Sedang Membaca
Ihya Ulumiddin, Tempat “Berhenti” Ulil Abshar Abdalla
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ihya Ulumiddin, Tempat “Berhenti” Ulil Abshar Abdalla

  • Ulil Abshar Abdalla lebih kesohor sebagai seorang dedengkot Jaringan Islam Liberal. Kini, dia kembali menyuntuki khazanah kerohanian.

Begitu melihat kamera bertumpu pada tripod, dia segera beringsut dari kursi. Tetapi, secepat kepergiannya tadi, dia kembali. Kali ini di kepalanya sudah terpasang belangkon. Topi berbahan batik yang dua tahun belakangan kerap dia pakai saat tampil di muka khalayak.

Yang baru padanya bukan cuma gaya kultural khas Jawa itu. Tapi juga menyangkut satu rutinnya. Sejak 2016, mantan Direktur Freedom Institute itu mengampu pengajian secara daring. Kitab dibahas pun tak main-main. Sebuah magnus opus dari cendekiawan muslim Persia, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, berjudul Ihya Ulumiddin.

“Kalau di pesantren, ngaji Ihya sudah tradisi berabad-abad. Saya hanya melanjutkan tradisi ini saja. Tidak mengklaim sebagai guru. Hanya sebagai fasilitator. Saya fasilitasi orang-orang yang ingin mengenal tradisi Islam,” ujarnya kepada Beritagar.id, Selasa (21/5), di kediamannya di kawasan Pondok Gede, Bekasi.

Ulil Abshar Abdalla yang siang itu bersarung berbicara dengan latar belakang pigura Nahdlatul Ulama dan K.H. Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Di hadapannya terdapat buku Ihya dalam bahasa Arab terbitan Darul Minhaj, Jeddah. Menurutnya, cetakan itu edisi terbaik karena sudah diteliti lewat banyak perbandingan manuskrip.

Selain mengajukan Ihya Ulumiddin kepada masyarakat, Februari lalu dia meluncurkan Menjadi Manusia Rohani. Sebuah buku berisi uraian atas sejumlah aforisma kebijaksanaan seorang tokoh Tarekat Syadziliyah, Ibnu Athaillah As-Sakandari, yang kekal dalam mahakaryanya, Al Hikam.

Di kalangan pesantren, kedua kitab disebut di muka tergolong berwibawa. Lazim dikaji di hadapan mereka yang telah sarat pengalaman, punya pengetahuan lanjutan, dan akhlak tak murahan. Sebab, memahaminya bukan perkara mudah. Apalagi menjalaninya.

Lantas, bagaimana bisa seseorang yang pemikirannya oleh banyak kalangan dipandang telah mengakali agama kini justru fasih memperkenalkan karya klasik kerohanian Islam kepada orang banyak?

Menurut Ulil, kritik wacana memang kemungkinan besar bakal melahirkan kontroversi. Beda dari ilmu-ilmu rohani, yang membuat orang merasa, dalam kata-katanya, diayomi. Dan kini, katanya, dia “masuk ke dalam tahap mengenalkan tradisi spiritualitas kepada publik”.

Walau demikian, bukan berarti Ulil baru mengenal Al Hikam dan Ihya Ulumiddin. Pertautannya dengan dua kitab itu sudah berlangsung puluhan tahun lalu. Bermula sejak dia masih menjadi santri di kampung halamannya di pesisir utara Jawa Tengah.

Pertemuan pertama dengan Hikam terjadi waktu usianya masih 12 atau 13, saat masih intens belajar nahwu dan sharaf (tata bahasa Arab). Di pesantren pula pria kelahiran 1967 itu menggandrungi karya-karya Al Ghazali, termasuk Ihya Ulumiddin.

Namun, keintiman dengan dunia kejiwaan agama itu di belakang hari sedikit terantuk oleh semangat personal yang besar untuk menyemai rasionalitas. Haluan Ulil jelas: menumbuhkan sikap kritis. Sebuah sikap yang akhirnya banyak disalahpahami. Padahal secara prinsip, sikap begitu dianggap sanggup menghindarkan seseorang dari laku beragama secara banal.

Mengenai pilihan tersebut, K.H. Abdurrahman Wahid pernah punya dalih. Dengan ringan, tokoh yang lebih dikenal sebagai Gus Dur itu menyebut Ulil tengah melakukan pembaruan. Sesuatu yang, dalam hematnya, sudah biasa di lingkungan NU.

Mantan Presiden Indonesia itu mendasarkan omongannya pada asam garam yang pernah dicicipinya sendiri. Juga tentu meminjam pengalaman ayahandanya, K.H. Abdul Wahid Hasyim.

Pernyataan disampaikan 14 tahun lalu dalam acara peluncuran dan diskusi buku karya Ulil, Menjadi Muslim Liberal. Pada paruh pertama dasawarsa 2000-an, banyak pihak lagi demen-demennya melepaskan panah-panah kecaman kepada Ulil. Pasalnya tunggal: Aktivitasnya di Jaringan Islam Liberal (JIL), sebuah forum longgar yang mengupayakan keterbukaan dalam eksplorasi gagasan keislaman di Indonesia.

Baca juga:  Kisah Singkat Imam Al-Ghazali

Karena JIL, hal biasa di kalangan nahdliyin berubah luar biasa. Itu karena Ulil Abshar Abdalla, kata Gus Dur, kadung memasang label diri. Menyetempel dadanya dengan cap liberal. Pelabelan itu seperti menggores perasaan para warga NU yang “masih mengikuti cara berpikir lama”. Sedangkan, kata Gus Dur lagi, Ulil “memiliki potensi besar untuk menjadi pimpinan yang diakui semua pihak”.

Label itu pula yang menjadi sandungan saat Ulil mencoba bersaing dalam pemilihan Ketua Umum PBNU. Dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, sembilan tahun lalu, Ulil gagal meyakinkan para peserta. Dia hanya meraih 22 dari 503 suara. Peraih suara terbanyak ketika itu K.H. Said Aqil Siradj.

Muktamar itu membuatnya kecewa. Bukan karena kalah tanding, tapi tak ada tawaran sama sekali untuk menjadi pengurus. Penolakan tersebab label JIL teramat keras.

Karena itu, ketika Partai Demokrat memberikan tawaran bergabung, dia mengangguk. Langsung saja. Tanpa tujuan mentereng. Semata mencari obat kecil hati. Itu pun tak lama. Sekitar empat tahun lalu, dia tidak lagi di sana.

“Hukum besi politik di Indonesia memang tidak bisa diingkari. Kalau tidak punya resource uang yang cukup, enggak bisa do something. Ironis. Pada akhirnya demokrasi menjadi demokrasi uang. Saya sedih sekali. Kalau enggak punya uang atau bukan anaknya orang yang enggak punya trah politik, susah,” ujarnya.

Bertahun-tahun setelah masa penuh gelora, Ulil mengetengahkan retrospeksi di akun Facebook. Tulisannya mengandung otokritik. Menurutnya, kaum pembaharu yang memberikan tanggapan atas tradisi dalam Islam semestinya memiliki dimensi spiritualitas. Tujuannya untuk menetaskan kerendahan hati. Sebab tanpanya, arogansi bisa mengapung.

“Saya pernah mengalami fase arogansi semacam ini,” tulisnya, “sebagian besar karena pengaruh munculnya tendensi-tendensi pemikiran keagamaan yang radikal dan cenderung fundamentalistik yang membuat saya marah dan jengkel. Fase arogansi yang pernah menjangkiti saya ini mungkin dipengaruhi juga oleh semacam semangat kemudaan yang menggebu-gebu”.

Sebenarnya, Ulil sudah terpapar pemikiran kritis wacana keagamaan sejak mondok di Kajen, sebuah daerah dataran tinggi di Pati, Jawa Tengah. Sumbernya adalah artikel-artikel dari media massa yang ditulis oleh–atau berkisah tentang–Gus Dur dan Nurcholish Madjid, para raksasa pemikir urusan keislaman di Indonesia.

Karena miskin, sumber informasi rata-rata dia dapat dari koran dinding madrasah yang memuat berita-berita dari harian berbasis di Jakarta, Kompas. Sialnya, lokasi komunal itu acap kali padat manusia seiring kian meningginya matahari. Maka, satu kebiasaannya adalah datang paling awal demi mencari “berita-berita tentang Gus Dur di rubrik Nasional. Gus Dur ngomong apa tentang dialog antaragama”.

Ulil juga sering mengumpulkan fotokopi tulisan-tulisan Gus Dur dan Cak Nur, panggilan Nurcholish, lalu membacanya berulang-ulang. Kadang, pemikiran keduanya membuat kepalanya berdenyut-denyut karena tak paham. Namun, karena tak banyak yang bisa dibaca, maka dia seperti menikmati ketidakmengertiannya.

“Dulu saya enggak paham, tapi tetap senang. Sekarang orang enggak paham, tapi benci. Kita memandang mereka penuh kekaguman, meski kadang-kadang bertentangan dengan ilmu dan tradisi kita,” ujarnya.

Masa mondok, dan nostalgia tembang Jawa

Meski tinggal di sebuah kampung Jawa yang belum intens mengalami modernisasi dan masih dihuni banyak abangan, lingkungan santri membatasi Ulil untuk getol bersentuhan dengan budaya setempat seperti wayang atau gending mocopatan.

Baca juga:  Berziarah di Kota Mati

Ia terbawa ke ruang itu semata karena luasnya lingkaran pertemanan. Karenanya, pada waktu tertentu, dia bisa menonton wayang atau kentrung. Sering pula ketika malam dan desa yang belum tersambung listrik itu sudah mematikan lampu minyak, Ulil dapat mendengar di kejauhan suara orang menembang beriring gamelan.

Di pesantren, Ulil hanya mengenal pintu untuk mereguk ilmu. Dengan salah satu kunci pintu dipegang oleh ayahnya sendiri: K.H. Abdullah Rifai’i. Sosok yang begitu mencintai tata bahasa Arab, penikmat lagu-lagu Umi Kulsum, dan menjadi “guru terbesar” Ulil.

Ayahnya memimpin Mansajul Ulum, sebuah pesantren kecil di Pati, tempat Ulil belajar untuk kali pertama. Melaluinya, Ulil ditempa dengan keras. Dengan waktu tidur teramat sedikit. Bangun pukul empat pagi, dan baru berangkat tidur kadang pukul 22.

Jika Ramadan tiba, waktu istirahat kian pendek. Sebab, tingginya intensitas kegiatan bikin santri harus terjaga hingga lewat tengah malam. Dengan ritus semacam itu, Abdullah Rifa’i menempanya agar menguasai bahasa Arab.

“Tata bahasa mengajarkan orang untuk ketika memahami suatu teks teliti sekali. Setiap kata diurai. Dirunut. Ketat sekali. Membutuhkan semacam kecakapan matematika. Logis. Kalau begini, maka begini. Itu menjadi dasar untuk seluruh ilmu yang ada di pesantren. Saya berutang besar pada ayah saya pada model kedisplinan seperti itu,” katanya.

Kadang, saking padatnya waktu belajar, kesempatan untuk mengatupkan mata muncul justru ketika mengaji. Bukan keistimewaan kalau banyak halaman kitab para santri–termasuk Ulil–tercetak bekas liur.

Para pengajar jelas tak seberuntung santri-santri. Sebab, mereka tak mungkin tidur saat ada kelas. Apalagi bulan puasa. Kitab dikaji secara maraton selama sekitar 20 hari, setiap hari, mulai pagi hingga larut malam.

“Kiai ngaji itu kadang dari jam tujuh. Siang break salat zuhur. Lalu ngaji lagi. Break ashar, ngaji lagi sampai buka. Break, lalu tarawih. Selesai tarawih, ngaji lagi sampai jam 12 malam,” Ulil bilang.

Untuk menyiasati rasa jenuh dan lelah, para kiai–termasuk ayahnya–biasa membaca kitab dengan dilagukan dengan meminjam melodi tembang Jawa.

Bertahun-tahun kemudian, dalam deraan macet berkilo-kilo di Jakarta, endapan pengalaman audio tersebut menyembul. Ulil ingat saat itu tengah menuju kantornya di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Sekitar 9-10 tahun lalu. Panas begitu terik, dan dia menyetir sendiri. Karena berbarengan dengan Ramadan, situasi tersebut jadi bikin keki.

Lalu, dia spontan melafalkan hafalannya akan firman-firman Tuhan dengan langgam itu. Rata-rata bacaan dia ambil dari Juz Amma. Atau beberapa ayat dari Al Baqarah dan Ar Rahman. Ketika mendarasnya, Ulil merasa nikmat. Plong. Waktu yang seakan mengendur pun sontak mengerut.

“Tahu-tahu sudah di kantor. Lalu saya rekam di handphone, saya upload di Sound Cloud, saya share. Di luar dugaan, banyak yang suka,” katanya.

Sejak itu, Ulil senantiasa memakai langgam Jawa saat membaca Alquran. Rekaman bacaan itu pun kadang dia putar saat berada di rumah. Disimak setelah semua lampu dipadamkan. Mengangkut kembali kenangan sewaktu masih di desa.

“Atau misalnya punya acara di luar kota dan saya kesulitan tidur, saya bawa rekaman saya sendiri dan saya dengarkan. Itu langsung membuat saya cepat tidur,” ujarnya.

Kunci kedua diberikan oleh K.H. Ahmad Sahal Mahfudz, mantan Rais Aam PBNU selama dua periode, ahli teori hukum Islam. Menurut Ulil, Kiai Sahal pada zaman itu termasuk sosok langka di kalangan pesantren karena telah memiliki kesadaran mengenai pentingnya mempelajari sejarah dalam pemikiran hukum.

Baca juga:  Sejarah Kiai Ahmad Dahlan dalam dunia Jurnalistik

Kepadanya Ulil tamat mengaji sebuah kitab ushul fiqih. Berguru setahun di Kajen, Pati. Sepenuhnya dalam bahasa Arab. Seperti layaknya perkuliahan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Hatinya jelas membesar karena sebagai ‘santri kampung’, Ulil tak pernah melihat dunia luar. Jagat terjauhnya saat itu cuma kota kabupaten, yang jaraknya dari Cebolek, tempat tinggalnya, sekitar setengah jam dengan menumpang angkutan umum. K.H. Ahmad Sahal Mahfudz membawanya berkelana secara intelektual ke mana-mana, melampaui batas daerah yang sanggup dia indra.

“Beliau kiai yang menjadi jendela saya untuk melihat dunia luar. Bacaannya luar biasa. Penguasaan literaturnya dahsyat. Beliau yang mengenalkan saya ke bahasa Arab modern dan berpikir secara metodologis,” katanya. “Bahasa Indonesianya keren. Penguasaan terhadap informasi-informasi dan ilmu-ilmu baru yang berkembang di luar pesantren juga keren”.

Ngaji Ihya Ulumiddin

Kerinduan akan model belajar-mengajar ala pesantren tradisional menjadi pemicunya untuk mengaji Ihya. Niatnya adalah mengenalkan produk klasik pengetahuan Islam secara mendalam dan juga bisa diakses banyak orang.

Ihya dipilih karena dirasa bisa menawarkan cara beragama di era penuh perubahan cepat. Memang ada bagian-bagian yang sulit ditangkap, tapi secara garis besar bisa dipahami. Harapannya, Ihya memungkinkan seseorang untuk mengelak dari pemahaman keagamaan dangkal, politis, dan mudah menimbulkan kemarahan-kemarahan tak perlu.

“Saat ini kita di Indonesia menyaksikan satu kebangkitan agama, terutama Islam, yang semangatnya bukan rohaniah, tapi identitas. Islam seperti ini berbahaya. Bagi Al Ghazali, itu merupakan tanda kematian agama. Itu sebabnya kitab itu berjudul Ihya Ulumiddin. Menghidupkan Ilmu-ilmu agama,” ujarnya.

Salah satu isinya menyangkut jenis orang yang punya kapasitas sebagai pengingat. Al Ghazali menyebutnya shadiqun shaduqun atawa “teman yang jujur,” kata Ulil. Orang bertipe ini ketika mengingatkan tak bermaksud menjelek-jelekkan atau menghakimi. Karenanya, kecil kemungkinan bakal muncul ketegangan sosial.

“Ilmu-ilmu semacam ini tidak banyak kita dengar di dalam wacana keagamaan yang disebarkan di masyarakat,” ujarnya.

Bagi Ulil, sambutan khalayak atas pengajian yang bergulir pada platform Live Stream Facebook itu mengejutkan. Pemirsa rutin–yang mengikuti kajian dari awal hingga akhir–sekitar 300-an. Di luar itu berada dalam kisaran 6.000-7.000. Umumnya anak-anak muda pada rentang usia 25-50. Tak semua muslim. Ada pendeta. Ada romo.

Seiring waktu, muncul permintaan untuk kopi darat. Namun, sejauh ini, Ulil hanya meladeni pinta dari Jawa. Semata karena dia tak terlalu nyaman bepergian dengan pesawat. Permintaan kopi darat biasa dipenuhi saat akhir pekan.

“Selain klangenan, belakangan berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semula enggak punya plan apa-apa. Tapi tiba-tiba sekarang malah sekarang menyita sebagian besar waktu saya,” katanya.

Belum lagi jika memikirkan komitmen untuk mengampu pengajian hingga, setidaknya, 15 tahun. Proyeksi barusan berdasar perhitungan atas waktu mengaji yang seminggu sekali, jumlah total halaman buku Ihya, serta jumlah halaman yang dikaji per sesi. Komitmen itu berkait dengan tradisi pesantren. Kalau sudah menyanggupi, mesti dilakoni hingga beres.

“(15 tahun itu) tiga kali pilpres. Semula kayak mendaki gunung tinggi sekali. Tapi sekarang saya sudah merasa, ‘Ya sudah, saya akan lakukan’, meski kadang kalau ingat 15 tahunnya berat juga,” ujarnya.

Artikel ini pertama kali dimuat di Beritagar.id

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Sepertinya mendapat lailatul qadr melalui ihya’. Tebuslah kesalahan anda ketika masih jadi dedengkot liberalisme dengan mencerahkan umat melaui kiitab ihya’.

Komentari

Scroll To Top