Ngebul curug Cikapundung,
cai tiguling teu éling,
séabna ayeub-ayeuhan,
cai mulang cai malik,
leumpang laun reureundahan,
taya kalali kaéling
Mengepul jeram Cikapundung
tak sadar air terguling
gemuruh deras menerjang
ke hilir balik ke hulu
beralun-alun mengalir pelan
tidak ingat tidak siuman
Kinanti Ngandika Gusti H. Hasan Mustapa (1852-1930)
Ajip Rosidi mula-mula bertemu dengan Haji Hasan Mustapa di majalah Warga, selain itu Ajip dan kawan-kawan sering pula membahas Haji Hasan Mustapa pada percakapan panjang di rumah Utuy T. Sontani. Di majalah Warga kadang dimuat beberapa guguritan karya H. Hasan Mustapa yang dikirim oleh seseorang yang bersembunyi di balik nama “Bapa Kolot Sorangan” (Bapa Tua Sendiri). Guguritan adalah puisi tradisional Sunda yang terpengaruhi macapat jawa.
Ajip sangat terpukau dengan kualitas puisi guguritan H. Hasan Mustapa. Jika kita ingin merangkai guguritan ada beberapa aturan tertentu yang harus kita patuhi, dua diantaranya: satu ketentuan banyaknya suku kata tiap baris, dua ketentuan vokal ujung masing-masing barisnya. Tak jarang pengarang guguritan hanya sekadar membuat ‘kerajinan’, sekadar mencocok-cokan kata, kalaupun tidak, banyak kata yang direduksi, sangat jauh nilai puitisnya. Sedangkan guguritan H. Hasan Mustapa tidak, dia sangat plastis dalam menggunakan bahasa Sunda untuk merakai guguritan. Selain itu, tema guguritan H. Hasan Mustapa lain dari pada yang lain, biasnaya gugugritan berisikan nasihat atau gambaran keindahan alam atau semacamnya, sedangkan isi geguritan H. Hasan Mustapa lebih berupa renungan tentang hakikat hidup.
Puisi di atas, pada awal tulisan ini, diambil dari buku Hidup Tanpa Izajah–autobiografi Ajip Rosidi yang tebalnya lebih dari sealaf–ditempatkan pada halaman kedua setelah halam judul. Menurut Ajip baris pertama guguritan ini, H. Hasan Mustapa menceritakan tentang airterjun Cikapundung yang airnya mengepul. Namun, pada baris kedua dan seterusnya, bukan hanya gambaran Curug Cikapundung tapi juga rangkaian alegoris tentang lambat, riuh, gemuruh kehidupan manusia. Semua itu ditulis secara spontan dan plastis, tanpa merasa rigid oleh aturan guguritan yang ketat.
Namun pada akhirnya hubungan Ajip dan H. Hasan Mustapa bukan sekadar antara penulis dan penikmat sastra. Interaksi Haji Hasan Mustapa dan Ajip Rosidi mungkin ibarat Hafez bagi masyrakat Persia. Seperti tergambar pada tulisan Mbak Afifah Ahmad “…. Intinya, Hafez ini juga penyair sufistik yang diyakini memiliki makam spiritual yang tinggi. Masyarakat Persia sangat mengaguminya, bahkan mengalahkan posisi Rumi. Di hampir tiap rumah, buku Hafez dengan mudah bisa ditemukan.” tulisan ini saya kutip dari status Mbak Afi tertangal empat Juli lalu, atas seizin beliau. Jika ingin tahu siapa itu Hafez sila baca di buku Road to Persia, begitu kata Mbak Afi.
Saking kuatnya pengaruh Sang Sufi Sunda kawan karib Snouck Hurgronje itu, pada diri Ajip. Ajip sering menggunakan karya H. Hasan Mustapa untuk “istikharah ringan”–kalau kita meminjam istilah Mbak Afi dalam menceritakan interaksi masyarakt Persia dan Hafez–. Sebagai bukti, paling tidak ada satu kisah yang sangat menarik di Hidup Tanpa Ijazah.
Kala itu lumbung padi Jawa Barat, Karawang, kebanjiran. Harga beras jadi melambung tinggi, imbasnya sampai Jatiwangi. Ajip, istrinya Empat serta keluarga sedang tinggal di Jatiwangi. Persediaan beras kian menipis, pos wesel dari majalah Siasat belum datang. Ajip waktu itu hanya mememiliki sumber keuangan dari honorarium tulisan. Sampai pada titik nadir, dimana persedian beras hanya cukup untuk makan siang, malam tak tahu akan makan apa.
“Kalau sudah tak tahu lagi hendak berbuat apa, aku biasanya mengambil guguritan H. Hasan Mustapa, lalu dengan suara yang sembér menyenandungkan téks puisi yang mémang sangat aku sukai. Seperti biasa Empat mengéjékku karena suaraku tak sedap buat telinganya. Tapi aku tidak peduli.” begitu kata Ajip.
Menjelang sore ada tetangganya yang datang, Mang Abun, menawarkan beras. Dia hendak menyunati anaknya bulan depan. Jadi, uangnya bisa dibayar bulan depan. Kalau ada uang sekarang pun dia akan menolak, karena khawatir habis dipakai keperluan yang lain.
Mang Abun adalah penjaga sekolah. Sebagai pegawai negeri saban bulan dia memperoleh beras pembagian yang dibeli dengan harga khusus. Kadang-kadang beras pembagian itu dijual lagi kepada Ajip. Kata Ajip:
“Aku merenung: dalam situasi kritis yang aku sendiri tidak tahu jalan keluarnya, tiba-tiba saja ada orang seperti Mang Abun—penjaga sekolah yang penghasilannya tidak seberapa—datang memberikan pertolongan. Siapa akan mengira aku yang di Jatiwangi dianggap kaya pada saat yang sulit ditolong oléh orang seperti Mang Abun? Bukankah itu merupakan ilustrasi yang baik sekali buat bait-bait guguritan H. Hasan Mustapa yang berbunyi “rejeki tara pahili, bagja teu paala-ala, alangkara teu kabarti“? Rejeki sudah ditentukan dan tidak akan tertukar dengan rejeki orang lain, yang kadang-kadang jalannya tak masuk akal. Tapi siapa yang mengatur rejeki? Jawabnya kuperoléh dari agama yang kupeluk, “Allah. Allah yang mengatur rejeki makhluk-Nya.”
Ada juga di bukun lain, yang menerangkan, bahwa mula-mula Ajip beritikad melaksanakan syariat Islam sehari-hari, karena dipengaruhi oleh Haji Hasan Mustapa, seorang yang sudah lama meninggal sebelum Ajip lahir. Untuk yang ini, mungkin saya akan bahas di tulisan lain.