Saat artikel ini ditulis sedang berlangsung Munas dan Konbes NU di Mataram, NTB. Berbagai sidang digelar di tiga komisi Bahsul Masa’il NU: Masail Waqi’iyyah (aktual), Masail Maudluiyyah (tematik) dan Masail Qanuniyyah (tata perundangan). Dalam draft materi Bahsul Masail yang dibagikan di seluruh wilayah pengurus setidaknya ada 17 persoalan yang diagendakan akan dibahas.
Peserta yang menjadi anggota bukan peserta remeh macam mubalig musima di TV. Mereka punya kemampuan intelektual yang mumpuni, baik lulusan pesantren-perguruan tinggi dalam maupun luar negeri.
Sebelum terlibat diskusi alot dalam setiap bahtsul masail, biasanya para peserta telah mempersiapkan jawaban sekaligus dalil keagamaan melalui berbagai rujukan mu’tabarah (diakui) dan perspektif yang beragam. Meski hampir pasti terjadi perbedaan cara pandang, akan tetapi hampir dipastikan akan menghasilkan keputusan yang memuaskan semuanya.
Bahtsul masail pada komisi Waqi’iyah akan menjawab segenap persoalan yang membelit di masyarakat. Komisi Maudluiyah akan memberikan gambaran penyelesaian masalah dengan tema tertentu. Sedangkan pada Qanuniyah, akan mengurai benang kusut relasi perundangan yang ditetapkan negara dan hajat rakyatnya sebagai umat beragama.
Munas adalah event terbesar kedua setelah muktamar dalam tradisi pertemuan rutin Nahdlatul Ulama. Kekuatan hasil keputusan diberbagai komisi dan rekomendasi sama kuatnya dengan agenda 5 tahunan, muktamar. Contohnya penerimaan pancasila sebagai azaz tunggal organisasi oleh NU pada Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983, setahun sebelum digelarnya Muktamar 1984 di tempat yang sama.
Persoalan secara kelembagaan di internal NU boleh jadi selesai makanala telah diketuk palu pada saat Munas atau Muktamar. Namun, sering kali realisasi hasil keputusan di berbagai komisi buntu, terutama pada isu ekonomi dan agraria. Lalu pertanyaan yang paling urgen, menurut saya, sekaligus menjadi PR bagi seluruh peserta munas, baik jajaran Mustasyar, Syuriah dan Tanfidzyah serta sederatan Banom dan Lajnah adalah hasil sidang Komisi Bahsul Masail itu dilaksanakan oleh siapa?
Karena hasil sidang Komisi Bahsul Masail Munas di Lombok belum pada tahap final (sedang berlangsung) maka saya akan memberikan contoh hasil bahsul masail pada Muktamar NU ke-33 di Jombang 1-5 Agustus 2015. Pada pembahasan persoalan aktual (waqi’iyyah) muncul persoalan mengenai eksplotasi alam: Bagaimana hukum eksploitasi alam yang–meskipun–legal, tetapi membahayakan lingkungan? Bagaimana hukum aparat pemerintah yang memberikan ijin penambangan pada kerusakan alam? Dan bagaimana sikap masyarakat yang melihat perusakan alam akibat penambangan?
Deskripsi masalah yang diajukan penanya pada soal cukup jelas. Narasi yang ditampilkan adalah kerusakan alam berupa banyaknya lubang-lubang bekas galian bauksit di Riau; ribuan hektar tanah terlantar bekas kerukan batubara di Kalimantan; di Papua bisa disaksikan kubangan raksasa yang menganga bekas penambangan emas dan di Aceh berupa produksi minyak dan gas yang terbengkalai serta yang paling menonjol adalah ketidakpedulian adanya AMDAL, atau berpegang pada “AMDAL ABAL-ABAL”.
Lokasi kerusakan juga digambarkan diberbagai tempat: Riau, Kalimantan, Aceh dan dilokasi yang hari ini sedang diisukan dikuasai oleh OPM, Papua.
Tentang resiko kerusakan alam, di daerah Selatan Kebumen konflik di sepanjang pantai sudah berhadap-hadapan dengan timah panas; di Gombong, wilayah barat Kebumen, di daerah pinggiran harga tanah dihargai tidak lebih dari 2000 perak untuk tukar tanah yang akan digunakan pertambangan; di Rembang, petani Kendeng yang telah memenangkan peninjauan kembali di Mahkamah Agung harus berhadapan dengan surat ijin baru Gubernur Jawa Tengah; Senin lalu 20 November telah terjadi bentrok antara Kepolisian-aparat TNI-Pol PP dengan warga Pulau (Kepualauan Seribu) atas sengketa lahan; dan terakhir yang masih hangat di kalangan masyarakat NU adalah Vonis 8 tahun dan denda milyaran kepada Kiai Nur Aziz yang merupakan Ketua NU di akar rumput Surokonto Wetan Kecamatan Pageruyung Kendal. Saya berani mengatakan hampir semua yang saya sebutkan adalah warga NU “Kultural”.
Hukum fikih yang dihasilkan meliputi:
- “Eksplotiasi kekayaan alam yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hukumnya adalah haram.”
- “Pemberian ijin eksploitasi oleh aparat pemerintah yang berdampak pada kerusakan alam yang tidak bisa diperbaiki lagi maka hukumnya haram bila disengaja.”
- “Sikap yang dilakukan oleh masyarakat adalah wajib amar ma’ruf nahi munkar sesuai kemampuannya.”
Ijtihad yang diketuai KH. Ahmad Ishomudin -wakil ketua:KH. Mujib Qolyubi, KH. Zulfa Musthofa, KH. Yasin Asmuni; sekretaris: KH. Dr. Abdul Ghofur Maemun; Anggota: KH. Romadlon Khotib, KH, Busyro Mustofa, KH. Wawan Arwani, KH. Azizi Abdullah, KH. Najib Bukhori, H. Mahbub Ma’afi, S,Hi, H. Auza’iy Asirun, MA, H.M. Silahuddin, MA, H.M. Asymawi- tersebut sama sekali tidak menyertakan hukum tafsil (rincian). Padahal biasanya dalam tradisi bahsul masail banyak ditemukan jawaban yang bersifat tafsil, sesuai dengan kondisi dan tujuan. Namun dalam persoalan ini, ulama dan cerdik-cendekia di kalangan NU sama sekali tidak ada khilafiyyah, dalam istilah peradilan Indonesia dikenal dengan Dissenting Opinion.
Memang Muktamar Jombang telah berlalu, namun 2 tahun bukan waktu yang lama. Putusan-putusan dalam 3 komisi bahsul masail masih hangat untuk diingat. Masalah utama NU di kalangan akar rumput hari ini adalah keberlangsungan hidup. Ketahanan agraria merupakan hajat hidup paling utama masyarakat. Sebagian besar jemaah dan jamiyah NU adalah warga yang hidup di pedesaan, pinggiran pantai dan lereng-lereng pegunungan. Mereka ini adalah jemaah yang solid dalam menghidupkan sekaligus menjaga tradisi NU.
Saya teringat tulisan Gus Dur tentang rakyat di lapisan bawah yanh lebih memiliki kearifan. Rakyat memiliki pola tersendiri dalam menghadapi berbagai tekanan, berupa kemiskinan dan keterbelakangan. Jangan pernah berpikir bahwa mereka sepi dari kemampuan untuk melaksanakan perubahan. Pun demikian yang terjadi hari ini di perhelatan munas. Tanpa didahuli keputusan dari NU struktural, komunitas kultural telah bertindak berdasarkan naluri yang dimilikinya, bertahan dalam keterbatasan.