Generasi berikutnya yang bertempat di Jawa bagian Barat memendarkan kembali tasawuf falsafi, dalam hal ini gagasan-gagasannya terpengaruh dari gagasan tasawuf falsafi yang berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Ketika dalam tulisan sebelumnya Martabat Tujuh tidak mempengaruhi gerakan teosufisme yang ada di tanah Sumatra, kali ini, Martabat Tujuh sangat kuat dan mengental merasuki gagasan teosufisme yang berada di bagian Barat tanah Jawa dengan tokohnya Syekh Abdul Muhyi.
Tentu, Syekh Abdul Muhyi dipengaruhi dari karya monumental Syekh Muhammad Ibn Abdullah al-Hindi yang berjudul Al-Tuhfah al-Mursalah li Ruh al-Nabiyy. Bahkan karya ini telah membalikan wacana wujudiyah yang berkembang di Nusantara yang sebelumnya tidak menggunakan konsep Martabat Tujuh seperti yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri. Ditangan Syekh Muhyi konsep Martabat Tujuh mencuat, mengemuka, dan mendapatkan tempat khusus di hati para pengikuti ordo kesufian yang ada di Nusantara khususnya di Jawa bagian Barat.
Sejak abad ke-17 di Sumatra dan Jawa, ajaran-ajaran al-Tuhfah al-Mursalah tentang dunia masih bertahan sampai sekarang, yakni mengenai pemikiran al-Maratib al-Sab’ah. Naskah al-Tuhfah merupakan ringkasan kecil yang didasarkan pada pemikiran Ibn Arabi dan sufi lainnya. Naskah yang sudah ditransliterasikan ke dalam bahasa Jawa memberikan informasi yang lengkap terakit dengan Syekh Abdul Muhyi yang karismatis di daerah Tasik, Jawa Barat. Sampai saat ini makamnya masih ramai di ziarahi oleh sebagian umat Islam yang mempercayai akan hal itu. Bagi orang Jawa, dia adalah wali kesepuluh, melengkapi Walisongo.
Seperti yang kita pahami bersama tingkatan wujud dikenal dengan tingkat tujuh, yaitu ahadiyah, al-wahdah, al-wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insan kamil. Kemampuan manusia untuk mengetahui tingkatan-tingkatan ini terbatas karena manusia sekalipun berasal dari Allah Swt, namun berbeda dengan-Nya. Hanya Allah Swt yang mengetahui dan memeilihara martabat itu karena Dia yang menciptakan alam ini. Dai Qadim, sedangkan manusia hadis (A. H Jhons, 1961)
Syekh Abdul Muhyi mengatakan bahwa ajaran martabat tujuh merupakan ilmu ma’rifatullah, yakni buah pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenai dan mengetahui Allah Swt, dan bagi para ahli tasawuf adalah wajib mempelajari dan mengetahuinya. Tuhan menyatakan dirinya dalam tujuh tingkatan yakni martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta’ayun atau martabat tidak nyata), dan martabat kedua sampai martabat ketujuh disebut martabat tasbih (ta’ayun atau martabat nyata).
Di alam ajaran martabat tujuh dijelaskan bahwa sesungguhnya alam semesta beserta isinya buah petunjuk dan yang dipertunjukkan adalah Allah Swt. Dengan pertunjukkan inilah manusia dapat mengenal Allah melalui dirinya dan terpusat di dalam batinnya. Untuk itu semakin jernih dan bening hati seseorang maka ia semakin jelas mengenal dan melihat Tuhan dan pada gilirnnya ia akan dapat merakan bersatu dengan-Nya. Bersatu dengan Tuhan dalam perspektif Syekh Abdul Muhyi bukanlah bersifat union mistik (manunggaling kaula gusti) sebagaimana yang diajarkan Samsudin Pasai dan Hallaj, akan tetapi yang merasakan bersatunya adalah rasa “wahdatus syuhud”.
Secara terperinci konsep martabat tujuh bisa didedarkan demikian. Pertama Alam Ahadiyah, sering kali disebut dzat yang dideterminasi. Tingkatan ini adalah tingkatan yang paling tinggi, di mana pada tingkatan ini wujud tidak memiliki sifat dan tidak dapat disifati atau bahkan terbebas dari segala ikatan. Pada konsep ini jelas adanya perbedaan Allah Swt dan hamba. Allah merupakan Tuhan yang Qadim dan hamba sebagai makhluk yang muhdats. Konsep ini juga mengukuhkan ke-ada-an Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi, sehingga dengan tegas memisahkan antara Kaula dan Gusti (Abdullah Yusuf, 1987:46).
Kedua, Alam Wahdah ini merupakan tingkatan determinasi pertama atau disebut martabah al-ta’ayyun al-awwal atau al-Haqiah al-muhammadiyyah. Pada tingkatan ini Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu. Oleh sebab itu ia mengetahui dzat dan sifat-Nya serta seluruh kosmos sekalipun secara global (ijmali). Pada martabat ini dzat tersebut dinamakan Allah Swt dan bertajalli dalam sifat-siftanya yang dinamika a’yan tsabithah. Pada tahap ini dimulailah Nur Muhammad yang merupakan sebab yang tercipta seluruh alam semesta.
Alam Wahidiyah merupakan tingkatan ketiga yang diartikan sebagai keadaan asma yang meliputi hakikat realitas keesaaan. Alam Wahidiyah ketika Allah mulai mengadakan segala-galanya tanpa memerlukan sarana. Pada tahap ini segala sesuatu dapat dibedakan secara tegas dan terperinci tetapi belum muncul dalam kenyataan. Kemudian berlanjut dalam tingkatan keempat sebagai Alam Arwah yang menjadi suatu pengungkapan dari sesuatu yang halus semata-mata yang belum menerima susunan dan perbedaaan yang merupakan ruh tunggal atau yang disebut sebagai Nur Muhammad. Dengan kata lain alam arwah adalah tingkatan ruh uang pertamakali dijadikan kehidupan.
Berikutnya ada Alam Mitsal sebagai pengungkapan dari sesuatu yang haus yang tidak menerima susunan dan tidak diceraikan bagian-bagiannya. Tingkatan ini menggambarkan bahwa ketika ruh rahman teka menerima nasib maka ruh itu telah dibebankan ketentuan hidup, maka ruh-ruh tersebut dijadikan Jism dan dinyatakan sebagai alam mitsal yaitu martabat ruh-ruh yang telah memperoleh peran sendiri baik itu ruh nabati, hewani, jasmani dan ruhani. Seperti yang didedarkan oleh Syekh Muhyi “yakni alam mitsal nyata Allah Swt ngabantun rupa nun bangsa utama nu tetep di Dale kang Maha Luhur mu teu nerima kana jirim jeung teu nerima kana pati”.
Alam Ajsam merupakan tahap berikutnya yang dijadikan sebagai alam anasir yang halus dan disebut juga dengan istilah alam khamis. Alam Ajsam ini adalah pengungkapan dari sesuai yang tersusun dari empat unsur yakni api, air, angin, dan tanah. Sedangkan yang terakhir adalah martabat al-Jami’ah atau Martabat Insan Kamil yakni suatu pengungkapan kehendak Tuhan jika ia menghendaki bertajalli pada selain diri-Nya dengan tajalli yang lebih nyata. Dengan begitu Ia menciptakan manusia. Dengan begitu manusia ibarat yang mengimpun semua martabat. Sesuatu yang sudah bisa menghimpun maka disebut sebagai Insan Kamil.
Dengan demikian melalui martabat tujuh Syekh Muhyi ingin memberikan penjeasan bahwa konsep Insan Kamil adalah labuhan terakhir dari proses kemanunggalan yang diraih melalui martabat-martabat itu tadi yang jelas memiliki kemiripan dengan Allah Swt karena Insan Kamil memendarkan sifat-sifat yang dimiliki sang Maha Hidup.