Seorang penyair dari Madura yang tersohor dalam suatu rekaman sedang membacakan puisi berjudul “Ibu”. Puisi yang membentangkan jagat pemaknaan ibu baginya. Penyair tentu menggeluti makna dan kata. Kata-kata teruntai khas sebagai dirinya. Kaya kata, menyebut nama di alam, menyisipkan gelora, tajam, tegas dan lincah imajinasinya menjadi ciri puisi-puisi gubahan Zawawi Imron. “Ibu” menjadi puisi terpenting, yang menyanjung wanita yang melahirkannya.
Zawawi Imron berandai-andai sedang merantau. Jauh dari ibu, pasti rindu. Tidak disebut musim hujan karena banyak air membuat kita suka tidur dan mengigau. Berkebalikan saat kemarau, kita sering merasa bingung dan linglung. Udara panas, debu beterbangan, sumber air kering, dan teringat ibu dalam semilir. Ibu dirindu mengalirkan air mata. Penyair sering bergelayut ibu dengan mengenal bau. Bau ibu tidak ada duanya.
Pemberian ibu tak pernah usang. Zawawi Imron berlayar dan bertemu badai. Teringat ibu. Sajak rindu di tulis di langit biru.
Bila saya berlayar kemudian tiba angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali tiba padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku
Bahasa bernapas spiritual digunakan Zawawi Imron. Ibu itu kemarau, bau, dan sumber air yang tetap mengalir. Perpaduan kata yang membuat “sejuk”. Ibu itu gua pertapaan, menandai kuasa Tuhan dan ridhonya. Bila kita teringat ibu, ingin ketemu dan kembali membersihkan diri, mengartikan pada esensi tentang hasrat dan ambisi. Tentang pemuliaan, ibu adalah pahlawan. Penggambaran ibu mengajak kita berimajinasi dan memaknai.
Kerinduan sering melahirkan puisi terbaca indah dan syahdu. Puisi membuat kita agak lupa pernah terjadi ribut-ribut bersama ibu. Keramaian rumah antara ibu dan anak seringnya karena persoalan remeh. Bangun tidur kesiangan, misalnya. Anak tak bisa bangun pagi dapat membuat ibu uring-uringan.
Namun, puisi ini terlalu sedih karena anak tak pernah lagi bisa bangun di pagi hari. “Ratap Ibu” adalah puisi gubahan Selasih atau Seleguri.
Anakku tuan remaja putri,
Buah hati cahaya mata,
Hari raya sebesar ini,
Mengapa tuan tak bangun jua
Kemegahan hari raya layak dirayakan dengan memulai bangun pagi, mandi, dan berhias diri. Makanan telah terhidang, pakaian disiapkan secara istimewa. Tetabuhan dan petasan meramaikan hari raya. Orang-orang memenuhi jalan raya dengan hati yang bersuka. Di dalam kerayaan, ada hati ibu berduka. Harapan bahagianya tak ada lagi. Kerongkongannya tercekat dan parau. Makanan tak bisa melampauinya. Sedih teramat dalam teringat anak gadis tersayang. Hari raya sebelumnya, anak gadis duduk di hadapan ibu.
Ke rimba mana bunda berjalan,
Lautan mana kan bunda arung;
Agar bertemu anakku tuan,
Supaya terhibur hati yang murung
Anakku, kekasih ibu,
Buah hati junjungan ulu;
Lengang rasanya kampung negara,
Sunyi senyap di hari raya,
Bunda sebagai hidup sendiri,
Selama tuan tak ada lagi
Kita membaca puisi mendapati ibu sangat bersedih. Anak junjungan ulu membuat orang sekampung bagai tiada bagi sang ibu yang kehilangan. Hari raya yang megah bagi yang lain, adalah sunyi senyap bagi ibu yang sendiri. Kita tak kuasa menghibur ibu bersedih dengan sajak-sajak panjang dalam duka.
Tidak berguna sawah dan bendar,
Emas intas tidak berharga
Rumah besar rasa terbakar,
Untuk siapa kekuatan bunda.
Aduh kekasih, aduh nak sayang,
Dimana tuan terbaring seorang;
Bawalah ibu sama berjalan,
Mengapa bunda tuan tinggalkan.
Puisi ibu menanggung duka seperti Seleguri ditulis oleh Rendra. Duka akan anak tersayang menjadi puisi berjudul “Tangis”. Di puisi, ibu berteriak menyebut Paman Doblang berkali-kali. Tangis berkisah bukan tentang anak yang meninggal, melainkan anak membuat orang meninggal. Ibu banyak bertanya ke mana anak pergi. Rasa khawatir terbaca pasti mengetahui si anak diburu segenap penduduk kota. “Sejak semalam, seluruh subuh, seluruh pagi” menjelaskan pengejaran penduduk kota pada si anak. Melelahkan. Ibu ingin anak lari saja ke ribaannya.
Ibu dalam “Tangis” tampak banyak maunya. Terlalu cerewet juga sama si Paman Doblang. Ibu tidak mau si anak menanggung risiko yang mestinya tertanggung oleh anak. Ibu mau mengerti kesalahan anak tapi terlalu ingin membuat anak terlindungi dan maunya sendiri.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Pesankan padanya dengan angin kemarau
Ibunya yang tua menunggu di dangau
Kalau lebar nganga lukanya
Mulut bunda kan mengucupnya
Kalau kotor warna jiwanya
Ibu cuci di lubuk hati
Cuma ibu yang bisa mengerti
Ia membunuh tak dengan hati
Kalau memang hauskan darah manusia
Suruhlah minum darah ibunya
Sungguh mustahil pinta sang ibu. Paman Doblang mungkin harus menenangkan kepanikannya. Si anak mungkin bukan haus darah manusia, tapi lemah kendali diri dan perilakunya. Perkara menghilangkan nyawa orang pasti bukan urusan sederhana. Pantaslah banyak orang menginginkannya mati. Hilang nyawa sama dengan hutang yang harus dibayar. Membaca puisi “Tangis”, terbayang ibu menyeka air mata di bait terakhir.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar duka
Katakan, itulah wajah ibunya.
Anak berulah, ibu tertimpa masalah. Konon, anak adalah anugerah. Kita perlu merenung ketika anak yang adalah anugerah menjadi masalah. Ibu butuh banyak akal dan belajar untuk menjadi teman belajar bagi anak. Sering anak melakukan kesalahan bukan karena kesengajaan, tapi karena tidak tahu cara yang benar. Seorang ibu menemukan cara yang mudah dipahami oleh anak paham masalah. Enid Blyton menceritakan ibu itu dalam puisi berjudul “Goblin”.
Ketika aku sedang jengkel sejengkel-jengkelnya,
Dan tidak ada satu hal pun yang berlangsung dengan benar,
Kemudian ibuku berkata bahwa terdapat goblin-goblin nakal bersembunyi dari pandangan manusia di sekitar,
Yang berusaha membuatku melakukan hal salah, dan mencoba membuatku jadi anak nakal,
Mereka ingin aku jadi pelupa,
Dan membuat orang lain kesal.
Ibu hendak membuat si anak sadar akan sesuatu, muncul ketika anak jengkel. Sesuatu muncul tak kentara dan menghasut si anak untuk berbuat salah dan membikin lupa. Ibu menamainya goblin. Anak jadi penasaran pada goblin. Alih-alih jengkel dan membiarkan sesuatu berjalan tidak benar, anak mengamati dan mencari Goblin. Tidak berhasil ditemui sosoknya, si anak yakin goblin ada di rumah setiap orang.
Puisi terbaca menyenangkan ketika peristiwa-peristiwa mudah membuat anak jengkel namun tak terjadi. Si anak menjadi sosok yang tenang. Situasi tidak menyenangkan dipahami sebagai goblin-goblin kecil yang sedang membuat onar. Jadi dia tak perlu memperturutkan emosinya.
Si anak juga semakin peka pada kelakuan orang dewasa tak bisa mengontrol diri. Lucu saja ketika dia bermain ke rumah temannya bernama Peter. Ayah Peter sering tampak jengkel sejadi-jadinya. Keluarga Peter adalah keluarga bahagia, tapi goblin juga ada di sana membuat ayah Peter sering jengkel. Ibu berhasil meyakinkan anak akan sesuatu yang dapat mempengaruhinya tapi bisa dihentikan. Anak itu berhasil merasakan goblin.
Kita membaca puisi bahkan diajak tertawa dan menikmati tingkah anak mengintip goblin. Terinspirasi ibunya, anak itu meminta sesuatu bagi pembaca puisi,
Kapan pun hal-hal buruk terjadi,
aku langsung bersembunyi,
Mencoba mengintip para goblin,
Dan aku yakin akan melihatnya suatu hari.
Dan jika mereka mengganggumu,
Kau coba menangkap mereka juga,
Dan jagalah mereka untukku melihatnya nanti, ya?
Ibu dalam puisi menjadi teramat istimewa, seperti dalam hidup anak juga. Kita membaca puisi dapat terlena. Cerita tentang ibu biasanya akan selalu sederhana dan tak miskin makna. Samudera, kembang, gua, sumber air, rembulan adalah semua ibu dalam berbagai analogi. Menjadi anak, kita kenal ibu yang bau, ibu yang menerima, ibu yang cerewet, ibu yang posesif pada anak, ibu yang banyak akal dan sering menangis. Ibu dalam puisi membikin rindu ibu. Kini, saya hanya bisa berdoa untuknya.