putih di Eropa. Dewa tertinggi mereka disebut Odin. Melihat gambaran Odin yang didampingi oleh anjing serta kaitannya dengan keberadaan mahluk bersayap (ayam/leluhur), mengingatkan kita kepada kisah Sangkuriang, Situmang, dan Dahyang Sumbi dalam legenda masyarakat Jawa Barat.

Di wilayah Timur Tengah, Galillea (Israel), terdapat kisah yang juga berkenaan dengan sosok ayam, yaitu ketika Yesus mengingatkan para sahabatnya tentang akan terjadi suatu kebohongan setelah selesai ayam berkokok. Artinya akan muncul ajaran palsu setelah hilangnya ajaran ayam (leluhur). Demi memperingati peristiwa tersebut, dibuatlah lambang ayam yang diletakkan di atas rumah peribadatan mereka (Nasrani). Namun seiring berjalannya waktu, lambang tersebut berubah menjadi salib. Di sisi lain, kisah penyaliban Yesus sebetulnya merupakan penanda atas kemusnahan ajaran Sunda di wilayah Galuh (Galillea/Israel).

Baca juga:  Tradisi Pukul Sapu di Maluku, Membentuk Perilaku Prososial

Ayam merupakan lambang wilayah Ratu (Karatuan atau Keraton). Pusat kemaharajaan suatu wilayah besar. Ratu adalah pelaksana kebijakan yang disampaikan oleh Rama. Dalam menjalankan sistem pemerintahannya (ketatanegaraan) Sang Ratu membawahi para raja kecil di wilayah kekuasaannya yang disebut Rasi (Karasian/Karesian) atau Datu (Kedatuan/Kedaton). Mungkin hal ini juga yang tersirat dalam Injil yang mengatakan bahwa Yesus adalah ‘anak’ tuhan atau dalam gelar kemaharajaan Galuh Agung disebut Ra-Hyang (Putra Matahari atau Titisan Matahari).

Dibalik pola perlambangan ayam itu, secara prinsip menunjukkan bahwa ajaran pemujaan kepada leluhur/hyang yang disampaikan oleh bangsa Galuh, telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di belahan Timur dan Barat bumi.

Di Cina, sebutan simbol hyang dikenal sebagai burung hong, atau burung api (burung matahari). Di Phoenicia (daerah Kanaan [Irak sekarang]) dan sekitarnya, dikenal mitologi burung api atau burung matahari yang kelak disebut sebagai Phoenix.

Di Prancis atau sekitarnya (termasuk Jerman, Belgia dll) hingga Uzbekistan, perlambangan ayam bukanlah sesuatu yang baru, bahkan hingga saat ini negara Prancis dikenal dunia dengan lambang ayam jantannya. Masyarakat Mesir kuno menempatkan Horus menjadi sesembahan tertinggi. Bagian Mata-Horus (Mata-Hari) oleh para ilmuwan Barat kelak ditafsirkan sebagai Ra. Horus, Ra (Mata Horus).

Seperti Matahari (Ra) yang menyinari bumi, Sang Ratu atau Maharaja bertugas mengawasi jalannya pemerintahan di wilayah Rasi dalam mengatur kehidupan rakyat. Perlu dipahami bahwa istilah Ratu dalam ajaran Sunda pada konsep ketatanegaraan Galuh, artinya sama dengan Maharaja dan sama sekali bukan Queen atau sosok penguasa wanita seperti yang dipahami masyarakat Barat.

Pada kaum pria di Nusantara, penghormatan kepada leluhur dilambangkan dalam bentuk ikat kepala (iket). Bagi mereka ikat kepala tidak sama dengan tutup kepala (topi) yang bersifat fungsional, namun perlambangan dari jawer (jambul) ayam jago atau ayam jantan.

Baca juga:  Jelang Ramadan: Tradisi Munggahan dalam Masyarakat Sunda

Bentuk inilah yang kemudian jadi cikal-bakal adanya maha-kota -> mahkota di seantero dunia sebagai penanda seorang pemangku kekuasaan (pemimpin dan pemerintah) dengan pengertian bahwa; pemakai iket adalah seseorang yang diberkati oleh para leluhur untuk memimpin negara; bagi kepala rumah tangga menjadi pemimpin keluarga; dan bagi perseorangan sebagai pemimpin diri sendiri.

Negara Islam Sunda

Lema Sunda dalam subjudul itu tidak sama dengan perwakilan suku dari barat Jawa, tapi mengarah pada pelanjut trah Atlantis yang mendiami Benua Sundalandia. Lain waktu kita akan mengkajinya secara menjeluk. Mari kita lanjutkan pembahasan. Negeri cincin api ini sudah mengenal Islam sejak tahun 1 Hijriyah. Rakryan Sancang lah yang menyebarkannya dengan memakai bahasa yang mudah dimengerti pada masa itu — sewaktu Alquran belum lagi dimushafkan (dibukukan).

Manakala Islam mendarat di pelabuhan-pelabuhan utama kita kala itu, seperti Sunda Kelapa misalnya, ajaran tauhid agama Samawi terakhir ini sudah menemukan ruang dialognya dalam ‘Manunggaling kawulo Gusti,’ ‘Mulih ka Jati mulang ka Asal,’ ‘Tan keno kiniro, tan keno kinoyo ngopo.’ Kata ‘hyang’ dalam Sansekerta berarti Allah Dzat Maha Sempurna yang pernah dikenal oleh orang-orang  Sunda buhun—masih dapat dikenali beberapa di antaranya:

Hyang Jatiniskala = Al Baathin = Maha Ghâib; Hyang Weruh = Al ‘Alim = Mahamengetahui; Hyang Wenang = Al Malik = Mahamenguasai; Hyang Wreti = Ar Rosyid = Maha pandai; Hyang Manon = Al Wahid = Maha Tunggal; Hyang Jagra = Al Muhaimin = Mahapelindung; Hyang Kreta = As Salam = Maha Sejahtera; Hyang Syanu = Al Muhyi = Mahamenghidupkan; Hyang Taraju = Al Adlu = Maha Adil;

Hyang Siksa = Al Muntaqim = Mahapembalas; Hyang Wening = Al Quddus = Maha Suci; Hyang Mahasarira = Al Adzim = Maha Agung; Hyang Waas = Al Bashiir = Mahamelihat; Hyang Nistemen = Al Kholiq = Mahapencipta; Hyang Murba wisesa = Al Azis = Maha Perkasa; Hyang Seda = Al Mumit = Mahamematikan; Hyang Ulas = Al Hamid = Maha Terpuji; Hyang Pramana = Al Khobir = Maha Waspada; Hyang Tuna Ruwung = Al Jabbar = Mahamemaksa.

Kata parahyangan yang sampai kini lazim kita ucapkan dan didengar, sama artinya dengan tempat berserah diri. Sejajar dengan ajaran Islam yang datang kemudian pada Abad ke-7 Masehi, ketika dinasti agung Syailendra merampungkan bangunan megah pusat dunia: Borobudur.

Baca juga:  Kaum Santri Zaman Now

Apakah benar peradaban yang sanggup merancang bangunan empat dimensi adalah penyembah totem, pepohonan dan atau arwah? Dalam tatar Sunda, dewa/deva itu artinya pemimpin atau raja, bukan personifikasi Tuhan sebagaimana yang dituduhkan kolonial Belanda selama ini. Dewata Bakti ka Hyang. Pemimpin mengabdi kepada Gusti Allah.

Setelah Rakryan dari Sancang meninggalkan tatar Sunda dan menikah dengan perempuan dari Suku Hui yang sudah diislamkan, maka Taruma Nagara diubah menjadi Negara Selam Sunda atau Negara Islam Sunda oleh Prabu Tarus Bawa. Pelantikannya berlangsung tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591 Çaka Sunda. Sekira 689 Masehi/690 Masehi.

Anda pernah bertandang ke Panjalu dan mengikuti upacara adat Nyangku?

Kami beroleh keterangan dari Syeikh Fadil al Jaelani, asal Turki, yang masih keturunan dari Sulthan al Awliya Syeikh Abdul Qadir al Jilani, bahwa Bagindha Ngali (‘Ali bin Abi Thalib kw) pernah tinggal di Panjalu dan meninggalkan beberapa pedang, pusaka, jubah, beberapa kitab, dan peninggalan lain.

Ketika tiba di Panjalu pada 2018, tiga bulan menjelang Nyangku, Syeikh Fadil menangis tersedu sedan menciumi peninggalan datuknya itu. Digelayuti rasa penasaran, ia pun mencari rujukan kitab kuno di museum Turki, berjudul Arachbiliyyah atau Archipelago alias Nuswantara.

Kitab ini adalah salah satu rujukan eskatologis kalangan Syiah, yakni tentang keterangan-keterangan ‘Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib mengenai akhir zaman. Pada halaman 354, ketika bicara tentang kawasan Asia di akhir zaman, disebutkan bahwa,

“Di sana ada negeri yang dihuni banyak penduduk. Orang-orang dari luar negeri mereka banyak bermigrasi ke sana. Mereka tidak bicara bahasa Arab, namun mereka baik dan fasih membaca Alquran. Banyak gunung-gunung besar. Pulau-pulau di lautannya berjumlah ribuan, dan keturunan kita banyak bertebaran di negeri yang sering mengalami gempa bumi itu.”

Menurut Anda negeri apakah yang dimaksud oleh pengarang kitab itu, dan di manakah letaknya? Silakan tafsirkan sendiri.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top