Ada dua anggapan umum yang lazim ditemui di masyarakat Muslim Indonesia terkait kreativitas atau seni visual. Pertama, anggapan bahwa kalau kita menggambar, nanti di akhirat kita akan diminta untuk memberi gambar tersebut nyawa. Waktu kecil, kalau sehabis menggambar tokoh tertentu, saya biasanya mencoret kaki si tokoh tersebut karena khawatir akan dikejar-kejar di Akhirat. Ketakutan itu juga, sepertinya, yang turut membentuk ketidakmauan menggambar/melukis.
Kedua, anggapan bahwa kalau ada gambar/foto/patung di rumah kita, Malaikat tidak akan mau masuk. Kalau Malaikat tidak mau masuk, nanti rumah kita jadi kekurangan cahaya. Maka dulu ketika sedang fanatik-fanatiknya ke sepak bola, saya dan kakak saya tidak berani pasang poster pemain bola sembarang. Apalagi di kamar. Paling banter, ditaruh di loteng rumah tempat kami biasa mendengarkan radio.
Seiring waktu, saya sering bertanya-tanya soal menggambar ini. Bukan dalam konteks apakah betul menggambar haram, tetapi dalam konteks jika iya menggambar haram, apakah itu artinya Allah membatasi aktualisasi kreativitas? Jika ya, kenapa Allah memberikan kita potensi dan citra-rasa seni jika itu malah dibatasi dan dilarang?
Hukum Menggambar
Hari ini, sebagian pertanyaan itu terjawab melalui video edukasi Channel Youtube “Bener Gitu?”. Di sini: https://www.youtube.com/watch?v=w3bm_BqYsLU kreator videonya menjelaskan dengan gamblang kenapa ada anggapan umum yang negatif tentang seni visual dan aktivitas menggambar. Salah satu hadist yang biasa dijadikan justifikasi narasi ini berbunyi: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat. Kepada mereka dikatakan: hidupkanlah apa-apa yang kamu buat itu.”
Tapi ternyata hadits tersebut bukan satu-satunya hadits tentang seni visual, baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, ada cerita mengenai Siti Aisyah yang bermain boneka di dekat Nabi. Dan Nabi tidak pernah melarang. Sehingga dari riwayat tersebut, sebagian orang membolehkan menggambar. Ada pula cerita mengenai Nabi Sulaiman yang membuat gedung dan patung (QS Saba: 13). Lalu bagaimana kita menempatkan dalil dan riwayat yang seolah-olah bertolak-belakang?
Ada dua cara. Pertama, istiqra ma’nawi. Yaitu mengumpulkan beberapa dalil tentang suatu persoalan sehingga menghasilkan dalil yang utuh. Kedua, dengan bersandar pada salah satu kaidah ushul fiqh yang berbunyi: al=hukmu yaduuru ma’aa illatihi. Suatu hukum ditentukan oleh ilat-nya (penyebab intinya). Dari sini kemudian kita melihat kembali konteks larangan menggambar.
Jika kita lihat konteks masyarakat dan zaman tempat hukum tersebut diterbitkan, kita akan menyadari bahwa masyarakat Muslim baru saja keluar dari jerat jahiliyyah yang salah satunya ditunjukkan dengan penghambaan terhadap gambar dan patung. Oleh karena Nabi khawatir keimanan umat akan goyah, maka Nabi mengharamkan menggambar.
Pertanyaannya: apakah kultur dan konteks zaman ini juga serupa? Di mana orang melihat gambar atau patung maka akan timbul dorong memberhalakan? Jawabannya: tidak. Apalagi teknologi memberi ruang bagi aktivitas menggambar ini untuk menjadi sangat sentral. Termasuk sebagai pendekatan dakwah. Jika ilat-nya sudah berubah berarti hukumnya juga berubah, bukan?
Dengan demikian, berarti Allah sebetulnya tidak membatasi kreativitas kita, kecuali dengan satu prinsip bahwa apapun yang kita buat tidak boleh merugikan orang lain, tidak boleh memalingkan wajah kita dari Allah. Situasi ini mirip dengan musik yang jika digunakan untuk kebaikan, maka dia menjadi baik. Lagipula Allah itu maha indah dan menyukai keindahan.
Kreativitas “Bener Gitu?”
Salah satu kreativitas yang menggunakan seni gambar sebagai medium untuk dakwah adalah channel “Bener Gitu?” itu sendiri. Alhasil, sesuatu yang berat dapat disajikan secara komprehensif, dalam waktu yang relatif sebentar, dengan visual yang bikin nyaman. HaL-hal seperti ini yang sebetulnya butuh untuk diakomodasi lebih optimal. Bahwa Islam sebetulnya cocok dengan segala zaman, dan untuk membedah dan menemukan kompatibilitas itu diperlukan kontekstualisasi.
Dengan kontekstualisasi, suatu hukum, fatwa, dalil, ditelaah sebagai suatu hal yang tidak berdiri sendiri. Alih-alih, terikat dan bisa jadi merupakan ekses dari kultur, situasi sosial, dan politik. Tanpa kontekstualisasi, kita akan gagal menemukan relevansi suatu hukum dengan peradaban hari ini. Yang ada malah hukum diterjemahkan secara ahistoris dan literlek sehingga rentan menimbulkan kesalahtafsiran.
Yang juga menarik dari “Bener Gitu?” adalah struktur penceritaan yang kuat secara storytelling, tetapi juga mengedepankan aspek ilmiah dan keagamaan, sehingga kontennya menjadi berimbang dan mudah dipahami. Akan sulit kita membayangkan konten serupa ini jika kita terjebak pada tekstualisme beragama, karena dalam perspektif ini, yang menggambar akan masuk neraka–dan bahwa kreativitas memang berbatas secara ketat.